051: Resonansi

2 0 0
                                    

"Wah, wah~" suara yang familiar itu menyambutku begitu aku memasuki sebuah taman di kediaman Keluarga Burlian. Di sana, sudah ada tiga orang gadis yang salah satunya kukenal. Dengan senyum manisnya, gadis itu menyambutku, "Savil, kita bertemu lagi. Sudah seminggu, ya. Pasti takdir yang mempertemukan kita."

"Yuni, kenapa kamu di sini?" tanyaku, membalas ucapannya, meski pikiranku masih terpusat pada langkah-langkah kikukku yang mengarah ke tengah-tengah kelompok kecil itu.

"Ainun yang mengajakku. Kami dari jurusan yang sama di Fakultas Kedokteran," Yuni menunjuk seorang gadis yang duduk di sampingnya. Gadis itu berambut hitam legam, warna yang sangat jarang terlihat di Esperheim, mirip dengan rambutku—tapi itu mungkin hal yang wajar di planet ini. Kedua matanya cokelat gelap. Senyumnya anggun, penuh dengan keceriaan yang lembut, tetapi aku merasakan sesuatu yang lebih dalam dari itu—sebuah kesan yang tiba-tiba membuat dadaku berdebar.

"Rarakasa Ainun Ayudisa," kata Bintang, memperkenalkan nama gadis tersebut, "Dia adalah tuan putri yang kumaksud sebelumnya."

"Bintang," panggil Ainun, nada suaranya tenang tapi penuh makna. "Bukannya kita sudah sepakat? Jangan panggil aku tuan putri. Aku tidak suka formalitas politik semacam itu."

"Selama terlibat dengan Keluarga Burlian," balas Bintang dengan entengnya, "Kamu akan tetap berurusan dengan politik, Putri Ainun."

"Bintang!" seru Ainun, wajahnya mulai memerah karena kesal. "Cukup sampai di situ!"

"Oke, oke," Bintang mengangkat tangannya, tanda menyerah pada ego sang putri, "Aku hanya bercanda. Ah, ya. Satu lagi adalah..."

"Bulan Laras Ayuningrat," sambung gadis terakhir yang tampak paling muda. Senyumnya ramah, tapi ada nada formalitas dalam suaranya. "Selamat datang di Kediaman Keluarga Burlian, Tuan Ghenius."

"Dia adikku," kata Bintang, "Panggil saja Bulan."

"Salam, Nona Bulan," sapaku formal. Kepalaku sedikit menunduk, tetapi mataku diam-diam melirik pada Ainun yang duduk dengan tenang. Rambutnya yang hitam legam tampak begitu kontras dengan kebanyakan espers di Esperheim yang biasanya memiliki rambut cerah atau warna-warni sesuai dengan gen esper mereka.

Yah, dia aslinya memang manusia. Tidak jarang manusia yang berambut hitam. Bulan, misalnya. Kupikir dia akan memiliki rambut putih seperti Bintang, tapi ternyata tidak. Kami pun duduk, lalu mulai ikut dalam percakapan mereka.

Sementara percakapan di sekelilingku berlangsung, aku berusaha tetap terlibat, sesekali menimpali, meski perhatian utamaku sesungguhnya tertuju pada Ainun. Sesuatu tentang dirinya menarikku, sesuatu yang tidak bisa kupahami dengan pasti, tetapi semakin lama aku berada di sini, semakin kuat perasaan itu.

Lalu, perlahan, aku mulai merasakan getaran halus di udara. Bukan seperti angin biasa, melainkan perubahan yang tak kasat mata. Gravitasi di sekeliling kami seolah sedikit berubah—sesuatu yang hanya bisa kurasakan, entah mengapa, dan aku menduga hal ini mungkin ada hubungannya dengan Ainun.

Aku berusaha mengalihkan perhatianku ke percakapan yang terus berlanjut. Bintang sedang melontarkan lelucon ringan tentang politik, sementara Yuni tertawa kecil. Bulan hanya tersenyum samar, sesekali ikut menimpali.

"Bintang selalu suka bermain-main dengan kata-kata," ujar Yuni, masih dengan senyumnya yang ceria. "Kalau dia jadi politisi, pasti tidak ada yang bisa membantah ucapannya."

"Dia pasti akan jadi ahli retorika," tambah Bulan sambil tertawa kecil, "Politik tidak akan pernah seindah ini tanpanya."

Percakapan terus berlanjut, tetapi getaran halus itu semakin jelas di benakku. Kenapa aku merasa seperti ini? batinku, mencoba memahami perubahan aneh yang terjadi.

Ainun juga tampak sedikit gelisah. Matanya yang tadi tenang kini berkilat aneh sesaat, seolah dia juga menyadari sesuatu, tetapi dia tidak menunjukkannya secara langsung.

Tiba-tiba, tanpa disadari, rambutku bergerak seolah ada angin tipis yang lewat, tapi aku tahu lebih baik. Ini bukan angin biasa—ini adalah tanda bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi di antara kami. Perasaan ini tak kunjung hilang.

"Kalian serius?" Bintang tiba-tiba menimpali dengan nada bercanda. "Jangan bilang kalian diam-diam membicarakan masa depan politikku. Aku lebih tertarik untuk melihat apakah Savil tertarik dengan politik atau ilmu pengetahuan."

Aku hanya tersenyum tipis, tetapi pikiranku masih fokus pada Ainun. Dia menatapku lebih dalam, dan dalam sepersekian detik, aku bisa melihat bayangan yang sama terpantul di matanya. Kedua mata cokelatnya tampak menyelidik, dan dalam sekejap, aku merasakan... kami memiliki kesamaan.

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang