Tidak banyak yang terjadi sepanjang sesi makan siang, tapi suasana di ruang makan terasa berbeda.
Surya Alam Burlian, adipati muda sekaligus kakak dari Bintang dan Bulan, duduk dengan tenang di ujung meja. Pria muda yang penuh kharisma itu mengajak kami mengobrol santai, jauh dari topik berat seperti politik atau tata negara. Alih-alih, dia memilih membicarakan keseharian adik-adiknya dan tamu-tamunya, dengan cara yang membuat suasana makan siang ini terasa lebih akrab, meski ada nuansa formal yang tetap terjaga.
Ruangan itu sendiri memancarkan kemewahan aristokrat. Dinding-dinding berlapis marmer putih berpadu dengan ukiran logam perak yang menghiasi sisi-sisinya. Meja makan panjang terbuat dari kayu berkilauan di bawah cahaya lampu gantung kristal, sementara di sisi-sisinya terlihat jendela-jendela besar yang menghadap taman-taman subur di luar. Dari kejauhan, terlihat hamparan bunga yang tersusun rapi, dikelilingi pepohonan hijau dengan air mancur di tengahnya.
Bintang dan Bulan menjawab dengan santai setiap ucapan Surya, seolah ini makan siang biasa bagi mereka. Senyum ceria Bintang dan sikap elegan Bulan mencerminkan kehidupan aristokrasi yang mereka jalani dengan ringan. Tak ada tanda ketegangan atau kecanggungan di antara mereka.
Ainun, sebagai seorang putri kekaisaran, menunjukkan etiket makannya yang sempurna. Setiap gerakannya penuh kehati-hatian dan keanggunan. Sesekali dia membalas ucapan Surya dengan senyum simpul—senyum yang lebih seperti formalitas daripada keakraban. Jelas, meski ia terbiasa dengan suasana kerajaan, di sini ia menjaga sikapnya lebih tertutup.
Di sisi lain, Yuni terlihat begitu santai, seolah sedang makan di rumah sendiri. Entah karena dirinya memang sesupel itu atau mungkin keluarga Nuuri tidak terlalu ketat dalam soal etiket, Yuni tetap ceria dan lancar menjawab setiap pertanyaan dari Surya. Sesekali ia menertawakan candaan Bintang, yang meskipun singkat, berhasil mencairkan suasana.
Aku sendiri lebih sering menjadi pendengar. Sesekali aku mengangguk dan tersenyum tipis menanggapi beberapa perkataan Surya. Sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana harus berperan di dalam interaksi sosial yang penuh dengan aristokrasi ini. Meski aku juga berasal dari keluarga terhormat di Esperheim, berada di antara mereka, dengan perbedaan kebudayaan dan status, membuatku merasa sedikit terasing.
Sesi makan siang akhirnya hampir selesai ketika Surya tiba-tiba memanggilku, suaranya terdengar sedikit lebih serius. "Tuan Ghenius."
Aku mendongak, merasa perhatianku langsung tertuju padanya. "Ya, Yang Mulia?"
"Aku yakin Ki Semar sudah memberitahukannya padamu," lanjutnya dengan nada yang lebih dalam. "Bagaimana? Apa kamu berkenan mengobrol sedikit denganku setelah ini?"
"Tentu, Yang Mulia. Dengan senang hati," jawabku dengan anggukan pelan dan seulas senyum tipis. Mana mungkin aku menolak undangan dari seorang penguasa muda? Apalagi, sebagai bagian dari keluarga Ghenius, aku memahami betul pentingnya menjaga hubungan dengan pemimpin berpengaruh seperti dia.
Sementara itu, Bintang dan Bulan mengajak Yuni dan Ainun untuk melakukan kegiatan lain di luar setelah makan siang selesai.
"Susullah kami setelah urusanmu dengan kakanda selesai," kata Bintang dengan senyum ringan, "Ki Semar atau abdi dalem lainnya akan menunjukkan padamu jalannya."
Aku hanya mengangguk, lalu melanjutkan perjalananku bersama Surya. Dia membawaku ke sebuah ruangan yang terletak di sayap berbeda dari ruang makan, di mana lorong-lorong kediaman Burlian yang canggih dan modern berbaur dengan taman-taman luar yang tampak subur, menambah estetika arsitektur tradisional dan futuristik. Melewati jendela-jendela besar, aku bisa melihat lebih banyak taman terawat, dihiasi oleh bunga-bunga cantik dan air mancur, yang membuat suasana terasa damai, juga penuh kebesaran.
Akhirnya, kami tiba di sebuah ruangan luas yang tampaknya seperti kantor pribadi. Di dalamnya terdapat rak-rak buku tinggi yang berderet rapi, meja kerja elegan dengan piranti modern, dan sofa nyaman yang ditempatkan di tengah ruangan. Surya menutup pintu dengan tenang sebelum mempersilakan aku duduk.
"Silakan duduk," ucapnya, senyum ramahnya masih tergambar di wajahnya, meskipun nada suaranya sedikit berubah menjadi lebih serius. "Mari kita langsung bicara tanpa basa-basi lagi."
Aku duduk di salah satu sofa empuk yang tersedia, sementara Surya duduk di seberangku, wajahnya tenang, tapi penuh intensitas. Aku menatap wajahnya yang tersenyum ramah itu, berusaha membaca pikirannya. Namun, aku tidak menemukan apa-apa di sana selain rasa penasaranku yang semakin meningkat. Ada sesuatu di balik sikap santainya yang belum kumengerti.
"Apa itu?" tanyaku, merasa bahwa percakapan ini akan segera berubah menjadi sesuatu yang lebih penting.
Surya menatapku dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Letda Ghenius."
Aku terkejut ketika mendengar dia menyebut pangkat kelulusanku dari Akademi Elementalis.
"Bergabunglah dengan kami," lanjutnya.
Perasaanku seketika berubah. Kata-kata itu menggantung di udara, menimbulkan pertanyaan yang tiba-tiba mengendap dalam benakku. Apa maksudnya? Bergabung dalam apa?
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...