Bab 100: Senja di Kota Dirgantara

6 1 0
                                    

Gelak tawa Bintang memenuhi sudut kecil kafe itu, menggema di antara suara alat pembuat kopi dan piring-piring yang beradu di meja pelanggan lain. Tangannya memegang secangkir cokelat panas, sementara senyum lebarnya tidak kunjung surut.

"Kalian berdua dipanggil pustakawan gara-gara ribut di perpustakaan? Astaga, ini klasik sekali!" ujarnya di antara tawa yang belum juga reda. "Dua peneliti serius yang berdebat seperti anak kecil di tengah ruang sunyi!"

Aku mendesah, menatap cangkir kopiku yang sudah mulai kehilangan uapnya. "Aku cuma menanggapi provokasi yang dia mulai duluan."

Reina, yang duduk di seberangku, mengetuk jari di tepi cangkir tehnya dengan cepat. Matanya yang heterokromia menatap tajam ke arahku. "Aku? Provokasi? Kau yang mulai meninggikan suara duluan! Aku hanya menunjukkan fakta, Savil!"

"Fakta yang sama sekali tidak relevan dengan penelitian kita," balasku, bersandar di kursi dan melipat tangan di dada.

Bintang memegang perutnya, berusaha menahan tawa yang hampir membuatnya tersedak cokelat panas. "Tolong ... berhenti ... ini terlalu lucu. Kalian seperti dua anak kecil yang berebut mainan."

"Aku tidak berebut apa pun," ucap kami berdua bersamaan, lalu sama-sama mendengus dan memalingkan wajah ke arah yang berlawanan.

Ainun, yang sejak tadi diam sambil mengaduk kopinya perlahan, tiba-tiba menyeletuk, "Kalian akrab sekali ya."

"Hah?!" Aku dan Reina serempak menoleh padanya, suara kami tumpang tindih.

"Tidak mungkin!" seru Reina.

"Akrab? Dengan dia? Tidak masuk akal!" tambahku cepat.

Ainun tertawa kecil, menutup mulutnya dengan tangan sambil menggeleng pelan. "Lucu sekali. Entah kenapa aku merasa kalian ini seperti magnet dengan kutub yang sama—saling tolak, tapi terus saja berdekatan."

Bintang, yang sudah kembali tenang, ikut terkekeh. "Saran dariku, kalian berdua mungkin butuh sesi terapi kelompok. Atau, setidaknya, berhenti saling menyalahkan untuk hal kecil seperti ini."

Aku menghela napas panjang. Reina hanya memutar bola matanya dengan kesal.

Ainun lalu menepuk kedua tangannya satu kali, menarik perhatian kami semua. "Baiklah, cukup bermain-main. Kita ada hal serius yang harus dibahas. Mengenai hasil riset kita hari ini."

Layar tablet Ainun menyala di atas meja. Tampilan hologram melayang di atas permukaannya, memproyeksikan catatan dan beberapa diagram yang ia kumpulkan.

"Sejauh ini, kita mendapatkan beberapa temuan penting," Ainun memulai, suaranya kembali serius. "Sistem penelusuran arsip di Arsip Ilmu Pengetahuan Antarplanet membantu kita mengidentifikasi beberapa celah pengetahuan tentang Esper Farsisian. Namun, data mengenai mereka sangat terbatas, dan sebagian besar berasal dari sudut pandang luar."

Aku mengangguk, mengikuti penjelasannya dengan saksama. Reina tampak sibuk meneliti diagram yang muncul di hologram. Bintang, meskipun cenderung santai, mendengarkan dengan teliti.

"Langkah selanjutnya adalah menganalisis lebih lanjut data yang kita punya. Kita mungkin harus kembali lagi ke sini sebelum liburan berakhir," Ainun melanjutkan. "Atau, kita bisa mengajukan permintaan akses khusus melalui jaringan Asosiasi Kesatrian untuk mendapatkan arsip yang lebih dalam."

"Kedengarannya seperti pekerjaan besar," ujar Bintang, meletakkan cangkirnya. "Tapi kita bisa melakukannya jika tetap kompak. Bukan seperti dua orang di sebelahku yang tadi hampir diusir dari perpustakaan."

Aku melirik Bintang tajam, sementara Reina mendesah dengan kesal. Tapi kami tidak mengatakan apa pun. Ainun menutup hologramnya dan memasukkannya kembali ke dalam tablet.

Langit mulai berubah warna menjadi jingga keemasan di balik jendela besar kafe. Kota Dirgantara, dengan gedung-gedung terapungnya yang megah dan kendaraan melayang di udara, terlihat seperti lukisan bergerak. Namun, waktu sudah hampir habis untuk hari ini. Sudah saatnya untuk pulang.

Perjalanan pulang dengan mobil terbang keluarga Burlian berjalan mulus pada awalnya. Kami berempat duduk dengan nyaman di dalam kabin yang dilapisi material bertekstur lembut, ditemani cahaya lampu kecil di dalamnya.

"Aku hampir lupa betapa menyenangkannya bekerja di luar kampus," ujar Bintang sambil meregangkan tangannya.

Ainun tersenyum kecil. "Kota Dirgantara memang mempesona di sore hari. Tapi kita harus fokus pada tugas kita selanjutnya."

Reina diam, menatap ke luar jendela dengan tatapan menerawang. Aku pun hanya bersandar dan mencoba menikmati perjalanan.

Tiba-tiba, cahaya merah berkedip di layar kontrol di depan Bintang. Suara bip otomatis memenuhi kabin.

"Peringatan: Pelanggaran protokol lalu lintas terdeteksi. Mohon hentikan kendaraan untuk pemeriksaan lebih lanjut."

Bintang mengernyitkan dahi, menekan beberapa tombol di layar kontrol. "Ini tidak mungkin. Kendaraan ini dilengkapi dengan sistem navigasi otomatis kelas atas. Tidak ada pelanggaran yang bisa terjadi."

Mobil terbang melambat, lalu berhenti di platform pemeriksaan otomatis yang melayang di udara. Aku merasakan ketegangan mulai merayap di antara kami.

"Kenapa tiba-tiba seperti ini?" gumamku, pandanganku tertuju pada platform yang mulai dinaungi bayangan dari sebuah kapal besar yang melayang di atas kami.

Tak ada yang menjawab, tapi suasana di dalam mobil menjadi sunyi. Bintang menatap ke arah luar jendela dengan ekspresi waspada. Sedetik kemudian, dia menekan sebuah tombol yang membuat pintu sebelah kanan otomatis terbuka seraya berkata, "Semuanya! Keluar!"

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang