031: Kondisi yang Semakin Genting

2 1 0
                                    

Di dalam ruang komando Markas Pusat, suasana semakin tegang. Udara di sekitarku terasa berat, dipenuhi suara bip dari radar, laporan darurat, dan perdebatan yang semakin memanas di antara para perwira tinggi. Kolonel Amad, yang selalu tegas, kini terlibat dalam perdebatan sengit dengan Komandan Delta-1, suaranya semakin meninggi.

"Kita harus mengirim Delta-1 ke lini depan, Kolonel! Mereka bisa menolong unit yang bertahan di markas Area-X!" desak komandan itu, wajahnya memerah karena frustasi.

"TIDAK!" Kolonel Amad membentak, wajahnya keras seperti baja, "Jika Delta-1 pergi, lini belakang pasukan evakuasi akan terancam. Hancurnya pesukan evakuasi sama saja kegagalan dalam misi."

"Tapi pasukan di Markas Area-X—!"

"Itu bunuh diri!" Kolonel Amad memotong, nadanya begitu tegas, namun penuh ketegangan. "Kalau Delta-1 berbalik ke belakang, mereka hanya akan menjadi sasaran empuk musuh. Markas itu sudah dikepung dari segala sisi. Unit yang ada di sana harus bertahan selama mungkin sampai kita bisa melakukan konsolidasi untuk mengirim pasukan bantuan yang benar-benar siap!"

Aku melihat komandan itu membuka mulut, tapi dia tak bisa berkata apa-apa lagi. Kolonel Amad telah mengambil keputusan, dan meskipun berat, kami tak punya pilihan lain. Aku mengerutkan kening, jari-jariku gemetar saat aku mencoba memikirkan strategi lain, tapi semua jalan terasa buntu.

Tiba-tiba, salah seorang komandan di markas pusat melaporkan kabar buruk, menambah keruh situasinya.

"Kolonel, unit di Pos 5 tidak bisa bertahan lebih lama! Izin untuk mundur!" suara komandan itu terdengar memohon. Kulihat wajahnya tegang, sementara tangannya gemetaran.

"Diizinkan! Segera perintahkan unit di Pos 5 untuk mundur!" Kolonel Amad menjawab tegas.

Saat itu juga, tayangan dari Pos 5 mendadak gelap, gambarnya terguncang hebat sebelum akhirnya layar padam sepenuhnya. Personel yang memegang kamera... mungkin telah gugur.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan perasaan tak berdaya yang semakin merayap ke dalam diriku. Pos 5 jatuh. Aku mencoba menelan kenyataan pahit itu, meskipun tenggorokanku terasa kering.

Suasana di ruangan komando semakin gelap. Semua orang tahu—kami perlahan-lahan terkikis. Beberapa prajurit yang berada di konsol terdekat saling berbisik cemas, wajah mereka menggambarkan kepanikan yang mulai tak tertahan.

Di luar, drone-drone musuh semakin banyak. Aku melihat dari salah satu layar, bagaimana mereka terus menembakkan plasma-plasma panas ke arah pasukan darat yang masih berusaha mati-matian melindungi rute evakuasi.

"Mereka mulai menyisir ke arah Pos 4 dan Pos 3, Kolonel!" lapor seorang operator di sisi lain ruangan, suaranya tak kalah tegang. Aku bisa merasakan ketakutan menyebar di ruangan ini. Posisi kami semakin terpojok.

Kolonel Amad tak menanggapi segera. Dia menatap layar utama dengan sorot mata keras, rahangnya mengatup rapat.

Aku kembali menatap layar yang lain—di sana terlihat Souli. Dia berjuang sekuat tenaga, meski sudah di ambang batas kekuatannya. Makhluk-makhluk astralnya menghilang satu per satu, tersisa hanya dua ekor macam yang terus setia melindungi dia. Napasnya terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. Namun tiba-tiba, dengan sisa tenaganya, Souli memanggil sekelompok makhluk astral berbentuk kelinci—kecil, namun dipersenjatai dengan palu-palu besar.

Makhluk-makhluk kelinci itu tampak marah. Matanya merah membara, seakan menyadari kondisi Souli yang sekarat. Mereka berlari secepat kilat menuju koridor di mana Instruktur Isy masih bertahan, menerjang hujan peluru dengan kegilaan. Tapi mereka hanyalah kelinci kecil—dan meskipun marah, kekuatan mereka tak sebanding dengan tembakan plasma musuh yang tanpa ampun.

Satu per satu, mereka jatuh. Tubuh mereka menghilang begitu saja, seolah tertiup angin, setiap kali terkena peluru. Amarah mereka tak cukup kuat untuk mengatasi brutalnya medan perang ini. Aku merasakan perih di hatiku melihat makhluk-makhluk itu hancur, dan Souli yang semakin lemah, nyaris pingsan di pangkuan salah satu macamnya.

"Kolonel Amad!" teriak salah satu teknisi, "Pos 2 sedang diserang! Mereka tidak akan bertahan lebih lama! Perimeter kita hampir runtuh sepenuhnya!"

"Pasukan evakuasi akan berada dalam bahaya bila Pos 2 runtuh," gumam salah satu perwira yang duduk tak jauh dariku, suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk menambah kekacauan pikiran di dalam kepalaku.

Aku mengepalkan tanganku, merasakan kuku-kukuku menggali telapak tanganku. Kami harus melakukan sesuatua, tetapi kepalaku terasa kosong. Setiap opsi yang kupikirkan berujung pada kebuntuan. Di layar, Souli masih berjuang, sementara Instruktur Isy dan personel Beta-7 bertahan dengan sisa-sisa kekuatan mereka. Pos 5 telah jatuh, Pos 4 dan Pos 3 akan segera menyusul. Dan di luar, UE-1 dan Beta-1 masih terjebak, tak mampu bergabung dengan kami.

Aku menghela napas berat, mataku tertuju pada Kolonel Amad yang masih keras kepala, menolak mengirim Delta-1 ke luar untuk membantu kami. Aku tahu dia benar... tapi jika kami terus begini, kami semua akan mati.

"Kolonel!" Aku akhirnya bersuara, lebih keras dari yang kuinginkan. Semua mata beralih padaku. "Jika kita tidak bertindak sekarang, kita akan kehilangan semuanya! Setidaknya izinkan sebagian dari Delta-1 untuk bergerak menghantam musuh dari belakang!"

Wajah Kolonel Amad semakin tegang. Dia menatapku lama, ekspresinya tak terbaca. Lalu, perlahan dia membuka mulutnya, hendak memberi jawaban—tapi sebelum dia sempat berbicara, seorang komandan melapor.

"Sinyal dari Pos 4 dan Pos 3 hilang!" katanya penuh kepanikan, "Pasukan evakuasi dalam keadaan rawan!"

Aku berdiri terpaku, hatiku berdegup kencang. Pasukan evakuasi baru sampai di antara Pos 5 dan Pos 4. Mereka pasti sudah terkepung sekarang. Menembus Pos 4 saja pasti sudah sulit, apalagi dengan Pos 3 yang telah dikuasai.

Musuh ada di mana-mana. Aku tak pernah menyangka kalau personel mereka sebanyak itu, bak semut yang memenuhi satu ruangan. Kami mungkin akan sepenuhnya gagal dalam misi ini.

Belum habis berita itu tercerna sempurna di kepalaku, sebuah suara dingin tiba-tiba terdengar melalui interkom, suara yang membuat darahku membeku.

"Savil... mereka sudah menembusku." Suara Instruktur Isy terdengar parau dan bergetar. "Mereka... sudah menembus pertahanan terakhir. Aku tidak akan bisa menahan mereka lebih lama lagi."

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang