Bab 98: Hati yang Enggan Mengakui

6 1 0
                                    

Ular besi itu melayang anggun di atas jalur magnetiknya, tubuhnya yang panjang berkilauan terkena cahaya mentari pagi. Kereta angkasa tersebut melesat dengan kecepatan tinggi menuju orbit luar angkasa, siap membawa para esper ke Stasiun Angkasa Burlian untuk memulai ekspedisi mereka. Dari tempatku berdiri, balkon lantai atas di salah satu gedung Akademi Burlian, pemandangan itu seolah memaku mataku. Itu adalah sebuah kepergian yang entah mengapa menarik minatku.

Deru mesin kereta terdengar samar meski jaraknya jauh. Aku menyandarkan siku pada pagar logam, memperhatikan siluet kendaraan itu saat menembus lapis atmosfer, meninggalkan jejak panjang yang perlahan menghilang di kejauhan. Tidak ada rasa kehilangan, hanya rasa lega bahwa aku tidak ada di antara mereka.

"Kau benar-benar terlihat seperti orang galau yang ditinggal kekasihnya."

Suara itu memotong lamunanku. Aku menoleh dan menemukan Reina berdiri di belakangku. Dia menatapku dengan sorot tajam, seperti biasa. Kerudung yang membalut kepalanya melambai-lambai ringan ditiup angin. Sekilas, dia memang tampak anggun, tetapi sikap kerasnya itu membuatku tidak ingin menghirup udara yang sama dengannya lama-lama.

"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan," jawabku datar, berusaha kembali memfokuskan pandanganku pada horizon.

"Oh, ayolah, Savil. Wajahmu jelas sekali. Kau seperti menyimpan sesuatu yang tidak mau kau akui bahkan pada dirimu sendiri."

Aku menghela napas, berusaha menahan diri agar tidak terpancing. "Aku hanya melihat mereka pergi. Itu saja. Apa salahnya mengamati sesuatu?"

Reina mendekat, berdiri di sampingku. Tatapannya kini juga terarah ke langit. "Aku tidak tahu apa yang lebih menyedihkan, Savil. Fakta bahwa kau tidak ingin mengakui kerinduanmu pada Esperheim, atau kenyataan bahwa kau tidak punya tempat untuk kembali."

"Aku tidak merindukan Esperheim," sahutku tajam. "Dan aku tidak peduli tentang tempat itu."

"Tidak peduli?" Reina menoleh padaku, senyumnya sinis. "Savil, kau tahu itu bohong. Tidak ada yang bisa benar-benar melupakan tempat asal mereka, tak peduli seburuk apa pun kenangannya."

Aku berbalik menghadapnya, merasakan dadaku mulai memanas. "Reina, aku sudah selesai dengan Esperheim. Mereka mencabut segala hakku, mengeluarkanku dari komunitas, dan mencampakkanku seolah aku tidak pernah ada. Aku tidak punya alasan untuk peduli lagi."

"Tapi hatimu tetap ada di sana, bukan?" Reina menatapku tanpa gentar. "Meskipun kau menyangkalnya, ada sesuatu yang membuatmu tidak bisa benar-benar melupakan mereka."

Aku terkekeh sinis. "Hatiku tidak ada di sana lagi, Reina. Semua yang aku miliki dari Esperheim sudah hilang. Mereka bahkan mencabut identitasku sebagai bagian dari mereka. Jika kau ingin menyebut itu keterikatan, maka itu hanya masa lalu yang tidak berarti."

"Tapi jika tidak berarti, kenapa kau masih memperhatikan mereka?" Reina menyipitkan mata, nada suaranya seperti menantang. "Fakta bahwa kau di sini, melihat kepergian mereka, menunjukkan bahwa kau masih peduli."

"Aku tidak peduli," kataku lagi, lebih keras kali ini. "Aku hanya ingin memastikan bahwa aku tidak ada hubungannya dengan mereka lagi. Tidak lebih."

"Kau bisa mengatakan itu seribu kali, tapi matamu bercerita lain," balas Reina.

Sebelum aku sempat menjawab, suara langkah berat dan suara khas Bintang memecah ketegangan.

"Apa aku mengganggu momen penting?" tanyanya dengan nada bercanda. Dia muncul dari lorong bersama Ainun yang berjalan di sampingnya.

Reina langsung mengalihkan pandangan dari aku ke mereka. "Tidak ada momen penting. Kami hanya berdiskusi."

"Diskusi atau berdebat?" Ainun bertanya, menyipitkan mata curiga. Dia berhenti beberapa langkah dari kami, memandangku dan Reina secara bergantian.

"Kalian bisa menyelesaikan perbedaan kalian nanti," potong Bintang sambil menepuk bahuku. "Sekarang, kita harus bergerak. Kereta kita akan berangkat dalam satu jam."

Aku mendesah panjang, mengalihkan pandangan dari Reina yang masih memasang ekspresi keras kepala. Ainun sudah mulai berjalan ke arah pintu keluar, dan Bintang memberi isyarat agar aku mengikutinya.

"Ayo, Savil," kata Bintang sambil tersenyum. "Kita tidak mau ketinggalan kereta, kan?"

Aku mengangguk singkat, mengambil langkah untuk mengejar mereka. Namun, aku tidak bisa menahan diri untuk menoleh sekali lagi ke langit. Kereta angkasa itu sudah menghilang, meninggalkan jejak samar di cakrawala. Ada perasaan aneh yang masih menggantung di dadaku, tapi aku tidak membiarkannya menguasai pikiranku.

"Ayo, kita pergi," gumamku, melangkah mengikuti yang lain menuju stasiun keberangkatan kami.

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang