Labirin ini penuh dengan teka-teki dan jebakan visual. Setiap langkah terasa seperti perjudian, di mana satu keputusan keliru dapat membawa kehancuran. Beberapa lorong tampak kosong, tetapi temboknya bergerak tanpa peringatan, menjebak jalan keluar yang sebelumnya terlihat terbuka. Napasku semakin dalam, tanganku terus menggenggam pistol dengan kuda-kuda yang sudah terbentuk sempurna.
Di salah satu tikungan, suara mekanis mencuat, nyaring seperti deru gergaji logam. Mataku langsung tertuju pada dua droid darat yang muncul dari balik sudut. Bentuk mereka menyerupai laba-laba raksasa, dengan kaki-kaki logam yang panjang dan melengkung tajam. Mata merah mereka berputar, mendeteksi pergerakanku dengan akurasi yang mengintimidasi.
Mereka bereaksi lebih cepat dariku. Laser merah terang melesat ke arahku, memantul di dinding labirin yang mengilap.
Laser itu melesat, menerangi lorong sempit seperti kilatan petir yang menyambar. Panasnya menyengat kulit, membuat bahuku terasa hampir terbakar meski belum tersentuh. Aku melompat ke samping, punggungku menghantam dinding logam yang dingin, menciptakan kontras tajam dengan udara panas yang dipancarkan laser tadi.
Denting tembakan beradu dengan dinding logam, memantul seperti jeritan logam yang terus berulang. Getarannya terasa sampai ke tulang, seolah-olah labirin ini bernapas dalam irama ancaman.
Aku berjongkok di belakang tembok, mencoba mengatur napas sambil mendengarkan langkah mekanis mereka yang semakin mendekat. Jemariku menggenggam pistol erat-erat. Aku tahu aku tidak bisa bersembunyi terlalu lama. Mereka mendeteksi pergerakan, sementara tembok ini takkan memberikan perlindungan selamanya.
Dengan gerakan cepat, aku merunduk keluar dari persembunyian, pistolku terarah pada droid pertama. Jemariku menarik pelatuk.
BANG!
Tembakanku tepat mengenai sensor utama droid itu. Suara mendesis terdengar ketika tubuhnya roboh ke lantai dengan bunyi berdebum, kaki-kaki logamnya bergerak sporadis sebelum akhirnya diam.
Namun, aku tak punya waktu untuk menikmati kemenangan kecil itu. Droid kedua melompat ke arahku, kaki-kakinya yang tajam menghantam lantai logam, menciptakan percikan api. Ia mengeluarkan suara seperti deritan pintu karatan. Laras lasernya berputar, mengarahkannya padaku.
Aku berguling ke samping, hanya beberapa detik sebelum laser itu menghantam tempatku berdiri tadi. Peluru berikutnya harus tepat sasaran, atau aku akan menjadi target berikutnya.
Dengan posisi tubuh setengah terangkat, aku menyesuaikan bidikan. Droid itu bergerak cepat, tetapi otakku bekerja lebih cepat. Mataku fokus pada titik lemah di bagian tengah tubuhnya, tepat di bawah sensor utama. Aku menarik napas panjang, lalu menembak.
BANG!
Peluru itu menembus armor logam droid, menyebabkan percikan listrik dan asap keluar dari tubuhnya. Droid itu berguncang, kaki-kakinya terangkat tinggi sebelum jatuh ke lantai dengan suara menghentak yang menggema.
Aku berdiri perlahan, memastikan tidak ada ancaman lain yang muncul dari balik sudut. Tubuhku menegang, tetapi adrenalinku memudar perlahan saat aku menyadari bahwa kedua droid itu telah dilumpuhkan. Napasku terengah-engah, tapi aku berhasil mengendalikannya.
"Dua peluru, dua sasaran," gumamku, suaraku hampir tenggelam oleh dengung sisa pertempuran. Tanganku dengan cekatan memasukkan pistol kembali ke posisi siap. Kaki-kaki logam droid yang telah hancur masih tergeletak di lantai, seperti puing-puing yang ditinggalkan oleh badai.
Aku menatap ke depan. Jalanku masih panjang.
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...