Bab 107: Setelah Dua Puluh Delapan Hari

4 1 0
                                    

Cahaya putih yang menyilaukan menusuk kelopak mataku begitu aku mencoba membukanya. Pandanganku buram, seperti melihat dunia dari balik kaca berembun. Tubuhku terasa berat, setiap otot seakan menjerit menolak untuk digerakkan. Udara yang kuhirup melalui hidung terasa steril, bercampur dengan aroma obat-obatan dan antiseptik.

Aku mengerjap perlahan, menyesuaikan diri dengan cahaya di sekelilingku. Langit-langit putih bersih menyambut pandangan pertamaku, dihiasi oleh garis-garis halus dari panel-panel modern yang menyatu tanpa celah. Suara mesin medis berdengung pelan di sampingku, memancarkan cahaya hijau stabil yang tampaknya memantau kondisiku.

Rumah sakit? Aku masih hidup?

Pertanyaan itu berputar di kepalaku seperti badai kecil. Aku memaksakan kepala untuk menoleh ke samping, mencoba memahami situasiku. Selang infus tertancap di punggung tanganku, sementara monitor kesehatan menampilkan data yang terus bergerak. Alat bantu pernapasan kecil terpasang di hidungku.

Pikiranku dipenuhi dengan kekacauan.

Bagaimana aku bisa selamat? Apa yang terjadi dengan Reina? Bintang? Ainun?

Bayangan wajah Reina yang berlari menghampiriku sebelum aku kehilangan kesadaran melintas di benakku. Rambut hitam itu ... rambut yang seharusnya tidak pernah kulihat.

Sebuah suara pintu geser terdengar di ujung ruangan. Seorang pria berjas putih dengan lencana identitas di dada kiri masuk ke dalam ruangan. Rambutnya disisir rapi ke belakang, dan matanya memancarkan sorot profesionalisme.

"Ah, akhirnya kau sadar," ucapnya sambil tersenyum kecil. Nadanya terdengar lega, tapi ada kesan kelelahan di sana. Dia menoleh ke asistennya yang berdiri di belakang pintu. "Segera hubungi Adipati Muda Burlian. Katakan padanya bahwa pasien telah sadar."

Asistennya mengangguk cepat sebelum menghilang di balik pintu yang tertutup otomatis.

Dokter itu berjalan mendekat, lalu memeriksa data pada monitor di samping tempat tidurku. Jemarinya mengetuk layar digital dengan cekatan, sementara aku hanya bisa menatapnya dengan tatapan kosong.

"Berapa lama ...?" Suaraku parau, nyaris tak terdengar.

Dokter itu menoleh, bibirnya membentuk garis lurus sebelum ia menjawab, "Dua puluh delapan hari, Tuan. Kau tidak sadarkan diri selama hampir sebulan penuh."

Kata-katanya menusuk kesadaranku seperti pecahan kaca. Dua puluh delapan hari? Sebulan penuh? Apa yang terjadi selama waktu itu?

"Lukamu sangat parah," lanjutnya, suaranya merendah. "Belati yang menusuk perutmu merusak sebagian organ vital. Kami harus melakukan operasi darurat untuk menghentikan pendarahan dan memperbaiki kerusakan yang ada. Kondisimu sempat kritis beberapa kali selama operasi. Suatu keajaiban kau masih hidup sekarang."

Aku menunduk, mencoba mencerna informasi itu. Setiap tarikan napas terasa berat, seakan paru-paruku belum sepenuhnya terbiasa bekerja lagi.

"Bagaimana dengan ... Reina? Bintang? Ainun?" tanyaku dengan nada yang hampir bergetar.

Dokter itu menarik napas panjang. "Mereka selamat. Detailnya mungkin lebih baik kau dengar langsung dari mereka. Yang terpenting, kau harus fokus pada pemulihanmu dulu."

Aku mengangguk lemah. Kata-katanya melegakan, meski hanya sedikit.

Sebelum dokter itu bisa melanjutkan penjelasannya, suara pintu yang terbuka dengan cepat memotong suasana di ruangan. Sosok yang sangat familiar melangkah masuk dengan tergesa-gesa.

"Savil!"

Suara itu bergema di telingaku, membawa campuran antara kecemasan dan kelegaan yang pekat. Reina berdiri di ambang pintu dengan wajah yang dipenuhi ekspresi khawatir. Nafasnya terengah, dan matanya yang berwarna biru laut dan biru langit berkilat dengan emosi yang sulit dijelaskan.

Aku hanya bisa menatap Reina, mulutku terbuka sedikit, tapi tidak ada kata yang keluar. Bayangan sebelum aku kehilangan kesadaran kembali berputar di kepalaku.

Reina melangkah maju, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, seolah mencoba menahan sesuatu.

"Kau ... akhirnya sadar," ucapnya dengan suara bergetar.

Aku menatapnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan, tetapi yang ada hanya keheningan yang menggantung di antara kami berdua.

Saat itu juga, aku langsung ingat pertanyaanku sebelumnya,* *tapi aku belum bisa mengungkapkannya.

Reina, kenapa kau begitu mencintai Esperheim?

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang