Ruang presentasi mulai kosong saat aku mematikan proyeksi terakhir pada layar holografis. Bintang menyandarkan tubuhnya di kursi, menghela napas lega. Satria diam di sudut, membenahi catatan yang berserakan, sementara Hao memijat lehernya.
"Lumayan," Bintang akhirnya bersuara, menatapku. "Kita berhasil menyampaikan semuanya tanpa meledakkan otak dosen."
Aku tersenyum kecil, meski kepalaku masih penuh dengan diagram dan data dari proyek kami tentang bio dome mandiri. Persiapan beberapa minggu terakhir terasa seperti berlari maraton tanpa jeda, tapi hasilnya memuaskan.
"Presentasi bagus, tapi aku merasa ada yang harus diperbaiki," ujar Hao, menatap hologram di tangannya. "Diagram suplai oksigen kita mungkin perlu dijelaskan lebih rinci pada semester berikutnya."
"Kita akan dapat umpan balik dari dosen. Jadi, tunggu saja," kata Satria, matanya tetap tertuju pada catatannya.
Aku mendengar percakapan mereka tanpa benar-benar ikut serta. Pikiranku sudah beranjak ke hal lain. Dengan pelan, aku mengemas alat-alatku dan pamit, "Aku duluan, semua."
"Yo~" jawab Bintang, Satria, dan Hao serempak. Bintang menimpali selepas itu, bibirnya menyunggingkan senyum usil, "Ada orang yang sudah menunggumu di luar sana."
Aku mengerutkan kening. Begitu aku membuka pintu ruang presentasi, aku mendapati Ainun ada di pintu. Tangannya terangkat hendak mengetuk. Ia menyapaku, lalu berkata dengan wajah yang dipenuhi senyuman misterius. "Savil, ikut aku. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan."
"Apa ini tentang proyek?" tanyaku, mencoba memahami maksudnya.
"Tidak," jawabnya singkat. "Tapi, percayalah, ini penting."
Aku mengikuti Ainun dengan sedikit kebingungan. Kendaraan kecil berlogo Kekaisaran Bima Sakti menunggu di luar, desainnya ramping dan elegan. Perjalanan itu sunyi, hanya diiringi suara lembut mesin yang mengalir seperti arus air. Aku tahu Ainun punya sesuatu yang serius di pikirannya.
Ketika kami tiba, pandanganku langsung terpaku pada kediamannya, bangunan megah dengan dinding transparan yang bersinar di bawah cahaya bintang. Pilar-pilar logam berbentuk spiral tampak seperti menari, menopang struktur melengkung yang tampak mustahil dibuat oleh tangan manusia. Tanaman bercahaya di taman sekitarnya memberi kesan magis, seolah tempat ini adalah dunia lain.
Abdi berseragam putih menyambut kami dengan sopan, membungkuk saat Ainun melewati mereka. Salah satu abdi menyodorkan minuman ungu bercahaya yang tampak eksotis.
"Terima kasih, Azura," ucap Ainun sebelum menoleh padaku. "Kadang, aku merasa hidup di sini terlalu nyaman. Burlian memang yang terbaik. Aku bisa jauh dari politik praktis saudara-saudara dan kerabatku."
Aku hanya mengangguk, tidak yakin harus berkata apa. Mataku terpaku pada dinding-dinding transparan yang menampilkan hologram data astronomi, laporan cuaca antarplanet, dan peta sistem bintang. Semua itu terasa seperti museum sains yang hidup.
"Ayo ke belakang," kata Ainun, menarik perhatianku.
Kami melewati ruangan besar dengan chandelier melayang yang memancarkan cahaya lembut, sebelum tiba di halaman belakang. Lapangan belakang rumah Ainun memancarkan cahaya lembut dari pohon-pohon sintetis. Tanah di bawah kakiku terasa seperti bernafas, hidup. Suara langkah Ainun hampir tak terdengar saat ia menuju ke tengah lapangan, berhenti di sebuah lingkaran yang tampak seperti desain geometris bercahaya yang memancarkan energi samar.
"Perhatikan baik-baik," katanya, suaranya tenang, tapi tegas.
Aku menyilangkan tangan, berusaha terlihat tenang meski rasa penasaran membuncah. Ainun menutup matanya. Seketika, angin kecil berembus entah dari mana. Perlahan, tubuhnya mulai terangkat dari tanah. Ia melayang hanya beberapa sentimeter di atas permukaan, tapi gerakannya begitu anggun, seperti dia menyatu dengan energi di sekitarnya.
"Aha! Jadi ini kemampuan levitasimu yang Bintang ceritakan itu?" tanyaku, mencoba menahan keterkejutan. Mataku terpaku pada kakinya yang melayang.
Ainun tersenyum tipis, matanya masih terpejam. "Yah, walaupun aku tidak bisa lebih dari ini. Aku sempat tidak bisa menggunakannya setelah syok karena serangan dari orang gila itu. Syukurlah kemampuanku kembali pagi ini. Karena itu, aku ingin sekali menunjukkannya padamu."
Ia memutar tubuhnya dengan gerakan halus, seperti tarian yang dirancang untuk angin. Rambutnya yang tergerai mengikuti arah gerakan itu, menciptakan pemandangan yang seolah diambil dari lukisan masa depan.
"Angin ini," lanjutnya sambil membuka mata, menatapku dengan tenang, "Bukan datang dari luar. Ini resonansi antara pikiranku dan gravitasi di sekitarku. Kau hanya perlu mendengarkan apa yang ingin tubuhmu katakan."
Aku mengernyit, mencoba memahami maksudnya. "Apa kamu bisa memanipulasi gravitasi seperti sebelumnya? Aku yakin saat itu kamu mampu membuat gravitasi dalam radius tertentu naik beberapa kali lipat."
"Tidak, aku tidak bisa melakukannya lagi untuk saat ini," katanya sambil tertawa kecil. "Jujur saja, aku takut dengan kemampuan itu. Itu terlihat mengerikan bila aku gagal mengendalikannya."
"Kau hanya perlu melatihnya," timpalku ringan.
"Tidak semudah itu," Ainun menggeleng kuat, "Kemampuan ini sama sekali tidak diketahui oleh generasi esper saat ini. Aku pernah meminta ayah untuk mencarikanku guru, tapi tak ada satu pun esper yang bisa melatihku. Selain itu, entah mengapa mereka langsung risih setiap kali melihat rambut hitamku."
Aku mendengkus, paham dengan apa yang dirasakannya. Para esper kolot itu, mereka bahkan juga menganggap manusia setengah esper sebagai kutukan. Sebenarnya, apa yang salah dengan rambut hitam ini? Tidak ada sama sekali. Hanya stereotip mereka saja yang keterlaluan.
"Hai, Savil," panggil Ainun, menyadarkanku dari lamunan. "Kau bilang, rambut itu identitas gen yang paling penting bagi para esper kan? Kita punya warna rambut yang sama. Mungkinkah kau sebenarnya juga mewarisi darah esper Farsisian sepertiku?"
"Entahlah," jawabku ragu. Aku berpikir sejenak, lalu menjawab, "Itu mungkin bila merujuk dari buku sastra kemarin. Keberadaan dirimu sendiri sebenarnya juga bisa menguatkan klaim tersebut."
"Kalau begitu," Ainun tiba-tiba melayang sampai wajahnya hanya beberapa senti di depan wajahku, "Cobalah! Kau mungkin juga bisa terbang."
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...