"Baiklah, Ainun. Aku akan bergabung dengan proyekmu nanti."
Suaraku terdengar lebih mantap dari yang kuduga, meski masih ada sedikit keraguan di hati.
Ainun tersenyum lebar, matanya berbinar. "Terima kasih, Savil! Aku tahu aku bisa mengandalkanmu."
Aku mengangguk, meskipun pikiranku masih sibuk memikirkan langkah berikutnya. "Tapi sebelum itu, aku harus mengurus sesuatu di sini. Administrasi."
"Oh, tentu." Dia menepuk lenganku dengan ringan. "Kalau ada yang perlu dibantu, beri tahu aku."
Aku meninggalkannya dengan sedikit anggukan, lalu menuju meja resepsionis. Lorong menuju area resepsionis terasa lebih panjang dari yang seharusnya, mungkin karena perasaan aneh yang menggantung di udara.
"Selamat siang," sapaku sambil mengeluarkan kartu anggota. "Aku ingin mengurus beberapa hal terkait beasiswaku."
Petugas resepsionis, seorang wanita muda dengan rambut hitam yang diikat rapi, mengambil kartu itu dengan senyum sopan. Namun, ekspresinya berubah seketika ketika melihat kartu tersebut. Alisnya terangkat, dan matanya melirikku sebelum kembali ke layar monitornya.
"Kartu ini ..." Dia berhenti sejenak, memiringkan kepala. "Beri saya waktu sebentar."
Dia berbalik dan berbicara pelan pada seorang pria yang tampak lebih senior di meja sebelahnya. Pria itu, yang mengenakan jas resmi dengan lencana kecil di dadanya, melirik kartu itu dengan penuh perhatian sebelum bergeser untuk melihat layar monitor.
Mata pria itu menyipit, wajahnya berubah serius. Aku mencoba tetap tenang, meski rasa ingin tahu mulai menguasai pikiranku.
"Silakan tunggu sebentar," katanya, dengan suara yang lebih dalam dan dingin. "Saya akan memandu Anda ke ruangan lain."
Aku mengangguk tanpa berkata apa-apa, membiarkan pria itu membawaku melewati lorong lain. Langkahnya cepat dan pasti, sementara aku hanya mengikuti tanpa protes. Kami tiba di sebuah ruangan kecil yang sepi, hanya berisi meja, kursi, dan lampu gantung yang menyala redup.
"Silakan tunggu di sini," katanya singkat sebelum meninggalkanku.
Ruangan itu terasa dingin dan hening. Aku mengeluarkan gawai dari saku, membuka salah satu buku digital yang sudah lama tertunda untuk kubaca. Kata-kata di layar seharusnya memancing pikiranku, tetapi aku merasa setengah perhatianku tetap tertinggal pada kejadian tadi.
Apa yang sebenarnya mereka lihat?
Waktu berlalu perlahan. Suara langkah akhirnya terdengar lagi di luar pintu. Pria yang sama muncul, kali ini dengan ekspresi lebih serius dari sebelumnya.
"Ikuti saya," katanya tanpa basa-basi.
Kami berjalan lebih jauh ke dalam gedung, melewati lorong yang semakin redup pencahayaannya. Akhirnya, kami tiba di sebuah ruangan dengan dinding kaca yang buram. Pintu geser terbuka otomatis, memperlihatkan ruang yang diterangi oleh cahaya temaram dari beberapa layar besar di dinding.
Di layar itu, beberapa siluet manusia terlihat. Wajah mereka tertutupi bayangan, sementara suara mereka disamarkan menjadi nada rendah dan monoton.
"Savil Ghenius," salah satu siluet berbicara. Nadanya dingin tapi formal. "Selamat datang."
Aku tetap berdiri tegak, menatap langsung ke layar terbesar. "Apa ini?"
"Rekomendasi Adipati Muda Burlian telah diterima," suara itu melanjutkan. "Namun, perlu kau ketahui bahwa rekomendasi saja tidak cukup. Setiap anggota baru harus diuji, tanpa kecuali."
Mata mereka, meski tak terlihat, seolah menusuk langsung ke dalam diriku. Aku mengepalkan tangan perlahan.
"Apa yang harus saya lakukan?" tanyaku, menjaga nada suaraku tetap tenang meski detak jantungku meningkat.
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...