Di tengah riuh rendahnya aula besar yang gemerlap, kami duduk di salah satu meja panjang bersama banyak tamu lain. Sorot lampu gantung kristal yang berkilauan di langit-langit memberikan cahaya hangat, sementara suara gelas bersulang dan canda tawa orang-orang berpadu dengan musik orkestra lembut yang mengalun di latar belakang.
Seragam pasukan dan gaun-gaun formal para tamu menciptakan suasana elegan yang hampir terasa seperti pesta kemenangan. Aku bisa melihat beberapa wajah dari unit lain yang sedang bercakap-cakap dengan penuh semangat, merayakan selesainya pertempuran yang melelahkan.
Di tengah atmosfer itu, Yuni tampak tak senang. Wajahnya cemberut di bawah lampu yang temaram.
"Savil," panggilnya dengan suara yang terdengar pelan, tapi tegas. Matanya menyipit. Ia menggembungkan pipinya lagi, membuatnya terlihat seperti tupai marah yang hendak menyerang. Tangannya mengepal di atas meja, jari-jarinya sedikit gemetar seolah menahan luapan emosinya.
"Apa-apaan ini?" lanjutnya, suaranya kini lebih tajam di tengah hiruk-pikuk perayaan.
Aku menatapnya sebentar sebelum menjawab dengan santai. "Makan malam," sambil mengambil satu dimsum dari piring di depanku. "Bukannya kamu bilang ingin makan malam denganku?"
Matanya melebar, nadanya semakin penuh frustrasi.
"Bu-bukan ini yang kumaksud!" suaranya terdengar keras di atas gemuruh aula. "Apa kau tidak peka sama sekali? Ini tidak romantis. Kenapa kau juga mengundang semua orang ke mari?"
Aku menghela napas, mencoba bersabar di tengah situasi yang tak sepenuhnya kuatur.
"Sejujurnya," jawabku setelah menelan dimsum, "Bukan aku yang mengundang mereka, tapi pemerintah SIV yang mengundang kami semua. Jadi, aku meminta mereka untuk mengundangmu juga. Bagaimanapun, kamu juga berperan dalam pertempuran saat itu."
Nada suaraku sengaja kubuat tenang, tapi kupikir ia tahu aku sedikit defensif.
Wajah Yuni semakin masam, tapi ia tidak membalas. Sebagai gantinya, dia meraih salah satu dimsumnya—yang seharusnya milikku—dan memakannya dengan penuh amarah terpendam. Matanya seolah tak ingin bertemu pandang denganku. Wajah kesalnya itu membuatku tersenyum dalam hati.
Ada sesuatu yang hangat tentang cara Yuni bertingkah seperti ini. Dia tampak begitu manusiawi, begitu nyata. Meski begitu, aku tahu ia kecewa.
"Utangku sudah lunas," lanjutku sambil tersenyum simpul, berusaha mencairkan suasana. "Kamu memintaku untuk makan malam bersama, kan? Kita sedang melakukannya sekarang."
Yuni mendesah kesal, matanya menunduk lagi, kali ini lebih dalam. "Padahal aku sudah repot-repot berdandan. Apa gunanya usahaku memilih gaun terbaik selama berjam-jam hari ini? Aku kira setidaknya kita akan berdua saja, walaupun di restoran murah."
Suaranya rendah, terdengar lebih kepada dirinya sendiri daripada padaku. Gadis Penenun itu seolah tengah mengajukan protes yang tidak ia harapkan jawabannya.
Perlahan, ia mendongak, tatapannya tajam. Matanya bersinar dengan kilatan emosi yang terasa menyayat.
"Kenapa kau tidak peka sama sekali? Dasar cowok!"
Suara cemoohan itu keluar, menggema di antara gemuruh tawa para tamu yang lain.
Aku mengerjapkan mata, mencoba memahami sepenuhnya apa yang Yuni rasakan. Kurasa, aku bukannya tidak peka, hanya tidak ingin terlalu kepedean saja. Akan memalukan bila apa yang kupikirkan di kepalaku hanya salah paham.
"Jangan salahkan aku. Kamu sendiri yang tidak mendetailkannya," balasku, kini agak defensif, berusaha menghindari tatapan yang seolah ingin menusukku. "Kamu kan cuman bilang mau 'makan malam bersama', bukan 'makan malam berdua'. Aku hanya mengabulkan apa yang kamu minta. Auw...!"
Tiba-tiba, rasa sakit tajam menghantam kakiku di bawah meja. Yuni, tanpa aba-aba, menginjak kakiku dengan ujung sepatu hak tingginya. Sakitnya menusuk, dan aku terpaksa menahan desis saat rasa sakit itu menjalar naik.
Dia tidak bicara lagi, hanya menatapku dengan sorot mata kesal tapi sedikit puas. Suasana di sekeliling kami tetap ramai, tamu-tamu lain tertawa, berbincang, bahkan beberapa di antaranya bersulang untuk kemenangan. Namun di meja kami, hanya ada satu hal yang terasa—ketegangan yang memekik di antara harapan yang tidak terpenuhi dan pengertian yang belum tercapai.
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...