007: Sabotase Asing

1 0 0
                                    

"Varsa pernah dijajah 12 tahun yang lalu," kata Weldy di sela istirahat makan siang kami. Dia bercerita tentang banyak hal, memamerkan pengetahuan yang ia punya.

Aku juga tahu berita itu. Itu adalah berita yang menggemparkan semesta saat aku masih berusia 8 tahun. Aku yang masih kecil pun sampai mengerti bagaimana ngerinya kondisi Varsa saat itu.

Mereka diinvasi oleh kelompok radikal antikekaisaran. Konon katanya, kelompok ini dulunya adalah pembela kebenaran yang suka melindungi orang-orang lemah. Namun, kabar-kabar yang tersiar tentang mereka akhir-akhir hanyalah tentang perbuatan bodoh dan kejahatan mereka di planet-planet mandiri seperti Varsa di masa lalu.

"Sekte Leberyntos itu menyerang Varsa karena pengikut lokal mereka merasakan adanya ketidakadilan di planet tersebut," jelas Weldy selepas menghabiskan suap terakhirnya, "Mereka pun berlagak menjadi pembela kebenaran. Dimulai dari menyabotase stasiun ini agar pergerakannya tidak diketahui oleh Otoritas Planet Varsa. Dengan secepat kilat, mereka menghujani negara-negara besar di Varsa dengan proyektil mematikan."

Negara-negara besar Varsa dilumpuhkan kurang dari seminggu. Dalam waktu dua minggu, planet tersebut telah tunduk sepenuhnya dengan Sekte Leberyntos. Banyak korban berjatuhan dari warga sipil. Hal itu karena Sekte Leberyntos menggunakan drone dan droid yang tak pandang bulu untuk menaklukkan Varsa. Itu adalah penaklukan planet tercepat sepanjang sejarah semesta.

"Film tadi cerita tentang perjuangan penduduk lokal dalam melawan mereka, kan?" tanya Souli yang dibalas dengan anggukan oleh Weldy. "Endingnya, Kekaisaran Bima Sakti ikut campur dalam masalah ini sampai menjadikan Varsa sebagai salah satu planet protektorat mereka."

"Yah, sebenarnya cukup mengejutkan bagaimana planet ini bisa kembali bangkit dalam 12 tahun terakhir," kata Reina menyorot hal lain dari pembahasan ini, "Banyak keluarga ningrat besar yang berinvestasi pada Varsa selepas menjadi protektorat kekaisaran. Meski hancur lebur, planet ini tetap berpotensi menjadi destinasi wisata terbaik sealam semesta."

"Yah, semoga saja tragedi seperti itu tidak terjadi lagi ke depannya," timpal Yuni berharap. Selepas makan siang bersama, kami semua berpencar. Souli dan Asta pergi ke area mini game, Weldy dan Rahim pergi ke pameran teknologi, Yuni dan Reina ke mall, sementara aku pergi ke pusat literatur.

Aku sudah membaca lebih dari 10.000 literatur sejak kecil di Esperheim. Meski begitu, masih banyak sekali literatur lain yang belum kubaca. Saat aku menemukan satu buku yang menarik perhatianku, aku tanpa sadar menghabiskan waktu di sana sampai hampir delapan jam lebih. Satu buku tebal itu kuselesaikan dalam satu kali duduk.

Lampu pusat literatur tetiba berkedip beberapa kali. Orang-orang di dalamnya, termasuk aku, refleks mendongak ke langit-langit perpustakaan modern tersebut. Hal ini sangat tidak mungkin kecuali ada kesalahan teknis serius pada Stasiun Interglobal Varsa. Benar saja. Kurang dari lima detik kemudian, sirene berbunyi dan operator stasiun pun mengumumkan keadaan darurat.

"Perhatian kepada seluruh warga dan pengunjung Stasiun Interglobal Varsa, ini adalah situasi darurat." Operator memberi peringatan, "Kami menghadapi ancaman sabotase asing yang sedang mendekat. Demi keselamatan Anda, harap segera menuju ke lokasi evakuasi terdekat. Ikuti petunjuk dari petugas keamanan dan tetap tenang. Prioritaskan keselamatan diri dan keluarga Anda. Bersama-sama, kita akan melalui krisis ini. Terima kasih atas kerja samanya. Kami ulangi-"

"Hah? Apa yang dilakukan pihak keamanan Varsa? Dasar tidak becus!" seru pustakawan kesal. Ia pun segera menyuruh para pengunjung pusat literatur untuk segera keluar secara teratur. Meski terlihat seperti pria kutu buku yang lemah, suaranya yang lantang itu membuatnya tampak berbeda.

"Segera ikuti arahan petugas di luar!" serunya memperingatkan, "Jangan panik. Pihak keamanan akan segera mengatasinya."

Kami semua mengikuti instruksi putakawan itu dengan patuh. Area pusat literatur ini berada di dekat sentral stasiun, jadi harusnya cukup aman. Bila kami mengikuti apa kata petugas evakuasi, harusnya masalah ini bisa selesai dengan cepat. Ya, harusnya begitu. Namun ....

"Auw!" Aku merasakan kepalaku seperti ditusuk-tusuk beberapa kali. Itu cukup menyakitkan. Tak berselang lama, perasaan tidak nyaman menyelimuti diriku. Perasaan ini, aku pernah merasakannya beberapa kali.

"Yuni!" batinku kesal mengingat gadis esper Penenun itu. Ini pasti ulahnya. Apa dia berusaha menggangguku di saat yang genting begini?

"Akhirnya!" Aku mendengar suara Yuni di kepalaku. "Savil, kau bisa mendengarku, kan? Kalau kau dengar, tolong bantu kami."

"Hah? Kenapa aku?" batinku heran. Aku saja sedang sibuk evakuasi, bagaimana aku bisa menolongnya.

"Kau yang paling dekat dengan kami!" jawab Yuni dalam kepalaku seraya memohon, "Kumohon, sebelum orang-orang berpakaian aneh itu menemukan kami."

"Apa tidak ada petugas sama sekali di dekat kalian?" tanyaku terhenti di tengah jalan, membuat beberapa orang menyenggol tubuhku dari belakang seraya protes, tapi aku mengabaikannya.

"Aku tak tahu," jawab Yuni dengan suara yang seperti tengah menangis ketakutan, "Aku dan Reina sedang ke belakang tadi, lalu lampunya tiba-tiba mati. Saat kami keluar, area sekitar sudah kosong."

Aku terdiam tak tahu harus berbuat apa. Haruskah aku menolongnya? Aku bahkan tidak tahu dia dan Reina ada di mana.

"Kami ada di aula peristirahatan, dekat Koridor D-223," jawabnya terdengar panik, "Cepat! Orang-orang aneh bersenjata itu semakin dekat. Bagaimana kalau mereka menangkap kami?"

"Tenanglah di sana! Kamu sedang sembunyi, kan?" tanyaku mengambil keputusan, "Jangan sampai ketahuan. Aku akan membawa bantuan."

"Hm!" Yuni pun akhirnya terdiam.

Aku menghampiri salah seorang petugas evakuasi, mengatakan padanya bahwa temanku ada yang tertinggal di dekat aula peristirahatan dekat Koridor D-223. Petugasnya yang mendengarnya itu mengeluh kesal. Namun, ia tidak membiarkanku begitu saja.

"Hai!" Dia memanggil seorang petugas yang lebih muda, menyuruh petugas muda itu untuk menemaniku mencari Yuni dan Reina. "Semoga aula itu belum dikuasai. Utamakan keselamatan kalian. Jangan nekat kalau berbahaya."

"Bagaimana dengan pengunjung yang terjebak itu?" tanya si petugas muda.

"Tunggu bantuan datang!" jawab atasannya tegas. "Jangan asal bertindak sendiri."

"Siap, Kapten!" Si petugas muda menjawab dengan tegas. Ia pun mengajakku pergi. Di tengah perjalanan, ia bertanya padaku, "Apa kamu bisa menggunakan pistol?"

"Bisa," jawabku, "Aku sudah menyelesaikan wajib militer di tempat asalku dulu."

"Bagus kalau begitu," balasnya, "Bawa ini untuk melindungi dirimu. Nanti kembalikan lagi kalau situasinya sudah membaik. Oiya, namaku Hilsham. Ayo kita bergegas."

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang