"Apa kau punya waktu?"
Suara itu memecah pikiranku yang sudah lelah. Langkahku terhenti, dan aku menoleh.
Souli berdiri di sana, wajahnya dihiasi senyum lebar seperti biasa. Rambut ungunya yang sedikit berantakan bergoyang pelan diterpa angin, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang menemukan mainan baru. Di belakangnya, beberapa mahasiswa berkumpul, tampaknya menunggu dia untuk kembali.
"Souli." Aku mengangguk kecil, tak ingin terdengar terlalu antusias. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Ah, hanya lewat," katanya santai, berjalan mendekat. "Kebetulan aku melihatmu. Jadi kupikir, kenapa tidak menyapamu?"
Dia berdiri di hadapanku sekarang, postur tubuhnya yang santai membuatku sedikit iri. Souli selalu terlihat nyaman di mana pun dia berada, seolah dunia ini adalah panggungnya, sementara kita semua hanya figuran.
"Kamu sedang sibuk?" tanyanya lagi. Nada suaranya ringan, tapi ada sesuatu di matanya yang tampak penuh perhatian.
"Sibuk? Tidak juga," jawabku singkat. Aku baru saja menyelesaikan kesibukanku di Gedung Asosiasi Kesatrian.
"Bagus," Souli menepuk tangannya. "Kalau begitu, ikutlah dengan kami. Aku dan beberapa teman sedang menuju tempat santai. Kupikir kita perlu istirahat setelah hari panjang ini. Aku juga sudah lama tidak bertemu denganmu sejak sampai di akademi ini."
Aku melirik kelompok mahasiswa di belakangnya. Wajah-wajah mereka tidak menunjukkan antusiasme yang sama seperti Souli. Tatapan mereka dingin, beberapa bahkan tampak tidak senang melihat Souli berbicara denganku.
"Tidak, terima kasih," jawabku akhirnya. "Aku lebih suka sendirian."
"Oh, ayolah." Souli tertawa kecil. "Kamu tidak bisa terus-terusan menyendiri, Savil. Dunia ini lebih menyenangkan ketika kamu punya teman."
"Aku tidak terlalu suka dengan banyak orang," balasku, nada suaraku tetap datar. "Lagipula, teman-temanmu tampaknya tidak terlalu menyukai keberadaanku."
Souli menoleh ke belakang, melambaikan tangannya dengan santai kepada kelompoknya. "Mereka hanya belum mengenalmu. Berikan mereka waktu."
Aku menggeleng pelan. "Mungkin lain kali."
Souli menatapku beberapa detik, seolah mencoba membaca pikiranku. Lalu, dia tersenyum lagi, kali ini lebih kecil. "Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Tapi janji padaku, lain kali kamu harus ikut, oke?"
Aku tidak menjawab, hanya mengangguk singkat sebelum berbalik.
***
Langkah kakiku berjalan menuju ke kafe favoritku, tempat yang selalu menawarkan ketenangan di tengah keramaian akademi ini. Aroma kopi dan kue panggang menyambutku begitu aku membuka pintu.
"Selamat datang," pelayan menyapa dengan senyum profesional.
Aku memilih tempat duduk di sudut, jauh dari pengunjung lain. Begitu duduk, aku memesan secangkir kopi hitam dan sepotong roti panggang sederhana.
Kopi tiba dengan cepat. Aku memegang cangkir itu di kedua tangan, menghirup aroma pahitnya. Pikiranku kembali melayang ke Souli.
Dia benar-benar berbeda. Tidak seperti yang lain. Dia tidak pernah merendahkanku, tidak pernah memandangku seperti aku ini aib. Souli ... dia seperti karakter utama dalam novel laga yang selalu menjadi pahlawan di setiap halaman.
Tapi, aku bukan dia. Aku tidak cocok berdiri di panggung yang sama dengannya. Orchis pernah bilang bahwa ia akan jadi sosok yang besar. Dengan kemampuannya yang terus berkembang hingga saat ini, ucapan gadis buta dari Ras Hinian itu tampaknya tidak salah.
Aku menarik napas dalam, mengalihkan perhatian pada kopi di depanku. Mungkin benar, dunia ini lebih menyenangkan dengan teman. Tapi bagi seseorang seperti aku, menemukan tempat di tengah mereka selalu terasa mustahil.
Pikiranku terhenti saat gawai di sakuku bergetar. Aku mengeluarkannya dengan enggan. Sebuah pesan baru muncul di layar.
"Souli mengatakan kalau kamu menolak ajakannya. Sampai kapan kamu mau terus seperti ini?"
Dari Reina.
Aku menatap pesan itu cukup lama, jemariku menggenggam gawai lebih erat. Mataku mengamati kata-kata di layar, tapi pikiranku memutar kembali percakapan dengan Souli sebelumnya.
Kehidupan ini memang lebih menyenangkan dengan teman, tapi apa benar aku mampu menjadi bagian dari mereka? Para esper itu bahkan menganggapku sebagai kutukan. Benar kata kakek. Hidup di tengah ordo manusia mungkin lebih baik daripada di antara mereka yang enggan menerimaku.
Aku menarik napas panjang, menutup gawai tanpa membalas pesan itu. Namun, pikiranku tidak berhenti bertanya-tanya, apakah benar aku hanya membuat segalanya lebih sulit untuk diriku sendiri?
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...