"Ya," jawabku, suaraku dingin. "Aku tidak akan berurusan lagi dengan Esperheim. Sampaikan kabar gembira ini pada kawan-kawan esper murnimu yang mulia itu."
Reina berdiri terpaku. Matanya membelalak sesaat sebelum akhirnya menggeleng dengan keras. "Kau tidak serius kan, Savil. Kau tidak bisa menyerah begitu saja!"
Aku mendengus, tersinggung oleh ucapannya yang sok peduli itu. "Kenapa tidak? Apa yang telah Esperheim berikan padaku selain hinaan dan pengabaian? Mereka mencabut beasiswaku tanpa alasan, menganggap keberadaanku sebagai noda. Dan kau ingin aku memohon pada mereka?"
"Itu bukan soal memohon," balas Reina, nada suaranya meninggi. "Ini soal hakmu! Kau berhak atas beasiswa itu sebagai esper paling cerdas. Kau tidak bisa membiarkan mereka mengambilnya begitu saja hanya karena—"
"Karena aku bukan seperti kalian? Seperti Khal, Weldy, atau dirimu sendiri?" potongku cepat. "Aku tahu apa yang kau maksud, Reina. Tapi dengarkan ini baik-baik. Aku tidak peduli lagi. Tidak ada gunanya."
Dia menggigit bibirnya, jelas berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Kau ... ka-kau bahkan tidak tahu siapa diriku! Mungkin ... mungkin memang ada yang membencimu, tapi tidak semua orang seperti itu. Esperheim lebih dari sekadar mereka yang merendahkanmu."
"Benar," jawabku tajam, "Dan aku lebih dari sekadar orang yang butuh persetujuan mereka."
Reina tampak terluka mendengar jawabanku. Dia mencoba berbicara lagi, tetapi aku menghentikannya dengan satu pertanyaan sederhana. "Beritahu aku, Reina. Apa gunanya memohon pada orang-orang yang tidak pernah ingin kau ada?"
Diam.
Dia menunduk, entah mencari jawaban atau menghindari tatapanku. Aku tidak menunggu lebih lama. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku melangkah pergi, meninggalkan Reina yang terdiam di belakangku.
***
Pintu Gedung Asosiasi Kesatrian terbuka otomatis, menampilkan interiornya yang megah. Langit-langit tinggi dengan ukiran rumit memantulkan cahaya lampu kristal yang memancarkan kesan dingin dan formal. Lantai marmer mengkilap, setiap langkah terasa menggema.
Aku melangkah masuk, mencoba mengabaikan berbagai pikiran yang mengerubungi kepalaku. Namun, sudut mataku menangkap sosok yang tak asing.
"Ainun," gumamku pelan.
Dia berbalik, senyum hangat menghiasi wajahnya. "Savil! Apa kabar?"
Aku sedikit terkejut melihatnya di sini, tetapi aku menyembunyikan ekspresi itu dengan anggukan kecil. "Ainun. Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini."
"Kenapa tidak?" Dia tertawa ringan, suaranya seperti angin musim semi. "Aku sudah lama menjadi anggota di sini. Tapi, kurasa kamu yang baru bergabung, ya?"
Aku hanya mengangguk.
Dia mendekat, kedua matanya bersinar penuh antusiasme. "Sebenarnya, ini kebetulan yang menyenangkan. Aku sedang mencari seseorang untuk membantuku dengan proyek penelitian. Dan sekarang kau ada di sini!"
Keningku mengerut. "Proyek penelitian?"
Ainun mengangguk. Nada suaranya berubah menjadi serius, tapi tetap ramah. "Ya. Aku sedang mengumpulkan data tentang sejarah esper di Kekaisaran Bima Sakti. Rasanya, kamu adalah orang yang tepat untuk membantuku."
"Aku?"
"Tentu saja." Dia tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. "Selain pengetahuan yang luas tentang esper, kamu punya perspektif yang unik. Ditambah lagi, latar belakangmu—aku yakin kau bisa memberikan kontribusi besar pada proyek ini."
Aku diam sejenak, mencoba mencerna ajakannya. Meneliti sejarah esper di Kekaisaran Bima Sakti? Proyek itu terdengar menarik.
"Hai, Savil. Maukah kamu membantuku? Bergabunglah dengan proyekku," katanya, menatapku dengan penuh harap.
Kata-katanya menggantung di udara, menuntut jawaban.
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...