Bab 96: Dia Tiba-Tiba Ikut

6 1 0
                                    

"Savil, kamu harus ikut bersama kami!" Ainun menatapku dengan mata berbinar, seolah sudah mengetahui jawabanku. "Kota Dirgantara memiliki koleksi arsip yang bahkan tidak bisa diakses di sini. Jika kita ke sana, penelitian kita akan mendapatkan lebih banyak data untuk diajukan ke Asosiasi Kesatrian."

Aku memandangi peta holografis Kota Dirgantara yang melayang di atas meja kafe. Ainun memutar-mutar diagram dengan jari-jarinya, menyorot lokasi yang disebut "Arsip Ilmu Pengetahuan Antarplanet". Kata-katanya memang masuk akal. Arsip itu terkenal sebagai pusat dokumentasi terbesar di Kekaisaran Bima Sakti.

"Kenapa sekarang?" tanyaku, meski tahu pertanyaanku tidak sepenuhnya logis. "Liburan baru dimulai. Kita bisa mencicil penelitian di sini dulu."

"Karena waktu adalah segalanya, Savil," balasnya dengan senyum percaya diri. "Jika kita bisa mengajukan proyek ini lebih awal, peluang diterima oleh Asosiasi Kesatrian akan meningkat drastis. Lagipula, Bintang sudah mengatur segalanya. Akomodasi, transportasi, semuanya."

Aku terdiam, mempertimbangkan tawarannya. Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk menolak. Ainun benar. Jika aku ingin proyek ini berhasil, ini adalah langkah yang harus kuambil. Lagi pula, aku bisa mendapat lebih banyak informasi tentang Farsisian dari penelitian ini. Meski sebelumnya gagal, aku masih belum menyerah untuk menggali kemampuan levitasi dan telekinesis itu.

"Baiklah," jawabku akhirnya. "Kapan kita berangkat?"

Ainun menepuk tangannya dengan gembira. "Besok pagi! Aku tahu kau tidak akan menolak. Dengan data dari Kota Dirgantara, kita bisa menelusuri lebih banyak informasi tentang teknologi lama dan hubungan antarras dari Esperheim hingga Kekaisaran."

Aku hanya mengangguk, mencoba mencerna rencana yang tiba-tiba ini. Namun, sebelum aku bisa mengajukan pertanyaan lebih lanjut, pintu kafe terbuka dengan bunyi lonceng kecil. Seorang gadis berkerudung khas masuk, langkahnya cepat dan tegas.

Reina.

Dia berjalan langsung ke meja kami, tanpa sedikit pun menatapku. Matanya tertuju pada Ainun, ekspresi wajahnya serius.

"Ainun," katanya, suaranya tegas tapi terkontrol. "Aku ingin bergabung dalam penelitianmu."

Ainun tampak terkejut, lalu melirikku sekilas sebelum kembali menatap Reina. "Tentu, tapi..."

"Tunggu," selaku dengan nada yang tetap tegas. "Dia masih punya tugas dari Esperheim. Apa kamu benar-benar ingin mengabaikan itu, Reina?"

Reina akhirnya menatapku lagi, kali ini dengan sorot yang penuh emosi. "Aku sudah memilih, Savil. Akademi Burlian memberikan kebebasan untuk menentukan tugas yang ingin kuambil. Aku juga sudah bergabung ke Asosiasi Kesatrian. Kupikir, penelitian ini lebih cocok untukku dibanding ekspedisi dari Esperheim."

Aku mendesah panjang, menahan rasa frustrasi yang mulai muncul. "Ini bukan soal cocok atau tidak cocok. Kau punya tanggung jawab pada Esperheim, Reina. Itu hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Orchis pasti sudah membahas sesuatu denganmu, kan?"

"Ya aku sudah membahas ini dengan Orchis," balas Reina cepat. "Dia bahkan yang menyuruhku untuk ikut penelitian ini karena ini berkaitan dengan sejarah ras Farsisian. Apa kau benar-benar tidak bisa melihat nilainya, Savil?"

Hah? Kenapa Orchis masih berusaha membujukku jika ia sudah menyuruh Reina untuk bergabung dengan kami sebelumnya. Dari awal, gadis buta itu sudah tahu bahwa aku akan menolak. Namun, kenapa dia malah menyuruh Reina melakukan itu. Sebelum aku sempat mendebarnya lagi, Ainun mengangkat tangannya, menghentikan argumen kami sebelum semakin memanas.

"Cukup!" katanya dengan suara yang lembut tetapi tegas. Dia memandang kami berdua secara bergantian. "Reina, jika kau ingin bergabung, aku menghargai itu. Keputusan ini ada di tangan kita sebagai tim, dan aku tidak akan menghalangimu."

Reina tampak sedikit lega, tetapi aku tetap merasa tidak nyaman dengan keputusan itu. Aku membuka mulut untuk membalas, tetapi Ainun sudah lebih dulu melanjutkan. "Savil, aku tahu ini sulit bagimu. Tapi kita semua ada di sini untuk bekerja sama. Aku yakin, meskipun dengan perbedaan kita, kita bisa membuat penelitian ini sukses."

Aku menggeleng, tetapi tidak membalas lebih jauh. Reina menatapku sebentar sebelum memberikan anggukan singkat pada Ainun. Tanpa berkata lagi, dia melangkah mundur, mengambil tempat duduk di meja yang lebih jauh.

Ainun menarik napas panjang sebelum menatapku serius. "Savil, kita harus fokus pada tujuan kita. Jika ada halangan lain, kita akan hadapi bersama. Jangan biarkan hal-hal ini memecah fokusmu."

Aku hanya mengangguk kecil, berusaha mengendalikan emosi yang bercampur aduk di dalam diriku.

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang