064: Kalian Sama Saja

10 2 0
                                    

Kami meninggalkan Kota Dirgantara menjelang senja. Langit memerah seperti kobaran api yang meredup di cakrawala. Setelah percakapan terakhir dengan Surya yang penuh kejutan, rasanya menenangkan bisa kembali bersama Bintang, Ainun, dan Yuni. Kami siap pulang ke Akademi Burlian.

Kereta angkasa yang kami tumpangi meluncur mulus keluar dari orbit Kota Dirgantara, menembus atmosfer dengan lembut menuju Kota Hati di bawah sana. Karena kota melayang ini telah menjauh dari letak Kota Hati di permukaan, perjalanan kami pun akan sedikit lebih panjang daripada keberangkatan tadi pagi.

"Kakanda memberi sebuah kartu, kan?" tanya Bintang ketika aku sedang sibuk menatap panorama senja di balik jendela. Aku menoleh padanya dan mengangguk.

"Yah," jawabku singkat.

"Apa kamu memang ada niat untuk bergabung?" tanyanya lagi. Bintang menunjukkan kartu yang mirip dengan milikku, tetapi di sisi belakang kartu itu terlihat istana Keluarga Burlian yang tadi kami kunjungi.

"Bergabung?" Aku mengernyitkan kening, merasa tak yakin akan maksudnya. Bintang tampak sebal, namun jelas bukan padaku.

"Ternyata kakanda memang tidak menjelaskannya padamu dengan detail, ya?" Ia menghela napas dan menggeleng pelan. "Harusnya kamu lebih hati-hati sebelum menerima kartu itu."

"Memang apa artinya kartu ini?" tanyaku, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang tidak beres. Bintang menatapku dengan seulas senyum yang samar, seolah-olah ada banyak yang tak terucapkan.

"Aku tidak bisa mengatakannya di sini," katanya pelan, senyumnya bergeser menjadi lebih misterius. "Cek saja dengan gawai akademimu setelah kita sampai nanti."

"Kalian sama saja," jawabku dengan nada datar, mengingat kembali kata-kata Surya yang serupa.

Bintang terkekeh, lalu berkata, "Kami memang mirip dalam banyak hal kecuali minat. Kakanda terobsesi dengan politik dan strategi, sementara aku lebih suka ilmu pengetahuan."

Percakapan kami terhenti sejenak. Aku kembali menatap kartu di tanganku. Ada kesan kokoh dalam setiap guratannya, lambang Keluarga Burlian di sana terlihat begitu berwibawa dan elegan, bahkan terasa berbobot di tanganku. Aku merasa seperti sedang menggenggam sesuatu yang tidak hanya berharga, tapi memiliki pengaruh dan arti besar yang belum kumengerti sepenuhnya. Pikiran ini menelusup masuk ke dalam benakku, memicu sedikit kekhawatiran yang mengendap, tapi tak berani kuutarakan.

Sementara itu, suasana di kereta yang awalnya mulus mulai terasa sedikit berubah. Ada getaran halus dari lantai, hampir tak terasa, tapi cukup membuatku siaga.

"Ada yang salah?" bisikku pada diri sendiri, menyadari perubahan kecil tersebut. Perlahan, getaran itu semakin terasa, disusul suara mekanis yang bergema dari depan kereta. Bintang, Ainun, dan Yuni menyadarinya juga, dan kami saling berpandangan, terkejut dan waspada.

Getaran semakin kuat, membuat cangkir-cangkir yang ada di meja goyah. Hentakan halus di sepanjang gerbong itu membawa kegelisahan pada semua penumpang, dan suasana mulai berubah menjadi cemas.

Sirine bahaya mendadak berbunyi, menggelegar di sepanjang gerbong, seolah merobek kesunyian yang melingkupi kami.

Kereta berderak lagi, lebih keras kali ini. Segera setelah itu, pengeras suara berbunyi. "Para penumpang yang terhormat, kami menghadapi sedikit kendala teknis. Harap tenang dan jangan panik. Kami sedang mencari tempat untuk pendaratan darurat."

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang