Rangka logam bus tanpa sopir bersinar di bawah cahaya redup. Suara dengungan mesinnya berirama, menyelimuti penumpang dengan keheningan yang tak nyaman. Kursi-kursi berbaris rapi di dalamnya, sebagian besar kosong, hanya dihuni beberapa mahasiswa yang sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
Aku duduk di dekat jendela, menatap pemandangan kota akademi yang bergerak perlahan di luar. Bangunan-bangunan megah berlalu seperti bayangan. Refleksi wajahku tampak di kaca jendela, suram, tak bernyawa. Di saku jaketku, kartu anggota Asosiasi Kesatrian terasa berat, seolah benda itu memikul beban lebih dari sekadar akses eksklusif.
"Selamat pagi, Tuan Ghenius."
Suara berat mengganggu lamunanku. Aku menoleh. Instruktur Isy berdiri di lorong kabin bus, wajahnya yang tegas dihiasi senyum tipis. Dia menunjuk kursi di sebelahku. "Boleh duduk?"
Aku mengangguk singkat, meskipun aku tahu apa yang mungkin akan dia bicarakan. Ia adalah salah satu dari sedikit orang yang tidak pernah memandangku dengan tatapan mencemooh.
Instruktur Isy duduk dengan tenang. Seragam elementalis logamnya mengeluarkan aroma logam samar. Beberapa saat berlalu tanpa suara, hingga akhirnya dia menepuk pundakku, pelan, seperti seorang ayah yang mencoba menenangkan anaknya.
"Aku dengar soal beasiswamu," katanya lembut, tetapi matanya menyiratkan iba yang tak kusukai.
Aku mengalihkan pandangan, menatap jendela lagi. "Berita cepat menyebar rupanya."
"Ini tidak adil," lanjutnya, nadanya tegas. "Aku sudah berbicara dengan beberapa anggota Dewan Persatuan Esperheim. Aku akan mencoba mengubah keputusan mereka."
Aku mendengus kecil.
"Tidak perlu." Tatapanku masih terpaku pada pemandangan di luar, tetapi suaraku terdengar lebih tajam dari yang kuinginkan. "Aku tidak butuh simpati mereka. Lagipula, aku tidak tertarik lagi berurusan dengan Esperheim."
Instruktur Isy terdiam. Aku bisa merasakan sorot matanya yang tajam, seperti sedang mencoba memahami setiap sudut pikiranku.
"Kau masih bagian dari kami, Savil," katanya akhirnya, suaranya lebih pelan. "Esperheim adalah rumahmu."
Aku berbalik, menatapnya langsung untuk pertama kalinya.
"Rumah? Rumah macam apa yang membuang anaknya sendiri hanya karena dia tidak sesuai harapan?" Suaraku tetap tenang, tetapi ada kekuatan dingin yang menyertainya. "Aku sudah selesai dengan mereka."
Dia menghela napas panjang, seolah mencoba menyerap kemarahanku. Namun, sebelum dia sempat mengatakan apa pun lagi, bus berhenti perlahan di depan halte. Tanpa menunggu, aku bangkit, meraih tas kecilku, dan berjalan menuju pintu.
"Terima kasih atas niat baikmu, Instruktur," kataku tanpa menoleh. "Tapi aku tidak butuh bantuan."
Langkahku mantap menuruni bus, meninggalkan Instruktur Isy di dalam, matanya masih mengawasiku. Pintu bus tertutup di belakangku dengan suara mekanis. Suara dengungan mesinnya kembali terdengar saat ia melaju pergi.
Jalan menuju Gedung Asosiasi Kesatrian terbentang di depanku. Bangunan itu menjulang megah, seperti sebuah istana modern yang mencolok di tengah kawasan akademi. Kartu anggota di saku jaketku terasa lebih berat, membuat langkahku melambat.
"Savil!"
Suara itu memecah keheningan. Aku berbalik, hanya untuk menemukan sosok yang tak asing berjalan cepat ke arahku. Gadis itu mengenakan mantel biru tua dengan kerudung lembut yang menutupi kepalanya. Matanya—heterokromia biru muda dan biru gelap—menatapku dengan sorot yang sulit dijelaskan.
"Reina?" tanyaku, bingung melihatnya di sini. Ah, aku ingat ia tadi ada di bus yang sama denganku.
Dia berhenti beberapa langkah dariku. Ada kesedihan yang jelas di wajahnya, membuatku merasakan sesuatu yang aneh di dadaku.
"Apa kamu benar-benar menyerah pada Esperheim?" tanyanya, suaranya nyaring namun penuh luka.
Aku mengerutkan kening, bertanya-tanya dalam hatiku, Buat apa dia peduli dengan urusanku?
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...