009: Kabur

3 0 0
                                    

"Apa kamu tidak bisa mengalahkan mereka semua?" tanya Yuni seolah memandangku sebagai esper yang memiliki kekuatan super, padahal aku sendiri adalah seorang esper yang jatuh, tak dapat menggunakan kekuatan apa pun. "Jumlahnya hanya delapan orang."

"Tetap saja banyak," jawabku ragu, "Kalau sampai mereka menembak ke mari, meja resepsionis ini pasti akan segera meleleh."

Aku pun menoleh kepada Reina yang sejak tadi hanya diam. Gadis berkerudung dari ras elementalis campuran angin dan air itu langsung berpaling, entah apa masalahnya denganku. Aku pun bertanya, "Reina, apa kemampuan yang bisa kamu lakukan?"

Reina tak menjawab. Aku bahkan melihat ekspresi gugup pada wajahnya. Itu ekspresi yang mengingatkanku pada diriku yang dulu.

"Jangan lakukan itu, Savil," kata Yuni mencegahku akan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa itu. "Musuh semakin mendekat."

"Dari sini!" seru seseorang di luar sana.

Kami serentak langsung terdiam menahan napas. Kalau sampai ketahuan oleh orang-orang itu, habislah kami. Meski mungkin Yuni bisa memanipulasi pikiran mereka, Reina mungkin bisa menyerangnya dengan angin atau air, sedangkan aku menggunakan pistol yang diberikan Hilsham, tetap saja gegabah bila melawan mereka tanpa rencana. Terlebih lagi, bisa jadi bantuan mereka tidak hanya satu kelompok.

Suara tembakan tiba-tiba saja terdengar seperti saling beradu. Kulihat Yuni dan Reina kompak menutup mata dan telinganya seraya menahan diri agar tidak berteriak. Aku pun mempersiapkan pistolku, jaga-jaga bila mereka masuk ke mari.

"Mereka bertarung dengan pasukan keamanan stasiun," kata Yuni dalam kepalaku, "Tapi bantuan musuh juga datang lagi dari arah yang lain. Pasukan keamanan akan terkepung."

Aku berpikir keras, mencari jalan keluar agar kami bisa kabur dari tempat ini dan bergabung dengan para pengungsi yang lain. Kami tidak tahu sebesar apa pasukan musuh dan apa tujuan mereka menginvasi stasiun ini. Bila tujuannya sama dengan 12 tahun yang lalu, pasti pasukan mereka tidaklah sedikit.

"Apa yang bisa kulakukan?" batinku bingung, "Kalau aku menyerang mereka dari belakang, mereka akan segera masuk ke mari. Bisa bahaya, apalagi kalau sampai ada pasukan bantuan lagi dari belakangku."

"Sisi belakang kita masih aman," kata Yuni berusaha membantuku, "Aku akan mencoba mengalihkan perhatian mereka lagi. Tumbangkan mereka dengan cepat!"

"Kamu yakin? Kondisimu tampak kurang bagus." Aku menatap Yuni yang masih terpejam dengan kedua tangan menutupi telinga. Ia menyandarkan tubuhnya pada Reina, sedangkan Reina memeluknya seakan berusaha melindungi dan menenangkannya.

"Ya," jawab Yuni tanpa keraguan, "Asal kau bergerak cepat."

Aku pun mengangguk, lantas mengendap-endap keluar dari meja resepsionis aula peristirahatan. Kulihat musuh yang sedang tembak-menembak dengan pasukan keamanan di depan sana. Mereka fokus sehingga tidak dapat menyadari keberadaanku.

Selepas mendapatkan sebuah pilar yang kokoh untuk bersembunyi, aku pun meningkatkan fokus untuk menembak. Kulihat para musuh berhenti menyerang pasukan keamanan. Mereka tampak kebingungan akan sesuatu. Yuni pasti sudah memulai aksinya. Tanpa membuang-buang waktu, aku pun menjalankan peranku.

Dor! Dor! Dor!

Tiga peluru langsung mengenai sasaran. Aku langsung kembali bersembunyi. Tampaknya, suara pistolku yang keras menarik perhatian mereka. Rentetan peluru panas pun segera menyerang ke arahku berada. Aku terjebak di balik pilar yang mulai meleleh.

Rentetan peluru itu tak berlangsung lama. Para musuh yang mengincarku telah habis dibunuh pasukan keamanan. Untuk sejenak, suasana menjadi hening. Namun, suara adu tembakan kembali terdengar tak lama kemudian. Pasukan bantuan musuh telah datang.

"Pasukan keamanan sudah dihabisi," kata Yuni begitu rentetan peluru kembali berhenti untuk kedua kalinya. "Kelompok bantuan musuh masih utuh, tapi mereka berjalan ke arah lain."

"Ini kesempatan kita untuk pergi," kataku dalam hati.

"Apa kau bisa menggendongku?" pinta Yuni tiba-tiba, "Aku sedang sangat lelah sekarang. Kemampuan itu menguras banyak energiku."

"Maaf, tapi itu akan membuatku tak bisa melindungi kalian," balasku tegas, "Mintalah Reina untuk memapahmu."

"Cih!" keluh Yuni terdengar sebal, "Dasar cowok tak peka!"

"Apa pun yang ada di pikiranmu itu," ucapku tak peduli, "Lupakan saja! Cepat bergegas untuk keluar sebelum musuh datang lagi."

Yuni dan Reina muncul dari balik meja resepsionis. Tampak raut wajah Yuni yang semakin kelelahan. Penggunaan kemampuan esper itu pasti memang sangat menguras energinya.

"Ke kanan," kata Yuni memberi arahan, "Jalur itu lebih aman. Musuh di sana sudah pergi."

Aku mengangguk pelan, lalu memimpin di depan. Reina berjalan sambil memapah Yuni, sementara Yuni tetap menggunakan kemampuannya untuk mendeteksi keberadaan musuh. Dia menuntun kami sampai setengah jalan.

"Awas!" Tubuhku hampir saja hancur oleh rentetan peluru musuh. Ada banyak dari mereka yang berkumpul di Koridor D-245. Terlalu gegabah untuk menembus mereka.

Yuni terlihat semakin kelelahan. Pasti itu yang membuat kemampuannya semakin melemah. Kami terpaksa mundur untuk menghindari musuh yang mulai mendekat.

"Masuk ke sana!" bisikku seraya menunjuk ke sebuah pintu kecil yang berbeda dengan pintu lainnya. Pintu itu setengah terbuka. Tidak ada papan nama apa pun di sekitarnya. Mungkin kami bisa sembunyi di sana untuk sementara.

Aku menutup pintu kecil itu perlahan, berharap tidak ketahuan oleh musuh. Lorong ruangan tempat kami sembunyi cukup temaram. Lorong itu hanya disinari oleh garis-garis cahaya lampu yang remang.

"Savil," panggil Yuni di dalam kepalaku, "Ada seorang musuh di ruang kontrol ini. Apa yang harus kita lakukan?"

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang