062: Hadiah dari Adipati Muda

10 2 1
                                    

"Ini masih terlalu dini bagi saya, Yang Mulia," jawabku akhirnya, mencoba menahan tekanan yang kian mendesak, "Izinkan saya memikirkannya, setidaknya sampai masa studi saya selesai."

Surya menyipitkan matanya sebentar, senyum di wajahnya memudar sejenak. Namun, senyum itu segera kembali mengembang, lebih lebar dari sebelumnya. Aku melihat ada kilatan di matanya yang menyerupai Bintang—kilatan mata yang biasa kulihat saat ia merencanakan sesuatu yang aneh di akademi.

"Yah, ternyata memang aku yang terlalu buru-buru," tambahnya, mengakui, meskipun caranya berbicara seakan mengandung lapisan makna tersembunyi. Dia menatapku lebih dalam, seakan ingin membaca pikiranku. "Tapi, aku penasaran, apa kamu punya keterikatan dengan keluargamu?"

Pertanyaan itu membuat dadaku serasa tercekat. Keluarga. Sebuah kata yang selalu terasa pahit di lidahku. Aku menelan ludah, mencoba tetap tenang meskipun bayangan Keluarga Toya dan segala ketidakadilan yang mereka timpakan kepadaku kembali menghantui.

"Tidak," jawabku singkat, nyaris tak bernada. Menjawab lebih dari itu hanya akan membuka luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.

"Huh?" Surya mengangkat alisnya, jelas tertarik dengan jawabanku. Tentu saja, bagi seorang bangsawan seperti dia, ketidakpedulian terhadap keluarga adalah sesuatu yang tidak biasa. "Bagaimana dengan Esperheim? Kamu mengambil beasiswa dari mereka, kan?"

"Esperheim tidak mensyaratkan keterikatan pada kontrak beasiswanya," jawabku setelah menyeruput tehku, meskipun teh itu sudah dingin sejak beberapa waktu lalu. Rasanya pahit, tidak berbeda dengan topik yang sedang dibahas. "Jadi, saya tidak berpikir untuk kembali cepat-cepat ke sana setelah lulus nanti."

Surya terdiam sejenak, lalu tiba-tiba senyumnya kembali lebar. Ada kilatan kegembiraan di matanya, seperti predator yang menemukan sesuatu yang menarik.

"Aha! Itu cukup membuatku senang." Suaranya terdengar lebih ringan, tapi ada tekanan tersembunyi di balik nada itu. "Jadi, kamu tidak terikat, bukan? Bagus... sangat bagus."

Aku tidak merespons langsung, hanya mengangguk perlahan. Ada sesuatu dalam cara Surya berbicara yang membuatku merasa seperti sedang diukur, seolah dia mencoba mengukir masa depanku sesuai keinginannya.

"Oh, iya! Terimalah ini," ucapnya tiba-tiba, mengetuk meja canggih di depannya. Dalam beberapa detik, sebuah kartu keluar dari celah di sisi meja. Kartu itu berkilau, terbuat dari bahan yang jelas mahal dan kuat. Sebuah lambang Keluarga Burlian menghiasi bagian depannya.

"Ambillah ini sebagai hadiah dariku," kata Surya sambil menyodorkan kartu itu kepadaku, senyumnya semakin lebar. "Ini kartu penghargaan. Permainan strategimu tadi membuatku sangat terkesan. Kartu ini memiliki banyak kegunaan di Burlian. Kamu bisa menautkannya dengan ponsel akademimu dan melihat beberapa fungsinya."

Aku meraihnya, merasa bahwa menolak akan menimbulkan kecurigaan atau bahkan rasa tersinggung di pihaknya. Saat jari-jariku menyentuh permukaan kartu itu, aku merasakan dinginnya yang halus dan kokoh. Di satu sisi, lambang Keluarga Burlian berkilau, dan di sisi lainnya, panorama Kota Dirgantara tertangkap dalam gambar yang diambil dari luar angkasa.

"Terima kasih, Yang Mulia," kataku sopan, memastikan suaraku terdengar cukup tulus, meskipun di dalam, aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar hadiah di balik kartu ini.

Baru saja Surya ingin melanjutkan percakapan, pintu ruang kantor tiba-tiba terbuka dengan suara nyaring, mengalihkan perhatian kami berdua.

"Kakanda!" Sebuah suara nyaring dan penuh energi memenuhi ruangan. Aku menoleh dan melihat Bulan, Bintang, Ainun, dan Yuni masuk. "Mau sampai kapan kamu menahan tamu kami? Ini sudah hampir petang."

"Oh, kebetulan sekali adik perempuanku tersayang datang," sambut Surya dengan senyum lebar yang, anehnya, kali ini terasa lebih hangat. Tapi entah kenapa, kehangatan itu terasa sedikit janggal.

Dia menatapku sejenak, lalu tiba-tiba, dengan nada yang lebih ringan tapi penuh dengan sesuatu yang misterius, dia mengalihkan tatapannya ke arah Bulan.

"Bulan, apa kamu sudah siap untuk menikah?" tanyanya, senyuman lebar di wajahnya, tapi ada percikan main-main yang berbahaya di sana. "Aku punya satu calon yang cocok untukmu."

"Hah?" Bulan tampak terkejut, pipinya memerah seketika, ekspresinya berubah dari menjadi canggung sekaligus bingung. Dia mencoba untuk berbicara, tapi kata-kata seolah tertahan di tenggorokannya.

Bintang, yang berdiri di sebelahnya, juga tampak terkejut. Namun, reaksi Bintang jauh lebih santai—dia menutup mulutnya, menahan tawa yang nyaris meledak. Senyumnya jelas mengatakan bahwa dia menikmati situasi canggung yang sedang terjadi.

Sementara Ainun hanya tersenyum simpul, seperti sedang menikmati tontonan dari balik layar, matanya berkilat seolah menyaksikan adegan epik dalam drama romantis. Dia mungkin senang melihat Bulan dalam posisi yang sedikit terpojok seperti ini.

Namun, di sisi lain, Yuni tampak berbeda. Tatapan matanya tajam mengarah ke arahku, seolah dia tidak senang dengan arah percakapan ini. Matanya yang biasanya ceria kini dipenuhi sesuatu yang lebih dalam—entah cemburu, curiga, atau sesuatu yang aku tidak sepenuhnya mengerti.

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang