"Meskipun seorang esper, saya tidak mampu menggunakan kemampuan supernatural tertentu." Suaraku terdengar tenang, tapi ada ketegangan yang tak bisa sepenuhnya kusamarkan. Tatapan dari siluet-siluet itu terasa seperti beban di dadaku. "Hal tersebut merupakan kasus langka yang bisa terjadi di tengah ordo kami."
Keheningan sejenak menyelimuti ruangan, hanya diisi oleh dengung samar dari layar holografis.
"Jadi, kamu seperti manusia biasa, begitu?" Suara itu muncul dari salah satu siluet, dingin dan tajam, seperti mencoba menggali lebih dalam ke luka yang sejak lama kupendam.
Aku tidak menjawab. Bukan karena tidak mau, tapi karena jawaban itu terasa tidak perlu. Namun, sebelum suasana semakin menekan, suara lain dari sosok yang berbeda memotong.
"Tidak sepenuhnya." Nada suaranya lebih netral, seolah mencoba menawarkan sudut pandang yang berbeda. "Savil tetap memiliki kemampuan di atas rata-rata manusia. Kecerdasannya tinggi, dia mampu mengambil keputusan cepat dan tepat, bahkan kemampuan fisiknya pun tak kalah mumpuni. Bagi ordo manusia, itu adalah kemampuan yang tidak bisa diremehkan sama sekali."
Sebuah komentar yang tidak aku duga. Aku hanya menatap ke depan, tidak yakin apakah itu bentuk penghormatan atau sekadar observasi objektif.
"Cukup." Siluet ketiga berbicara, suaranya terdengar lebih formal. "Ujian selanjutnya tidak diperlukan. Adipati Muda Burlian telah melakukan penilaian serupa sebelumnya. Hasilnya cukup mendukung rekomendasi."
Sekilas, wajah Surya Alam Burlian melintas di pikiranku, bersama senyumnya yang penuh teka-teki. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri dari kejutan ini.
"Sekarang," lanjut suara formal itu, "Kita sampai pada titik penting. Divisi mana yang akan menjadi rumahmu, Savil Ghenius?"
Aku mengerutkan kening. "Divisi?"
"Ya," jawab suara formal tersebut. "Asosiasi Kesatrian memiliki berbagai divisi, masing-masing dengan peran khusus dalam menjalankan misi besar akademi. Berdasarkan hasil evaluasi, ada empat divisi utama yang cocok untukmu."
Layar holografis di depanku menyala, menampilkan empat simbol berbeda, masing-masing dengan nama divisi di bawahnya.
"Divisi Tempur." Simbol pertama berbentuk pedang bersilang dengan perisai. "Bagi mereka yang memiliki keberanian untuk menghadapi musuh di garis depan."
"Divisi Strategis." Simbol kedua berbentuk peta dan bidak catur. "Untuk pemikir dan perencana, mereka yang menggerakkan langkah-langkah kemenangan."
"Divisi Tekno." Simbol ketiga menunjukkan sebuah roda gigi dengan percikan listrik. "Tempat bagi mereka yang ingin menciptakan teknologi untuk mendukung misi dan eksplorasi."
"Divisi Intel." Simbol terakhir adalah mata dengan garis-garis melingkar. "Untuk pengamat bayangan, pengumpul informasi, dan penjaga rahasia."
Aku memandang keempat simbol itu dengan saksama. Setiap divisi memiliki daya tariknya sendiri, tetapi juga tanggung jawab yang besar. Mereka semua menunggu jawabanku, tapi tidak ada paksaan dalam nada suara mereka.
"Ambil waktu untuk berpikir," ujar salah satu dari mereka. "Keputusanmu akan menentukan peranmu di dalam asosiasi."
"Namun, ingat," tambah yang lain. "Sekali memilih, tidak ada jalan untuk mundur."
Aku menarik napas dalam. Berbagai pertimbangan memenuhi pikiranku. Divisi Tempur—mungkin tempat paling jelas bagiku dengan latar belakang militer dan ujian fisik tadi. Namun, Divisi Strategis juga memanggil, menawarkan tantangan intelektual yang aku sukai. Divisi Tekno terasa sejalan dengan jurusan yang kuambil, pasti menarik untuk menciptakan sesuatu yang baru. Sedangkan Divisi Intel, entah kenapa, membuat rasa penasaran dalam diriku terusik.
"Apa kau sudah memutuskan?" tanya mereka serempak, membuat tekanan di ruangan ini semakin nyata.
Aku mengangkat kepala, menatap simbol-simbol itu sekali lagi. Rasanya seperti memilih jalan hidup yang tak akan bisa kuubah lagi. Jemariku terangkat perlahan menuju layar di depanku, siap menyentuh salah satu simbol.
Namun, sebelum jariku menyentuh layar, ruangan mendadak bergetar ringan. Layar holografis berkedip sekali, disusul suara statis kecil.
"Gangguan apa ini?" salah satu siluet terdengar gelisah, tapi suaranya langsung terputus.
Seketika, seluruh ruangan gelap. Monitor-monitor mati, meninggalkan aku sendirian dalam kegelapan yang pekat.
Di tengah keheningan, suara asing terdengar dari arah tak jelas.
"Savil Ghenius. Apakah kau benar-benar tahu apa yang sedang kau pilih?"
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...