"Siapa?" tanya Reina begitu sosok itu masuk. Sebelum ia menjawabnya, aku sudah tahu siapa dia. Dia adalah gadis yang sebelumnya kami perbincangkan.
"Aku Ainun," jawab gadis itu dengan seulas senyum canggung pada Reina yang mengamatinya dengan intens, "Salam kenal."
"Oh, jadi kamu..." Reina membuka bibirnya seakan hendak bertanya lebih lanjut, tapi aku memotong lebih dulu, "Sebagai informasi, Ainun adalah putri dari keluarga kekaisaran."
"Eh?" Reina menatap Ainun sekali lagi, kali ini lebih dalam, sebelum akhirnya membungkuk sedikit, "Saya mohon maaf, Tuan Putri."
"Angkat kepalamu, Nona," kata Ainun sambil tersenyum, meskipun ada sedikit kecanggungan yang terpancar di wajahnya. "Aku sama saja seperti kalian, mahasiswa di akademi ini. Kamu juga tidak perlu memanggilku tuan putri."
"Baiklah," Reina langsung menerimanya tanpa keberatan. Dia masih menatap Ainun lekat-lekat. Terlihat jelas rasa penasaran di matanya.
Sementara itu, perasaan resonansi di dadaku mulai berkurang. Aku tidak mengerti kenapa itu bisa terjadi setiap kali Ainun datang. Namun, aku sangat yakin bahwa itu bukan semacam perasaan ketertarikan pada lawan jenis atau sejenisnya. Tak dapat dipungkiri bahwa Ainun memang cantik, tapi bukan itu yang jadi daya tariknya.
"Syukurlah kalian baik-baik saja," kata Ainun akhirnya menyapa kami, "Aku datang karena kudengar Bintang sudah bangun, tapi ternyata Savil juga sudah. Syukurlah."
"Kamu tidak terluka, kan?" tanyaku, masih cemas karena saat itu aku meninggalkan Ainun. Yah, mau bagaimana lagi? Aku terkena serangan telak yang mematikan kesadaranku saat itu.
"Aku tidak terluka," jawab Ainun dengan seulas senyum lembut, "Hanya sedikit lelah karena menggunakan energi terlalu banyak. Maaf, karena aku, kalian jadi terlibat ke dalam bahaya."
"Jangan salahkan dirimu," tegus Bintang penuh perhatian, "Itu terjadi karena rasa penasaranku. Kamu tidak salah."
"Tidak, aku juga penasaran," Ainun menggeleng. Aku melihat ada sedikit kecanggungan di antara mereka. "Saat itu, Savil sudah berusaha mencegah kita, tapi aku malah...."
"Sudahlah," potongku, berusaha merobek suasana yang tak nyaman ini. "Yang penting kita selamat."
"Benar," timpal Reina, setuju denganku, "Yang penting kalian selamat."
Setelah beristirahat seharian penuh, akhirnya kami boleh kembali ke asrama. Hanya tinggal Yuni saja yang belum sadarkan diri. Bintang mengajakku untuk menjenguk sebentar sebelum pulang.
Saat sampai di kamarnya, kami melihat Yuni terbaring di ranjang rumah sakit yang dikelilingi oleh berbagai peralatan medis. Tubuhnya tampak tenang dan lelap, tetapi ada selang oksigen yang menempel di hidungnya, sedangkan monitor di sampingnya memperlihatkan denyut jantungnya yang masih stabil.
Wajah Yuni tampak pucat. Kulitnya sedikit lebih dingin dari biasanya. Kedua tangannya terkulai di samping tubuhnya, terlihat ringkih, berbeda jauh dari biasanya yang penuh semangat dan keceriaan.
Beberapa perban kecil menutupi bagian kepalanya, kemungkinan untuk melindungi luka yang tidak terlalu serius, tapi rasa sakit pasti masih tersisa di sana. Rambut peraknya tergerai lembut di atas bantal. Ada ketenangan yang menyesakkan dalam diamnya, membuat ruangan terasa begitu sunyi. Aroma antiseptik samar memenuhi udara, sementara lampu ruangan hanya menyala redup, menambah suasana hening dan sepi.
Di sebelah ranjang, sebuah kursi kosong tampak sengaja disediakan untuk orang-orang yang ingin menemaninya. Aku dan Bintang hanya bisa berdiri di sisi ranjang, menatapnya dalam diam. Seorang perawat datang sejenak, memeriksa catatan medis Yuni yang tergantung di ujung ranjang, lalu memberikan kami senyuman kecil, seolah meyakinkan bahwa keadaannya masih dalam pengawasan yang baik.
Saat itu, tiba-tiba ada perasaan familiar yang terasa di kepala. Perasaan seperti ditusuk-tusuk oleh sesuatu. Aku menghela napas pelan, mengerti apa arti dari perasaan itu.
Saat aku membuka pintu mentalku, sebuah suara yang lemah, suara yang kukenal baik, mengalir lembut di dalam benakku, "Hai, Savil..."
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...