Bab 97: Telepati dari Yuni

8 1 0
                                    

Rak-rak perpustakaan Akademi Burlian menjulang tinggi di sekelilingku, membentuk lorong-lorong sunyi yang penuh dengan buku dan hologram data. Aku duduk di salah satu meja sudut, dikelilingi layar proyeksi literatur tentang sejarah kolonisasi antariksa. Setelah berjam-jam berkutat dengan teks-teks yang kering, aku merenggangkan tubuh, menghela napas panjang untuk mengusir rasa jenuh.

Tetiba, kepalaku terasa seperti diketuk oleh sesuatu yang tak kasat mata, ringan namun cukup mengusik. Aku langsung mengenali sensasi itu. Telepati.

"Hei, Savil! Apa kabar?" Suara ceria itu muncul di kepalaku. Yuni. Tentu saja dia. Gadis Penenun yang selalu menggunakan cara unik untuk menyapa, meskipun sebenarnya ponsel biasa bisa dengan mudah menggantikan telepati.

Aku menutup layar holografis di depanku dan mencondongkan tubuh ke meja, melipat tangan sambil menanggapi dalam pikiranku. "Aku baik-baik saja, Yuni. Lama tidak mendengar kabar darimu. Apa yang membuatmu menghubungiku hari ini?"

"Oh, jangan pura-pura tertarik," balasnya dengan nada menggoda. "Aku hanya ... bosan. Dan jujur saja, aku butuh tempat curhat."

Aku tertawa kecil. "Jadi, aku ini tempat sampah emosimu sekarang?"

"Yah, sesuatu seperti itu," katanya, diikuti tawa kecil. "Aku serius, Savil. Kau tahu tentang ekspedisi yang Esperheim tugaskan pada kita, kan?"

"Sedikit. Tapi aku tidak begitu peduli, jujur saja. Toh, aku juga tidak ikut."

"Cih! Tentu saja," desisnya. "Kau tidak pernah peduli pada hal-hal seperti itu. Tapi dengarkan aku sebentar, oke?"

Aku hanya mendengus kecil dalam hati, membiarkannya melanjutkan.

"Aku tidak ingin pergi," katanya akhirnya, suaranya melembut. "Aku tahu ini tugas penting, tapi aku belum siap. Aku masih ... takut."

"Takut?" tanyaku, nada suaraku tetap datar. "Karena apa?"

"Karena aku belum melupakan kejadian itu," bisiknya. "Pria gila yang hampir membunuhku beberapa bulan lalu ... Aku masih bermimpi buruk tentang hari itu. Dan sekarang mereka memaksaku untuk pergi ke planet yang penuh dengan makhluk ganas? Aku bahkan tidak tahu apakah aku akan kembali dengan selamat."

Aku diam, membiarkan kata-katanya menggantung. Sebuah ketakutan yang wajar, mengingat apa yang pernah dia alami.

"Sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran, kau akan masuk ke tim medis, kan?" tanyaku.

"Benar. Tapi apa kau tahu apa artinya itu?" tanyanya balik, suaranya mulai terdengar panik. "Aku akan berada di garis depan! Jika ada yang terluka atau terinfeksi, aku harus merawat mereka di tengah bahaya. Aku belum siap untuk itu, Savil."

Aku menghela napas panjang. "Yuni, kau tahu ini adalah tanggung jawabmu. Mau tidak mau, kau harus melakukannya."

"Kau tidak membantu sama sekali!" balasnya dengan nada kesal. "Aku tahu itu. Tapi apa kau tidak bisa sedikit lebih ... simpatik?"

Aku mencoba menghiburnya dengan nada lebih ringan. "Yuni, jika aku bisa melakukannya, aku akan menukar tempatku denganmu. Sayangnya, itu mustahil. Jadi, kau harus menerima nasibmu."

"Nasibku?" Yuni mendengus. "Kau benar-benar menyebalkan."

Tanpa peringatan, sambungan telepati terputus. Kepalaku terasa sedikit lebih ringan, seperti beban tak terlihat telah hilang. Aku menggeleng pelan, mencoba mengusir rasa frustrasi yang masih tertinggal. Yuni memang selalu emosional, tapi kali ini aku bisa merasakan ketakutannya yang sebenarnya.

Pandanganku jatuh pada gawai di meja. Sebuah pesan muncul di layar, berasal dari kakekku. Tulisan di layar itu sederhana, tetapi penuh dengan kehangatan yang kurindukan:

"Savil, bagaimana kabarmu? Aku harap kau baik-baik saja di Planet Burlian."

Aku memutar gawai itu di tanganku, merenungkan pesan yang kemungkinan ditulis satu atau dua hari lalu. Jarak antara Esperheim dan Burlian membuat komunikasi seperti ini menjadi lambat. Namun, pesan sederhana itu cukup untuk membuatku tersenyum kecil.

Aku mengetik balasan singkat:

"Kakek, aku baik-baik saja. Aku harap Kakek juga dalam keadaan sehat. Terima kasih telah mengirim pesan."

Ketika aku mengirim balasan itu, aku bergumam pada diriku sendiri. "Aku sudah memutuskan hubungan dengan Esperheim. Tapi ... kenapa rasanya tidak seperti itu?"

Bayangan kakek muncul di pikiranku, sosok tua yang lembut tetapi penuh wibawa. Mungkin, meski semua hal telah berubah, dia masih menjadi satu-satunya benang yang menghubungkanku dengan planet yang pernah kusebut rumah itu.

Aku menghela napas, menyimpan gawai ke dalam tas. Namun, hatiku terasa berat, penuh dengan konflik yang tak bisa kujelaskan. Bagaimanapun juga, aku tidak bisa sepenuhnya menghindar dari masa laluku. Dan aku tidak yakin apakah aku benar-benar ingin melakukannya.

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang