"Apakah kau benar-benar tahu apa yang sedang kau pilih?"
Suaranya bergema seperti hantaman palu di ruangan kosong, dingin nan penuh otoritas. Aku mendongak, mencoba mencari sumber suara itu di tengah kegelapan yang mendadak menyelimutiku. Tidak ada tanda-tanda kehidupan selain detak jantungku yang mulai mempercepat ritmenya. Kepalaku tetap tegak, meskipun telapak tangan di sisiku mengepal dengan kuat.
"Siapa kau?" tanyaku, mencoba menembus gelap dengan suaraku. "Apa kau bagian dari ujian ini?"
Tidak ada jawaban langsung. Hanya dengung samar, seolah ruangan ini adalah perut raksasa mesin yang tak henti-hentinya bergetar lembut. Lalu, suara itu kembali, lebih dekat kali ini.
"Savil Ghenius," katanya, suaranya terdengar seperti suara yang dikali dua dengan lapisan gema. "Pilihan yang kau buat adalah cerminan dari siapa dirimu. Apakah kau yakin dengan apa yang kau pilih?"
Aku menelan ludah, otakku berputar cepat. Pilihanku adalah Divisi Tekno. Rasanya seperti langkah yang tepat, mengingat ini adalah divisi yang paling sesuai dengan studi ilmiahku saat ini. Aku menarik napas pelan sebelum menjawab. "Aku memilih Divisi Tekno karena itu adalah jalan yang masuk akal. Aku mempelajari teknologi dan rekayasa di sini. Itu bukan keputusan yang kubuat sembarangan."
"Jadi kau ingin menjadi penemu?" Suara itu seperti tersenyum, meskipun nadanya tetap datar. "Menjadi seseorang yang menciptakan alat untuk digunakan orang lain?"
"Setidaknya itu lebih baik daripada menyia-nyiakan nyawa berperang dengan orang lain," jawabku, tetap tenang meski sedikit tergelitik oleh nadanya yang mengejek.
"Menarik," katanya lagi, dengan nada seperti menguji. "Namun, itu hanya sebagian kecil dari potensimu. Kau pandai, itu jelas. Tapi kau juga memiliki pengalaman sebagai seorang pemimpin taktis di Akademi Elementalis, bukan?"
Aku terdiam. Ingatan tentang masa-masa di Akademi Elementalis, di mana aku harus bisa diam-diam mengendalikan dari balik layar tim esper yang tak menerimaku, menyeruak di benakku. Itu bukan momen yang indah. Bukan karena aku gagal, melainkan karena aku selalu rendah di hadapan mereka, para esper murmi.
"Kau tahu aku tidak memilih jalan itu," kataku akhirnya. "Aku tidak ingin menjadi seseorang yang mengarahkan orang lain. Aku ingin menciptakan sesuatu, bukan mengatur hidup mereka."
"Tapi kau mengabaikan kenyataan bahwa seorang pemimpin strategis tidak hanya mengatur," suara itu membalas dengan nada tajam. "Ia memikirkan langkah ke depan, menyusun rencana agar semua potensi di sekitarnya dapat bekerja maksimal. Kau tidak cocok sebagai pejuang atau mata-mata, tapi sebagai seorang pemikir, itu adalah tempatmu."
"Cukup," potongku. Aku meluruskan punggung, menahan emosi yang mulai naik ke permukaan. "Ini hidupku, pilihanku. Siapa pun kau, kau tidak punya hak untuk mendikteku."
"Bahkan jika aku memberitahumu bahwa pilihanku lebih baik untuk masa depanmu?" tantangnya.
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan diriku.
"Pergi!" jawabku tegas. "Aku tidak akan membiarkan suara asing yang bahkan tak kukenal menentukan jalanku."
Hening. Untuk sesaat, aku berpikir apakah itu berhasil. Kemudian suara itu tertawa kecil, samar, sebelum perlahan menghilang seperti angin yang bertiup pergi.
Lalu, ruangan mendadak terang kembali. Aku menyipitkan mata, menyesuaikan diri dengan cahaya yang tiba-tiba hadir. Suara statis di monitor kembali terdengar, dan siluet-siluet yang tadi diam kini saling berpandangan dengan ekspresi yang tak dapat kubaca.
"Savil," salah satu dari mereka memanggil, suaranya penuh rasa ingin tahu. "Apa kamu baik-baik saja?"
Aku menghela napas, memandang ke arah mereka dengan mata yang masih menyipit.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ujian ini memang penuh kejutan, bukan?" jawabku dengan nada ringan, meskipun dadaku masih terasa sesak.
"Kami ... belum pernah melihat gangguan seperti itu sebelumnya." Suara lain terdengar, mencoba terdengar yakin. "Namun, pilihanmu telah tercatat."
Aku hanya mengangguk, tak ingin memperpanjang pembicaraan. Tapi di dalam hatiku, aku bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi barusan? Siapa yang berbicara padaku, dan mengapa dia tampak tahu terlalu banyak?
Layar holografis kembali menyala, menampilkan simbol Divisi Tekno yang kini disertai dengan namaku di bawahnya. Pilihan itu terasa lebih berat daripada yang kubayangkan sebelumnya.
Aku benar-benar tak menyangka bahwa mengabaikan suara itu akan membuatku menyesal di kemudian hari.
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...