"Kami akan segera tiba," seru Reina, suaranya menembus kekacauan dalam pikiranku. Ada sedikit harapan dalam nada itu. "Bertahanlah sebentar lagi!"
"Bagus," balasku, segera menyambungkan kembali komunikasi dengan UE-2 dan Beta-7. "Bantuan dalam perjalanan. Bertahanlah sedikit lagi, Kawan-Kawan."
"Bodoh!" sahut Khal di seberang sana, suaranya penuh frustrasi. "Kamu selalu bilang bahwa bantuan akan datang. Kami sudah dalam keadaan kritis. Sebaiknya kamu tidak lagi memberi harapan kosong."
Kata-kata Khal menambah berat beban di pundakku. Aku terdiam sejenak, membayangkan betapa menegangkannya situasi di lapangan saat ini. Udara terasa mencekam, setiap detik seperti menjadi satu jam. Selepas mengatur emosi di hati, aku pun berkata dengan tenang, "Laporkan status kalian!"
"Isla hampir kehabisan energinya," Rahim yang membalas kali ini, suaranya lemah dan terputus-putus. "Ruang ilusi akan segera runtuh. UE-2 telah kehilangan 90% kekuatannya, sementara Beta-7 hanya tersisa 40% personel yang semuanya tak dapat bertempur lagi. Komandan, kami tidak tahu berapa lama lagi bisa bertahan."
Aku kembali terdiam. Laporan Rahim terdengar lemah, lebih seperti wasiat yang diucapkan oleh orang sekarat. Hatiku berdegup kencang, merasakan ketegangan menyelimuti ruangan mental kami. Di latar belakang, suara langkah kaki yang teratur terus mendekat, tanda bahwa musuh semakin dekat. Setiap dentuman langkah itu mengguncang keyakinanku, seolah-olah mengingatkanku bahwa waktu kami hampir habis. Aku harus mencari jalan keluar. Kalau tidak, seluruh UE-2 dan Beta-7 yang tersisa akan musnah.
"Rubah Perak," panggil Reina tiba-tiba, suaranya melambungkan kembali konsentrasiku. "Ini aneh. Kenapa mereka melakukan itu?"
"Hah?" Aku tak mengerti apa maksudnya. Saat aku memindai radar di layar, keheranan segera menggelayuti pikiranku. Titik-titik merah pertanda musuh tengah melakukan pergerakan yang sangat mencurigakan. Mereka berkumpul pada satu titik, bergerak cepat mendekati mecha yang baru saja datang.
"Apa mereka mau menghancurkan markas dalam sekali serang?" tanya Reina cemas. Satu keraguan mulai merayap di hatiku. Daya penghancur UTK sangatlah besar, cukup untuk menghancurkan markas ini dalam sekejap mata. Serangan semacam itu bukan hanya akan meluluhlantakkan pertahanan kami, tetapi juga bisa membuat sekutu musuh ikut terkena dampaknya. Karena itulah, mereka harus ditarik mundur sebelum menyerang.
"UE-1 dan Beta-1 akan ikut musnah bila mendekat," gumamku gelisah, berpikir keras untuk mencari jalan keluar. "Reina, lebih baik kita siapkan rencana darurat. Kita harus—"
"Hah... jadi memang tidak akan ada bantuan, kan?" Khal menyahut dari seberang interkom. Suaranya terdengar putus asa, menambah berat di hatiku. "Memang tidak ada harapan bagi kita. Souli sialan! Kalau bukan gara-gara dia, kita tidak akan terjebak di sini."
Aku juga sempat berpikir demikian. Kalau saja Souli tidak bersikeras menyelamatkan anak-anak di dalam markas itu, UE-2 dan Beta-7, bahkan UE-1 dan Beta-1, tidak akan terjebak dalam situasi yang memprihatinkan ini. Sebaliknya, kami harusnya bisa menjadi batuan besar bagi pasukan evakuasi.
"Hai, Rubah Perak," panggil Reina lagi, suaranya meluncur lembut namun tegas. Aku menoleh padanya dan mendapati wajahnya yang kebingungan, penuh dengan kecemasan yang tak bisa disembunyikannya. "Kenapa mecha itu tiba-tiba ..."
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...