061: Permainan Simulasi (5)

7 2 0
                                    

Aku menatap peta holografik yang berkedip-kedip, memproyeksikan situasi kritis di sekitar Ikara. Armada penyerang khusus yang kukirim ke sana kini terjebak dalam pertempuran yang tak terduga. Musuh jauh lebih terorganisir dan dalam jumlah yang lebih besar dari perkiraanku. Jika aku tetap membiarkan mereka bertempur di sana, itu hanya akan menjadi pengorbanan sia-sia.

"Komandan, mundur," ucapku tegas, tanganku menggeser peta holografik, menarik unit penyerang khusus keluar dari sektor Ikara. "Bergabung dengan bala bantuan di sektor terdekat. Jangan bertarung sendirian."

Aku membiarkan instruksi itu beresonansi di benakku—sebuah keputusan yang terdengar berisiko, tapi langkah ini perlu dilakukan. Layaknya anak panah yang ditarik mundur sebelum diluncurkan, kekuatan ini harus disusun kembali untuk memberikan serangan balasan yang lebih besar.

Surya, yang sedari tadi berdiri di sisiku, memandang langkahku dengan mata menyipit.

"Kamu memilih mundur di saat yang genting," komentarnya, suaranya penuh pertimbangan. "Tidak semua panglima berani mengambil langkah seperti itu."

"Aku tidak akan membuang-buang unit yang berharga," jawabku tanpa berpaling. Tanganku kembali bergerak cepat, menyusun formasi baru di peta holografik. "Daripada melawan dengan jumlah yang tidak seimbang, lebih baik mundur sementara dan menyusun serangan balik."

Aku memperbesar peta, memanggil armada Niron yang sudah sukses menjalankan misi intersepsi di sektor mereka. Dengan satu ketukan di layar, aku menggerakkan mereka menuju Ikara. Aku juga memanggil armada ketiga dan ketujuh dari sektor lain, mempercepat pergerakan mereka untuk menyerang Ikara dari arah yang berlawanan.

Surya memperhatikan gerakanku dengan ekspresi penuh minat.

"Kamu akan mengepung mereka," katanya dengan nada rendah, seakan menyadari maksud strategiku.

Aku mengangguk.

"Ikara harus dikorbankan sementara. Tapi, begitu armada kita berkumpul, kita akan melakukan serangan besar-besaran untuk mengeliminasi musuh."

Peta holografik memperlihatkan pergerakan armada yang mulai mengepung sektor Ikara, membentuk jepitan dari berbagai arah. Langkah ini tidak hanya mengisolasi musuh, tetapi juga memaksa mereka bertempur di dua front sekaligus. Aku memastikan bahwa setiap celah di sektor lain tetap terjaga agar tidak muncul serangan mendadak di tempat lain. Ini adalah momen yang genting, dan setiap gerakan harus dieksekusi dengan sempurna.

"Ini akan jadi serangan habis-habisan," gumamku pelan, menatap peta dengan penuh konsentrasi.

Surya berdiri lebih dekat, mengamati pertempuran yang terbentang di depannya. "Kamu benar-benar memahami seni perang, Letda Ghenius. Kamu tak hanya berani mundur, tapi juga menyerang dengan strategi yang memanfaatkan kelemahan lawan."

Di layar, pertempuran mulai memanas di sekitar Ikara. Armada perompak yang semula menguasai sektor itu kini berhadapan dengan serangan dari tiga sisi. Mereka mulai kewalahan, kehilangan koordinasi di tengah serangan balik yang terencana.

Sementara pertempuran besar itu berlangsung, sinyal komunikasi dari Viron kembali masuk.

"Letda Ghenius, kami berhasil menyelesaikan misi," lapor agen dari Viron dengan suara tegas. "Pemimpin pemberontak telah dieksekusi, dan bukti korupsinya telah dipublikasikan ke seluruh penjuru. Situasi politik di Viron sekarang terpecah. Sebagian tetap berusaha memberontak, tapi yang lain berbalik mendukung keluarga Burlian setelah intervensi dari pihak kami."

Aku menarik napas dalam-dalam. "Terima kasih, Agen. Lanjutkan pengawasan terhadap pihak yang memberontak, tapi jangan lakukan tindakan lebih jauh tanpa instruksi. Kita harus tetap memantau situasi di sana."

Sinyal ditutup, dan aku kembali fokus ke peta holografik. Serangan pengepungan di Ikara mulai menunjukkan hasilnya. Armada musuh yang semula mendominasi kini kehilangan momentum, jatuh ke dalam kekacauan karena serangan yang datang dari segala arah.

Akhirnya, saat sinyal musuh mulai menghilang satu per satu, tanda bahwa musuh berhasil dieliminasi, aku menarik tanganku dari peta. Cahaya holografik perlahan memudar, memperlihatkan bahwa permainan simulasi telah mencapai akhirnya. Sektor-sektor utama yang semula dalam keadaan genting kini stabil.

"Selamat," suara Surya kembali, penuh kepuasan. "Kamu berhasil mengatasi setiap ancaman yang ada. Strategimu brilian, Letda Ghenius."

Aku tetap diam, menahan napas. Meski ini hanya simulasi, ketegangan yang kurasakan masih menyisakan jejak di dadaku. Simulasi ini begitu hidup, dan setiap keputusan yang kuambil terasa nyata.

Surya melangkah ke arahku, senyum puas di wajahnya. "Sekarang kamu tahu mengapa aku ingin kamu di sisiku. Kamu punya kemampuan yang jarang dimiliki orang lain. Kamu berpikir taktis, cepat, dan tak ragu-ragu mengambil risiko."

Aku menatapnya dengan hati-hati, tahu apa yang akan dia katakan selanjutnya.

"Bergabunglah dengan militer Burlian, Letda Ghenius," lanjutnya, kali ini lebih tegas. "Kami membutuhkan orang sepertimu. Kamu bukan hanya seorang ilmuwan yang cerdas—kamu adalah seorang pemimpin alami di medan perang."

Aku terdiam, memikirkan tawarannya.

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang