"Kamu sudah sadar?" tanyaku begitu pikiran kami tertaut satu sama lain. Mataku menatap pada tubuh Yuni yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Ia terlihat sangat malang, kontras dengan dirinya yang selalu berisik dan cerewet.
"Belum," jawab Yuni di pikiranku, suara lemahnya seperti gema di ruang kosong. "Bukannya kau lihat jasadku yang terbaring lemah itu?"
Aku mengangguk dalam diam, menatap raut wajahnya yang biasanya penuh semangat. Sungguh ironis, gadis yang selalu berisik dan tak kenal lelah kini tertidur dalam kesunyian.
"Ya, aku lihat," balasku pelan, menyembunyikan rasa pedih. "Tapi kamu sedang bicara padaku sekarang."
"Oh, kamu tahu?" nadanya terdengar sedikit terhibur, "Aku baru saja sadar secara mental karena merasakan kehadiranmu. Ugh... tadi aku sangat ketakutan, Savil. Tempat itu... gelap, sunyi, seperti ruang yang tidak pernah berakhir. Senang rasanya ada orang yang mengkhawatirkanku."
Suaranya terdengar bergetar, namun ia masih berusaha tetap kuat.
"Syukurlah kamu selamat," ucapku tulus, menenangkan dirinya. Aku ingin dia tahu bahwa, meskipun ia masih dalam kondisi seperti ini, kehadirannya cukup berarti. "Kamu sudah berjuang dengan baik."
Yuni diam sejenak, sebelum menghela napas panjang dalam pikiran kami, lalu berkata dengan suara lebih manja, "Hai~ Kau tidak akan meninggalkanku, kan?"
"Aku harus pulang ke asrama sebentar lagi," jawabku, tetap mempertahankan nada jujur. Aku tak ingin memberinya harapan yang tak bisa kutepati.
"Tidak bisakah kamu menemaniku di sini?" desaknya lembut, "Aku bosan karena tidak bisa melakukan apa-apa sampai tubuhku pulih. Hanya kamu yang..."
"Aku akan panggilkan Lily agar menemanimu," balasku cepat, mengalihkan pembicaraan. "Dia pasti lebih tahu cara menghiburmu."
"Cih!" Yuni berdecak kesal, terdengar seperti dirinya yang biasa. "Tidak bisakah kau sedikit lebih peka ketika seorang gadis meminta tolong padamu?"
"Ini sudah waktunya kita pulang, Bintang," ucapku pada Bintang, tak memedulikan pertanyaan Yuni. "Aku sangat yakin bahwa gadis ini pasti baik-baik saja."
"Eh?" Bintang tampak heran melihat, tapi dia tidak menentang sama sekali. Dia tidak mengatakan apa-apa dan tampaknya cukup mengerti untuk tidak mendesakku. Kami berdua lalu mulai beranjak pergi, membiarkan keheningan menyelimuti Yuni yang masih tertidur dalam sunyi.
"Savil! Hei, jangan pergi dulu! Hai! Savil...!" serunya dalam pikiranku, suara terakhir yang kudengar sebelum aku menutup pintu mentalku bersamaan dengan Bintang yang menutup pintu kamar rawat inapnya. Seketika, kehadirannya menghilang dari kepalaku, menyisakan ruang sunyi yang aneh.
Omong-omong, aku bukannya tidak mengerti apa yang dia minta. Hanya saja, aku tidak ingin melangkahi prinsipku. Tidak ada cinta kecuali cinta yang suci. Cinta yang suci hanyalah cinta yang diikat dengan akad yang suci. Justru karena aku memiliki perasaan, aku harus menjaganya. Yah, menjaganya baik-baik, terutama dari kejahatan iblis hatiku.
Esok harinya, begitu aku bangun, aku langsung disambut oleh jadwal kelas yang padat di awal pekan. Di Akademi Burlian, hari Senin sampai Rabu adalah kelas bersama di mana para mahasiswa dari berbagai fakultas bertemu dalam satu ruangan.
Fokus hari ini adalah penelitian penjelajahan luar angkasa, sesuatu yang sangat mendalam dan juga menantang. Kurikulum di Akademi Burlian memang dibentuk dengan ambisi besar, yaitu mempersiapkan kami untuk berkontribusi pada penjelajahan semesta.
Saat hendak berangkat ke kelas, Bintang tiba-tiba menepuk bahuku. "Oiya, kamu sudah memeriksa kartu itu?"
Aku tertegun, mengerutkan kening sebelum akhirnya ingat pada kartu yang Surya berikan kemarin. Segera kuambil kartu itu dari sakuku. Begitu kugesekkan kartu itu ke gawai akademi, layar mendadak menyala, menampilkan pesan yang mengejutkanku.
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Ficção CientíficaSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...