"Dia mahasiswa dari Akademi Burlian, Kapten." Ny. Furin yang menggantikanku menjawab. Wanita itu muncul dari balik lorong dengan berjalan tertatih-tatih. Tampak seragamnya yang masih berlumuran darah. "Dia dan teman-temannya yang sudah mengarahkan kalian ke mari."
"Hah?" Pria itu menatap tak percaya. "Jadi, yang memberi kami komando sejak tadi adalah seorang mahasiswa?"
"Itu benar sekali," jawab Ny. Furin, "Gadis itu masih sibuk memberi komando sekarang. Tolong jaga ruang kontrol ini sampai pembersihan Area-D selesai."
"Ah, baiklah." Meski masih terlihat bingung dan tak percaya, pria itu mengangguk. Bagaimanapun juga, Reina telah mengarahkan mereka dengan baik sejak tadi. Jadi, dia secara naluri mengakui kemampuannya.
Pria itu keluar sebentar. Tak lama kemudian, ia kembali masuk bersama beberapa orang, termasuk tim medis. Aku diobati di tempat, sementara Yuni yang telah tumbang kelelahan dan Ny. Furin yang terluka parah segera di bawa ke ruang pengobatan dengan pengawalan ketat.
"Area-D telah berhasil dibersihkan!" seru Reina selepas menyelesaikan tugasnya, "Selamat, Para prajurit. Kalian telah berhasil merebut kembali area ini."
Reina menghela napas lega. Senyum manis tampak tersungging di bibirnya. Sesaat, mata kami saling bertatapan. Namun, ia lagi-lagi langsung memalingkan pandangannya dariku.
"Nona, perkenalkan, namaku Andreas," kata kapten dari Regu Delta-9. Ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Reina. "Senang mendapat arahan yang hebat darimu."
"Reina Bajra, terima kasih atas kerja samanya." Reina tidak mengambil jabat tangan itu. Ia membalasnya dengan kedua tangan yang menyatu di depan dada dan kepala yang sedikit menunduk. Itu adalah salam khas dari Esperheim. Dalam tradisinya, hal tersebut merupakan cara seseorang memberi salam kepada lawan jenisnya.
Kapten Andreas tampak kikuk pada awalnya. Dia terdiam sejenak, lalu menarik kembali tangannya. Sang kapten pun kembali memuji betapa hebatnya Reina dalam memberi arahan, bahkan menawarinya rekomendasi untuk bergabung dengan Stasiun Interglobal Varsa selepas lulus dari akademi nanti.
Itu adalah tawaran yang cukup menggiurkan. Bekerja di sebuah stasiun interglobal sama dengan bekerja pada sebuah negara. Gaji yang ditawarkannya pun pasti tidak main-main. Tentu saja, ada tanggung jawab besar di dalamnya.
"Terima kasih, Kapten. Saya akan memikirkannya," kata Reina seraya menerima kartu nama Kapten Andreas. "Yang penting, kami harus segera kembali ke tempat teman-teman kami berada. Mereka pasti sudah menunggu."
"Ah, benar juga!" Kapten Andreas terkekeh, lalu menyuruh beberapa anak buahnya untuk mengantar kami pulang.
Koridor-koridor stasiun tampak sangat sepi di berbagai area yang sebelumnya telah direbut oleh musuh. Hanya ada beberapa pasukan keamanan yang berjaga di sana. Namun, suasana itu langsung berubah begitu kami tiba di area pengungsian.
Ramai sekali orang di sana. Mereka tampak bingung, gelisah, dan takut. Beberapa di antaranya menuntut-nuntut pihak stasiun, menyuruh mereka untuk segera mengatasi masalah ini. Ada juga yang tengah mencoba menghubungi seseorang dengan gawainya. Sayangnya, sinyal saat ini sedang terbatas di stasiun saja karena sinyal ke luar tengah diblokir oleh musuh.
"Nona!" seru seorang gadis yang usianya tampak sedikit lebih tua dari Reina. Gadis itu tampak cemas sekali. Ada bekas tangisan yang amat jelas di sekitar matanya. "Apa Nona baik-baik saja? Saya sangat khawatir, tahu! Saya takut sekali melihat Nona Yuni ditandu ke ruang pengobatan tadi. Saya kira, Nona masih terjebak di luar sana. Saya takut. Mohon maafkan saya karena tidak bisa menjaga Nona dengan baik."
"Te-tenanglah, Anie," balas Reina jadi repot sendiri dengan kecerewetan dayangnya itu. "Aku baik-baik saja kok ...."
"Savil!" seruan Souli yang keras mengejutkanku. Bocah itu tiba-tiba memelukku seperti teman yang sudah lama tak saling bertemu, padahal baru kemarin aku melihat. Pelukannya itu membuat lukaku terasa nyeri.
"Oh, maaf," katanya segera melepaskan pelukannya. "Aku terlalu bersemangat melihatmu kembali. Kamu tahu, aku sudah mengutus teman-temanku ke mana-mana, tapi mereka tidak bisa menemukanmu di mana pun. Hanya orang-orang berpakaian aneh saja yang mereka lihat."
"Kami harus sembunyi," ucapku membalas perkataan bocah yang tak kalah cerewet dengan Anie ini. Oiya, teman-teman yang Souli maksud itu pasti makhluk-makhluk astral yang ia punya. Aku sempat melihat beberapa dari mereka di layar pengawas ruang kontrol.
"Yah, syukurlah kamu selamat," ucapnya lagi, "Aku tidak mau kehilangan temanku lagi setelah keluar dari Esperheim."
"Lagi?" Kulihat riak sendu di balik ekspresi riangnya. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi padanya di masa lalu.
"Bukan apa-apa." Souli langsung mengelak, tak mau mengungkitnya lagi.
Ya, sudah kalau dia tak mau bicara. Toh, itu bukan urusanku.
Paginya, Armada Tempur Angkasa Varsa datang. Pasukan mereka memasuki stasiun, membantu para pasukan keamanan untuk menghabisi musuh yang tersisa. Pembersihan itu berjalanan cepat. Tak ada satu pun musuh yang bisa lolos.
Stasiun pun dinyatakan aman tak lama kemudian. Para esper yang sebelumnya bertamasya ke Planet Varsa kini telah kembali ke stasiun. Waktu transit pesawat angkasa kami juga akan segera berakhir. Besok, kami akan segera melaju ke Sistem Delima, sistem di mana Akademi Burlian berada.
Yah, kupikir akan berjalan selancar itu. Sayangnya, tepat satu jam sebelum keberangkatan kami, musuh kembali. Mereka bahkan membawa armada yang lebih besar dari Armada Tempur Angkasa Varsa. Seketika, akses keluar-masuk stasiun pun terblokir dan kami kembali terjebak di medan tempur angkasa.
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Ciencia FicciónSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...