056: Tawaran Karir

4 2 0
                                    

"Apa maksud Anda, Yang Mulia?" tanyaku, mencoba menyelami maksud tersembunyi di balik kata-katanya. Suaraku terdengar lebih kaku dari yang kuharapkan.

Surya Alam Burlian memutar tubuhnya sedikit, menatapku dengan tajam.

"Aku ingin kamu menjadi salah satu perwira militer di Burlian," jelasnya tanpa basa-basi. "Sederhana, bukan? Aku sudah melihat rekaman pertempuranmu. Kamu memberikan komando strategis yang brilian. Seandainya mereka yang kamu pimpin bukan orang-orang bebal, taktik yang kamu susun pasti bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa dan membalikkan keadaan."

Aku merasa ruangan ini semakin menyempit. Cahaya dari jendela besar di belakang Surya memantulkan kilauan emas pada marmer meja di depanku. Namun, suasana yang begitu mewah terasa lebih seperti sangkar saat aku mendengar tawaran itu. Suara detak jam dinding besar di sudut ruangan bergema samar, menambah berat ketegangan di udara.

"Saya masih banyak kekurangan, Yang Mulia," kataku, berusaha menahan napas, mencoba menolak tawaran itu dengan halus. "Lagi pula, saat ini saya seorang mahasiswa di Akademi Burlian. Tidak etis bagi saya untuk meninggalkan studi dan langsung mengambil karir penuh di militer."

Seakan mendengar keberatanku sebagai angin lalu, Surya menggerakkan tangannya, memberi tanda pada seorang pelayan yang tiba-tiba mengetuk pintu. Pelayan itu masuk tanpa suara, membawa nampan perak berisi teh hangat. Suara cangkir yang lembut bertemu dengan tatakan terdengar kontras dengan ketegangan yang masih menyelimuti percakapan kami.

"Aku tahu kamu mahasiswa," jawab Surya tenang, meneguk teh yang baru saja disajikan. "Karena itu, aku tidak akan menuntutmu sepenuhnya sampai studimu selesai. Aku bisa mengaturnya agar tugasmu di militer sejalan dengan jadwal akademikmu."

Teh di depanku masih mengepul, tapi tak sedikit pun aku tergerak untuk menyentuhnya.

"Tanpa mengurangi rasa hormat saya, Yang Mulia," lanjutku, meletakkan tangan kanan di dada, sebuah isyarat ketulusan yang selalu diajarkan di keluarga Ghenius, "Bagaimana saya bisa mempercayai hal tersebut?"

Surya tersenyum tipis, memilin janggutnya yang pendek dan halus.

"Akademi Burlian itu di bawah kendali keluarga kami," jawabnya seakan berbicara soal hal yang sepele. "Mudah saja mengaturnya."

Ada kilatan di matanya, sebuah tanda bahwa ia sedang menguji reaksiku.

Aku merasakan hawa dingin menyelusup di antara tulang-tulangku, tetapi aku tetap tenang.

"Maaf, Yang Mulia," ucapku, akhirnya berbicara dengan jujur, "Sebenarnya, saya lebih tertarik pada ilmu pengetahuan daripada militer. Karena itulah saya memilih Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Antariksa."

Surya memandangku, senyumnya sedikit meredup.

"Kamu menyia-nyiakan bakatmu," komentarnya, nada suaranya tajam, tapi masih terkendali. "Tapi aku tidak bisa menyalahkanmu. Nilaimu dalam teori sangat tinggi, bukan? Kamu pasti seorang polimatik. Kamu bisa diterima di mana pun."

Kata-katanya menusuk lebih dalam dari yang kusangka. Aku menarik napas panjang, menahan beban perasaan di dadaku.

"Terima kasih atas pujian Anda, Yang Mulia," jawabku dengan tenang, "Namun, saya masih memiliki banyak kekurangan. Perjalanan saya masih panjang."

Ruangan terasa hening, hanya terdengar suara pelan dari teh yang berputar dalam cangkir. Mata Surya mengamatiku dengan cermat, seakan menimbang setiap gerakanku.

"Yah, aku tidak akan memaksamu," ucapnya, akhirnya mengalah. Kata-katanya memberi isyarat bahwa percakapan ini bisa berakhir. Rasa lega muncul di dalam diriku. Aku mungkin bisa segera bergabung dengan Bintang dan lainnya di luar. Selain itu, aku belum sempat berbicara lebih lanjut dengan Ainun mengenai pertanyaan anehnya tentang Farsisian.

"Kalau begitu, Yang Mulia. Saya—" kata-kataku terpotong saat Surya mengangkat tangannya, membuatku terhenti.

"Jangan buru-buru," ujarnya dengan nada misterius. "Bagaimana kalau kita bermain sejenak?"

Aku menoleh, kebingungan. "Bermain?"

Surya mengetuk permukaan meja dengan jarinya, dan dalam sekejap, meja besar di depanku menyala dengan lembut. Holografik besar muncul di atasnya, memproyeksikan peta tiga dimensi yang sangat detail. Pulau-pulau kecil melayang di udara, garis-garis orbit yang rumit mengelilingi mereka. Ketika empunya peta itu mengusapnya, pulau-pulau kecil yang melayang di udara tersebut menciut digantikan panorama yang lebih besar dan cantik, panorama sebuah sistem bintang.

"Apa kamu tahu peta apa ini?" tanya Surya, senyumnya kembali mengembang. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar permainan di balik tatapannya—ia masih belum menyerah soal diriku.

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang