Ledakan itu menghentikan waktu. Kilatan api menyilaukan, memantulkan serpihan logam yang terlempar ke segala arah. Suara gemuruhnya memekakkan telinga, mengguncang labirin seperti gempa mini yang lahir dari kehancuran. Aku tersentak mundur, melindungi wajah dengan lengan kiri sementara tubuhku berjongkok di balik tumpukan puing yang masih mengepulkan asap.
Hawa panas membelai kulitku, meninggalkan jejak debu dan serpihan yang menggigit kasar. Di balik keributan itu, seberkas cahaya baru muncul dari balik tubuh droid yang kini menjadi bangkai hangus. Sebuah pintu. Pintu keluar.
Aku berdiri perlahan, rasa lega bercampur dengan kelelahan yang mendera. Tangan kananku masih memegang pistol yang kini hanya menjadi beban, tanpa peluru tersisa. Langkahku membawa tubuh ini mendekati pintu, melewati sisa-sisa droid yang teronggok tak bernyawa. Sebuah mesin canggih yang kini tak lebih dari tumpukan logam mati.
Saat aku melewati ambang pintu, dunia di belakangku berubah. Labirin yang penuh jebakan itu perlahan memudar menjadi ruang kosong seperti sebelumnya. Semua jejak pertempuran, bahkan dinding-dinding raksasa, lenyap begitu saja, menyisakan lantai polos yang tampak tak berujung.
Lantai di bawah kakiku bergetar lembut. Aku merasakan tubuhku terangkat. Sebuah platform mengantarku kembali ke ruang ujian tulis, tempat aku memulai semuanya. Sosok-sosok siluet yang mengawasi dari layar besar masih ada di sana, berdiri dalam bayangan yang sama, tak terlihat ekspresi maupun identitas mereka.
"Sistem telah mengevaluasi," suara seorang siluet terdengar tenang tapi tajam, memecah keheningan. "Nilai Anda adalah A. Kecepatan, strategi, efisiensi—semuanya memenuhi atau melampaui standar yang kami tetapkan."
Aku hanya mengangguk kecil. Tidak ada rasa bangga, hanya rasa lega bahwa ujian itu telah selesai. Namun, diskusi di antara mereka berlanjut, terdengar sayup-sayup dengan nada serius yang sulit ditangkap jelas. Mereka berbicara dalam istilah teknis, sesekali menyebutkan catatan dari sistem yang tak aku pahami.
Akhirnya, salah satu dari mereka maju ke depan layar.
"Kami memiliki satu pertanyaan terakhir, Savil Ghenius." Suaranya dalam dan terukur. "Ujian ini memang dirancang secara umum untuk mengukur kemampuan siapa pun dalam kondisi ekstrem. Namun, biasanya, para kandidat dari ordo esper akan menggunakan kekuatan supernatural mereka sebagai bagian dari solusi. Mengapa Anda tidak menggunakan kemampuan supernatural Anda?"
Pertanyaan itu menghantam seperti tamparan yang dingin. Aku terdiam, mengangkat kepala untuk melihat siluet itu meski wajahnya tetap tersembunyi. Tenggorokanku tercekat, seperti ada sesuatu yang besar mengganjal di sana.
Jemariku mengepal perlahan. Di dalam ruangan sunyi itu, hanya ada aku, mereka, dan pertanyaan yang terlalu akrab menghantuiku selama ini. Rasanya, setiap dinding di ruangan ini berubah menjadi cermin, memantulkan bayangan diriku yang paling lemah, paling kecil. Seorang esper yang jatuh. Aku tidak memiliki apa pun untuk dibanggakan, hanya keberanian yang dipaksa bangkit dari puing-puing keputusasaan.
Namun, meski bibirku terbuka, tidak ada kata yang keluar. Mata mereka, atau lebih tepatnya kehadiran mereka, seperti menuntut sesuatu yang lebih besar dari sekadar jawaban.
Sebuah kenangan melintas di benakku, wajah ayahku, lambang Keluarga Toya, dan semua luka yang sudah kupikul sejak kecil. Napasku tertahan. Aku hanya berdiri di sana, diam, dengan semua emosi yang berkecamuk, mencoba mencari jawaban yang tidak pernah ada.
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...