008: Pengorbanan Hilsham

1 0 0
                                    


"Hati-hati!" Hilsham merentangkan tangannya di depanku, menyuruhku untuk berhenti. Tatapan mata kami sama-sama terpana oleh pemandangan di depan sana. Kami melihat petugas-petugas keamanan stasiun tergeletak tak berdaya. Tampak ada luka melepuh pada tubuh-tubuh mereka.

"Apa mereka sudah mati?" tanyaku lirih.

"Entah." Hilsham menggelengkan kepalanya pelan. Dengan hati-hati, ia memeriksa tubuh salah seorang dari mereka. Begitu pengecekan selesai, ia menghela napas. Tampak ekspresi sendu pada wajahnya.

"Lapor, Kapten!" kata Hilsham dengan perangkat telekomunikasi yang terpasang di sekitar telinganya, "Saya menemukan para petugas yang telah gugur ... ya, tidak ada musuh di sini, setidaknya sekarang. Mereka mungkin sudah menyusuri area lainnya di sekitar sini ... kami masih dalam perjalanan. Sebentar lagi sampai. Semoga pengunjung yang tertinggal itu masih baik-baik saja."

"Savil, ada musuh yang mendekat ke arahmu!" Yuni tiba-tiba kembali berbicara di dalam kepalaku. "Mereka ada di Koridor D-217. Jumlahnya delapan orang bersenjata lengkap."

"Petugas Hilsham," panggilku lirih. Aku tidak tahu bagaimana Yuni bisa mengetahuinya. Namun, aku memutuskan untuk percaya saat ini. "Kita harus sembunyi. Ada musuh yang datang."

"Hah? Bagaimana kamu-?" Hilsham hendak mempertanyakan ucapanku, tapi ia langsung terdiam begitu kami mendengar suara derap langkah kaki dari koridor yang Yuni laporkan.

Ada sebuah ruang di dekat kami berada. Hilsham menyuruhku untuk segera masuk ke sana. Tak berselang lama, suara derap langkah kaki musuh terdengar di depan ruangan kami bersembunyi.

"Aku yakin ada seseorang di sini tadi," kata salah satu dari orang-orang berseragam militer lengkap itu, "Hah? Masuk ke dalam? Benarkah?"

"Sekte Leberyntos!" sebut Hilsham geram dengan suara yang lirih. Kami mengintip dari salah satu sudut ruangan yang terhalang oleh benda-benda besar. Tampak sebuah emblem pada seragam para tentara yang menyusup tersebut. "Lagi-lagi mereka berniat mengambil Varsa."

"Mereka mendekat," bisikku.

"Aku tahu." Hilsham menyiapkan senapan serbunya. Ia pun menyuruhku untuk bersiap. Tiga jarinya yang terangkat diturunkan satu per satu. Tanpa dijelaskan pun, aku mengerti apa maksudnya.

Senapan kami beradu. Tembakan Hilsham yang tiba-tiba menumbang dua orang musuh yang datang masuk ke ruang kami sembunyi. Namun, hal itu juga membuat rentetan peluru menyerbu ke arah kami.

"Aku akan mengalihkan perhatian mereka," kata Hilsham seraya memuat ulang peluru pada senapan serbunya, "Ambillah celah untuk keluar dari sini!"

Aku hanya bisa mengangguk. Bukannya aku ingin mengabaikan Hilsham begitu saja, tapi aku mungkin malah akan menghambatnya bila terus di sini.

Hilsham kembali muncul dari tempat persembunyiannya. Ia menembak sambil berlari ke arah lain. Itu membuat rentetan peluru otomatis mengikuti ke arah larinya, memberiku kesempatan untuk kabur.

Aku mengintip sejenak. Kulihat ada enam orang yang tengah menyerbu Hilsham dengan senapan-senapan mereka. Suara rentetan pelurunya pun menggema di dalam ruangan ini, menyebarkan aura pertarungan yang memicu adrenalinku.

Dengan langkah yang senyap, aku berpindah tempat, mencari lokasi yang tepat untuk membalas menembak kepala masing-masing dari mereka. Bagian belakang mereka terbuka. Keenam musuh itu fokus mengincar Hilsham sehingga tidak menyadari keberadaanku.

Aku menenangkan hatiku yang berdetak kencang, meningkatkan fokus, lalu mengincar kepala mereka dengan perhitungan yang cepat. Dalam sepuluh detik pertama, aku langsung melancarkan delapan tembakan dari amunisi pistolku. Tiga di antaranya tepat mengenai kepala mereka hingga tumbang, tapi sisanya meleset.

"Sial!" umpat yang tersisa dari mereka, "Ada yang di belakang juga."

Rentetan peluru panas segera menyerbu tempatku berada. Barang-barang di sekitarku langsung hancur seketika, bahkan dinding sampai meleleh oleh panasnya peluru itu. Bila rentetan peluru itu tidak berhenti, mungkin pilar yang kugunakan untuk sembunyi akan habis meleleh.

"Savil, apa kau baik-baik saja?" tanya Yuni di tengah pertempuranku. Aku baru saja selesai memuat ulang peluruku, hendak mengambil fokus untuk balas menyerang sebelum mereka kembali memberondongku dengan peluru.

"Aku akan membantu," kata Yuni dalam kepalaku, "Cepat habisi mereka dan jemput kami!"

Aku bisa langsung fokus begitu suara Yuni menghilang. Kulihat sisa musuh di depan sana tampak kebingungan, entah apa yang terjadi padanya. Itu memberiku kesempatan lebih untuk mengincar kepala mereka. Dalam tiga tembakan pertama, mereka semua langsung tumbang begitu saja.

"Apa sekitar kami aman?" batinku berharap Yuni menjawabnya. Aku tidak tahu apakah ia masih terhubung dalam kepalaku. Dengan kekuatan espernya, gadis itu mampu mendeteksi keberadaan makhluk hidup di sekitarnya dalam radius tertentu.

"Aman! Cepat ke mari!" jawab Yuni mengejutkanku. Tak kusangka dia akan benar-benar menjawabnya.

"Tunggu sebentar!" balasku hendak memeriksa sesuatu. Aku harus mencari Hilsham terlebih dahulu.

Kulihat petugas itu bersandar pada dinding. Tangan kirinya tertembak sampai putus. Darah bercucuran dari sana.

Aku menelan ludah seram melihatnya. Namun, bukan berarti aku bisa meninggalkannya.

Hilsham terbatuk begitu aku mendekatinya. Ia sampai memuntahkan darah dari mulutnya. Melihatku menghampirinya, ia tersenyum seraya berkata, "Syukurlah kamu selamat. Tidak salah kuserahkan pistol itu kepadamu. Cepat selamatkan temanmu. Jangan khawatirkan aku. Aku sudah melapor kepada kapten, jadi bantuan akan segera datang."

"Setidaknya, hentikan dulu pendarahan pada lenganmu," ucapku seraya mencari sesuatu untuk digunakan sebagai perban.

Hilsham menunjukkan ke suatu arah. Ada kotak pertolongan pertama di sana. Aku pun mengambilnya untuk menutup luka parah pada tangan petugas tersebut. Begitu selesai, aku langsung pamit untuk menjemput Yuni dan Reina.

Reina menungguku di dekat pintu masuk aula peristirahatan. Dia menyuruhku untuk masuk segera tanpa berkata apa pun sama sekali. Begitu masuk, kudapati aula luas yang sepi itu. Di balik sebuah meja resepsionis, Yuni bersandar sembunyi di sana dengan peluh keringat yang membasahi wajahnya.

"Syukurlah kau datang," kata Yuni dengan seulas senyum manis di wajahnya, padahal ia terlihat sedang lelah sekali. "Kita dalam masalah. Bantuan musuh telah datang. Mereka mengarah ke mari."

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang