"Aku tidak ikut," jawabku datar. Toh, ini bukan suatu kewajiban. Daripada mengorbankan diri di luar sana, lebih baik aku duduk manis menunggu kondisinya aman.
"Apa? Kenapa?" Souli tampak kecewa padaku, "Bukannya kamu sudah pernah berhadapan dengan mereka?"
"Ya," balasku disertai anggukan kecil, "Dan aku terluka."
"Kamu takut, hah?" Weldy berjalan cepat ke arahku. Ia menunjukkan muka penuh keangkuhan. Seringainya mengembang lebar. "Cih, ternyata mahasiswa kelas atas ini seorang pengecut."
"Hm, anggap saja begitu." Aku tidak peduli dengan cemoohannya. Yah, meskipun itu menyebalkan, tapi aku sudah biasa diejek seperti itu dulu.
"Hah?" Weldy malah menunjukkan ekspresi tak percaya kepadaku. Ekspresinya itu bercampur antara heran dan kesal. "Kau tak pantas berada di kelas atas. Aku akan menendangmu dari sana di akademi nanti."
"Sayang sekali," balasku dingin seraya bangkit dari duduk. Aku memalingkan wajah darinya, berusaha menunjukkan bahwa aku tidak tertarik untuk bersaing dengannya. "Tapi aku tidak masuk ke kelas kombatan sepertimu, jadi itu tidak akan pernah terjadi."
"Savil," panggil Souli hendak menghalangiku, "Tunggu! Kita harus menolo-"
"Aku kamu tidak dengar?" tanyaku memotong ucapannya, "Undangan ini tidak bersifat wajib dan aku tidak ikut. Jadi, pergilah kalau kamu memang mau pergi. Semoga kamu kembali dengan selamat."
"Savil!" seru Souli lagi memanggil.
"Sudahlah," cegah Weldy, "Biarkan si bocah esper yang jatuh itu. Dia memang hanya seorang pengecut."
Esper yang jatuh, ya? Yah, itu memang aku. Namun, aku tidak peduli itu.
Begitu sampai di kamar, aku langsung menggeletakkan badan. Gawai di pergelangan tanganku bergetar. Sebuah pesan masuk. Isinya sama seperti yang disampaikan oleh Instruktur Isy tadi. Aku pun langsung menolaknya begitu saja.
Tanpa sadar, mataku mulai memburam. Nyawaku pun perlahan menguap. Aku tertidur dengan nyenyak, padahal di luar sana sedang berisik sekali.
Oiya, aku bukannya benar-benar takut berhadapan dengan musuh di luar sana. Buktinya, aku menghadapi mereka dengan percaya diri sebelumnya. Itu memang sulit, tapi aku berhasil melaluinya dengan baik.
Tidak ada alasan khusus bagiku untuk menerima permintaan bantuan dari Otoritas Planet Varsa tersebut. Aku hanya seorang mahasiswa akademi non-kombatan biasa. Bukan peranku untuk bertempur di garis depan sana. Toh, aku tidak yakin bisa bekerja sama dengan orang-orang yang membenciku, aku pun tak menyukai mereka. Jadi, lebih realistis bagiku untuk tidak mengikutinya.
"Halo~" ucapku begitu bangun oleh suara panggilan telepon. Nyawaku masih setengah-setengah. Butuh waktu untuk benar-benar sadar.
"Perkenalkan, Saya Marsda Ros dari Armada Tempur Angkasa Varsa," kata orang di seberang sana, "Apakah benar ini nomor dari Tuan Savil Ghenius?"
"Hm." Aku mengangguk pelan, masih dengan kondisi mengantuk.
"Tuan Ghenius, kami bermaksud untuk meminta bantuan Anda dalam mempertahankan Stasiun Interglobal Varsa dari invasi Sekte Leberyntos," katanya dengan serius, "Apakah Anda bersedia untuk membantu?"
Membantu? Mempertahankan Stasiun Interglobal Varsa? Tunggu! Apa!? Kenapa pula mereka sampai memintaku secara pribadi begini? Aku kan sudah menolak permintaannya.
"Bagaimana, Tuan Ghenius?" tanya Marsda Ros lagi selepas keheningan dari sisiku.
"Ah, maaf," balasku merespons pertanyaannya, "Apa maksud Anda, Marsda Ros?"
"Seperti yang saya katakan sebelumnya," jawabnya, "Kami bermaksud meminta bantuan Tuan Ghenius dalam mempertahankan Stasiun Interglobal Varsa."
"Saya mengerti." Bukan itu jawaban yang kuinginkan. "Maksud saya, mengapa Anda sampai meminta bantuan seorang non-kombatan seperti saya. Meskipun seorang esper, saya tidak bisa menggunakan kemampuan esper apa pun."
"Oh, mohon maaf sebelumnya," kata Marsda Ros hendak memperjelas, "Kami tidak bermaksud mengirim Anda ke garis depan, melainkan mengomando para pasukan esper yang telah setuju untuk bergabung mempertahankan Stasiun Interglobal Varsa."
"Mengomando?" Aku tidak percaya akan diberi tanggung jawab sebesar itu. Apakah orang di seberang sana itu sebenarnya penipu? Mana mungkin seorang marsekal muda yang bertanggung jawab atas armada tempur angkasa meminta mahasiswa biasa seperti untuk menjadi komandan? Itu tidak masuk akal. "Apakah Anda benar-benar berasal dari Armada Tempur Angkasa Varsa? Keisengan atas nama institusi militer tidak dapat dimaafkan."
"Saya benar-benar dari Armada Tempur Angkasa Varsa," jawab Ros di seberang sana. Nada suaranya terdengar kesal. Dia mungkin tersinggung. "Kami akan mengirimkan permintaan tertulis resmi selepas ini. Mohon jawabannya."
"Tapi," Aku masih saja ragu, "Kenapa saya?"
"Seseorang telah merekomendasikan Anda untuk memimpin operasi pertahanan," jawabnya serius, "Ini memang memalukan bagi kami. Namun, saat ini kami kekurangan ahli komando untuk memonitor pergerakan pasukan pertahanan."
Seseorang telah merekomendasikanku? Siapa dia?
"Akan saya pikirkan," jawabku meminta waktu, "Silakan kirim surat tertulis resminya terlebih dahulu."
"Situasinya sangat genting," kata Marsda Ros mendesak, "Kami harap, Anda dapat merespons secepatnya paling lambat dalam tiga jam. Musuh telah menguasai sebagian area stasiun. Kami harus bertindak secepatnya."
"Saya mengerti."
Telepon pun terputus. Kurang dari semenit kemudian, sebuah pesan berisi surat resmi yang kuminta masuk ke kotak pesan di gawaiku. Surat itu benar-benar berasal dari alamat resmi armada, bahkan dengan cap di dalamnya. Mereka serius merekrutku.
Tapi, kenapa aku? Siapa orang yang merekomendasikanku? Kenapa dia ...?
"Auw!" Aku merintih sakit. Ada sesuatu yang berusaha menyusup ke kepalaku. Itu serangan pikiran yang sering menimpaku akhir-akhir ini. Ia pasti berasal dari gadis Penenun itu.
"Aduh!" keluhku lagi.
Yuni, dia kembali berusaha menyerang pikiranku. Hais! Apa yang dipikirkan gadis Penenun itu? Kenapa dia sampai bersikeras begini.
"Ada apa sih?" Aku pun mengizinkannya masuk daripada dia terus menggangguku begini.
"Savil, syukurlah kau mau menerimanya," kata Yuni dalam kepalaku, "Bisakah kita bicara sebentar?"
"Hai, kamu bisa menghubungiku dengan telepon. kenapa harus repot-repot begini," protesku padanya, "Kepalaku sakit setiap kali kamu berusaha menautkan pikiranmu denganku."
"Oh, benarkah? Maaf," balasnya dengan nada yang tak merasa bersalah sama sekali, "Tapi ini lebih simpel bagiku daripada telepon. Juga, itu menyakitkan setiap kali kau menolakku."
"Kalau kamu ditolak, berarti kamu tidak diizinkan," timpalku berharap dia mengerti, "Jangan memaksa."
"Maaf, aku tidak akan memaksa kalau ini bukan hal darurat," katanya dengan nada yang menyesal kali ini, "Kita langsung saja keintinya. Savil, bisakah kamu membantu ...."
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...