020: Berhati-Hatilah

1 0 0
                                    

"Aku sudah mendengar tentangmu dari Hilsham," kata Haries dalam perjalanan menuju ruang makan, "Kamu bisa mengeliminasi banyak musuh sekaligus dengan sebuah pistol. Kapten Andreas bilang, kamu bahkan memusnahkan satu unit musuh yang berusaha menyusup ke ruang kontrol Area-D. Itu hebat sekali! Kupikir, kamu akan bergabung ke lini depan, ternyata kamu malah menjadi seorang komandan yang hebat di markas pusat. Aku takjub sekali melihat aksimu hari ini."

"Hm, terima kasih," balasku seraya tersenyum kecil pada pria muda yang cerewet itu. Pada dasarnya, akubadalah seorang introver, jadi akunselalu kewalahan tiap kali berhadapan dengan orang sepertinya atau Souli.

"Nona Bajra juga hebat. Aku sudah dengar dari Ny. Furin. Katanya, kamu ..." lanjut Haries yang kemudian memuji-muji Reina panjang-lebar. Reina pun membalasnya dengan singkat sama sepertiku.

Selepas itu, Haries terus mendominasi percakapan sampai kami tiba di ruang makan.

"Itu dia tempatnya," tunjuk Haries begitu kami sampai di depan sebuah pintu yang besar. Pintu itu otomatis terbuka begitu kami melangkah di jarak setu meter darinya. Tampaklah pemandangan sebuah ruang makan prasmanan yang luas.

"Auw!" Aku merasakan kepalaku diketuk oleh sesuatu.

"Ada apa, Savil?" tanya Haries. Ia menatapku bingung.

"Bukan apa-apa." Aku menggeleng pelan meski kepalaku terus terasa diketuk-ketuk. Hais ... gadis Penenun itu jadi kebiasaan menggangguku begini. Ini menyebalkan.

"Apa yang kamu lakukan?" tanyaku kesal, "Ini sakit tahu!"

"Makanya cepat dijawab!" balas Yuni dengan nada yang tak kalah kesal denganku. "Kalau kamu jawab, aku juga tidak akan memaksamu."

"Cih! Jadi," ucapku mengingat apa yang ia katakan sebelumnya, "Ada apa lagi sekarang?"

"Orchis," jawabnya, "Dia mau bicara denganmu."

"Hai, Savil." Suara Orchis benar-benar terdengar di kepalaku. "Maaf mengganggu waktumu. Bisakah kita bicara sebentar?"

"Bisa," jawabku sambil memilih lauk dan sayuran di meja prasmanan, "Mumpung aku sedang istirahat sekarang."

"Berhati-hatilah!" kata gadis buta itu memberiku peringatan, "Musuh sudah menyusup di antara para perwira SIV dan ATAV."

"Benarkah? Itu kabar paling buruk yang kudengar akhir-akhir ini," balasku risau mendengar kabar darinya, "Apa kamu tahu siapa mereka?"

"Tidak, ada banyak sekali orang," jawab Orchis, "Aku tidak mampu mengenali mereka. Aku hanya melihat mereka mengacau di markas pusat. Kalau dibiarkan, kamu dan Reina akan dalam bahaya."

"Bukan hanya kami berdua saja," timpalku, "Tapi seluruh SIV ini akan berada dalam bahaya."

"Tolong peringatkan wanita yang berpangkat tinggi dari ATAV itu," pinta Orchis, "Kalau dia tahu, dia pasti akan menyiapkan penanggulangan untuk hal ini."

"Masalahnya adalah ..." Aku memikirkan kemungkinan buruk yang lain, "Bagaimana kalau ternyata mereka adalah penduduk SIV sendiri yang tergabung dengan Sekte Leberyntos. Pasti semakin sulit mendeteksinya kalau begitu."

"Kurasa juga begitu." Orchis setuju. "Pokoknya, kamu beri tahu dulu wanita itu. Lalu, berhati-hatilah agar tidak terluka."

"Savil," panggil Haries yang ternyata telah memperhatikanku sejak tadi, "Ada apa denganmu? LIhatlah! Makanan itu menangis kedinginan karena hanya kamu tatap saja."

"Ah, aku sedang banyak pikiran," jawabku asal, tapi tidak bohong.

"Itu saja yang ingin kuberi tahu," sambung Orchis, "Berhatilah-hatilah, Savil!"

"Hm." Aku pun mengangguk pelan seraya mulai menyantap makan malamku.

"Ya, kamu harus pulang dengan selamat, Savil," timpal Yuni sebelum aku memutus tautan pikirannya. Dia berkata dengan riang, "Aku akan mengajakmu kencan kalau berhasil pulang dengan selamat."

"Aku tidak butuh kencan denganmu," jawabku tegas, "Urungkan saja itu!"

"Cih!" decak Yuni sebal, lalu langsung memutus tautan pikirannya.

Aku dan Reina langsung ke tempat peristirahatan masing-masing selepas makan. SIV menyediakan ruangan khusus untuk kami karena akan terlalu jauh bila harus kembali ke pesawat.

Sepanjang malam, saat harusnya aku beristirahat, aku justru tak bisa tidur sama sekali. Berita yang Orchis berikan padaku sangat serius. Kalau mereka benar mengacau di markas pusat, berarti mereka ada di antara para perwira lini belakang.

"Hah ..." Aku menghela napas pelan. Daripada tidak bisa tidur sama sekali, lebih baik aku segera melaporkan masalah ini ke Marsda Ros. Masalahnya, sinyal telekomunikasi di SIV ini kemungkinan sudah disadap. Kalau sampai musuh tahu bahwa agennya sudah terungkap, mereka pasti akan bertindak lebih agresif atau hati-hati. Keduanya sama-sama lebih merepotkan kami.

Aku pun pergi ke markas pusat. Sesuai dugaanku, Marsda Ros masih ada di sana bersama beberapa stafnya yang shift malam. Begitu mereka melihatku, para perwira itu pun menyambutku dengan ramah.

"Hai, ini dia komandan kita yang bermata cantik," kata salah satu dari mereka, malah membuatku geli sendiri. Apa katanya? Bermata cantik? Hais ...!

"Jangan diambil hati, Savil," timpal Marsda Ros menyadari ketidaknyamananku atas ucapan tersebut, "Mereka hanya takjub dengan mata unikmu yang mirip sepasang permata itu."

Aku justru lebih geli dengan apa yang diucapkan oleh Marsda Ros. Namun, bukan itu yang penting sekarang.

"Marsekal," panggilku selepas menyapanya dengan formal, "Bolehkah kita bicara sebentar? Ada sesuatu yang mau saya laporkan secara pribadi."

"Hm?" Marsda Ros menatapku heran, "Tidak bisakah di sini saja? Aku tidak bisa sembarangan pergi meninggalkan ..."

Belum genap Marsda Ros menyelesaikan ucapannya, tetiba sirene berbunyi. Seorang operator di markas pusat pun melapor, "Marsekal, Area-Y dan Z telah dikuasai. Unit kita tertahan di sana!"

Aku pun mendengar sebuah suara tembakan dari markas pusat.

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang