029: Terdesak

2 1 0
                                    

Sayap kiri musuh berhasil diluluhlantakkan oleh UE-1 dengan pesawat-pesawat dari hanggar. Musuh yang menyadari keberadaan mereka segera melancarkan serangan balik anti udara. Skuadron UE-1 itu pun bermanuver tinggi, menghindari serangan musuh.

Ketegangan di udara semakin terasa seiring detik yang berlalu. Ledakan dan kilatan senjata terus menghujani mereka. Sementara itu, pasukan infanteri dan kavaleri Sekte Leberynthos terus mendesak pasukan darat tanpa ampun, seperti gelombang yang tak pernah surut.

Mereka terus menerobos pertahanan yang dibuat UE-2, seolah tak ada akhir dari pasukan mereka. Para prajurit mereka bertarung layaknya zombie yang tak mengenal lelah, tak mengenal rasa sakit, dan tak mengenal takut. Padahal sudah banyak dari mereka yang gugur, tapi mereka seolah tak peduli akan hal tersebut.

Aku menyaksikan Souli di halaman depan, tubuhnya bergoyang, tangannya yang beberapa saat lalu masih kokoh, kini mulai gemetar. Ia memanggil makhluk-makhluk astral terakhirnya dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki. Wajahnya jelas menunjukkan kelelahan mendalam. Cahaya astralnya berkurang, dan makhluk-makhluk yang ia ciptakan mulai tampak goyah, seolah bisa menghilang kapan saja.

"Komandan!" suara Souli serak terdengar melalui komunikasi pribadi. "Aku tidak bisa bertahan lebih lama... kekuatanku hampir habis."

Jantungku serasa berhenti. Aku tahu ini buruk. Jika Souli jatuh, pertahanan kami akan runtuh lebih cepat dari yang bisa kubayangkan.

"Fokus, Souli!" teriakku. "Bantuan sudah di depan mata. Kamu hanya perlu bertahan sedikit lebih lama!"

Namun, aku tahu, itu hanya kata-kata. Di saat Souli berada di ambang batas, pasukan Beta-7 dan UE-2 juga semakin terpojok. Aku melihat Instruktur Isy, dengan tangan berkilauan logam, mencoba memanipulasi medan pertempuran dengan mengendalikan reruntuhan besi dan logam dari bangunan yang rusak, menjadikannya sebagai tameng darurat. Tapi meski dengan kemampuannya yang luar biasa, jumlah musuh terlalu besar. Tak lama, tameng logam itu hancur oleh serangan brutal dari prajurit Sekte Leberynthos yang membawa senjata plasma.

"Sekarang atau tidak sama sekali, Kapten Isy!" teriakku, mencoba mendorongnya untuk tetap bertahan.

Di layar monitor, aku bisa melihat kondisi Beta-7 yang semakin genting. Prajurit-prajurit mereka yang tersisa mulai kehabisan amunisi dan terpaksa mundur, bersembunyi di balik puing-puing yang ada. Satu per satu dari mereka tumbang, tidak mampu menahan gempuran dari pasukan musuh yang tak pernah berhenti.

"Tidak... tidak... kita tidak bisa kalah!" desisku, suara kekalahan yang mulai menggerogoti keyakinanku sendiri. Di luar, Reina masih memimpin pasukan UE-1 dan Beta-1 yang kembali terpukul mundur oleh serangan balik anti-udara musuh. Mereka sudah berhasil meluluhlantakkan sayap kiri musuh, tetapi pergerakan mereka ke markas Area-X terhenti.

Serangan balasan dari musuh terlalu masif. Pesawat-pesawat mereka ditembaki dari segala arah, terpaksa bermanuver tinggi, menghindari tembakan rudal dan senjata energi yang melesat seperti hujan.

"Kita tidak bisa maju ke markas!" Kapten UE-1 melaporkan dengan napas terengah. "Mereka memblokir semua rute masuk! Kami butuh waktu!"

Waktu adalah kemewahan yang tidak kami miliki.

"Souli, mundur!" titahku. Aku melihat ke layar, menyaksikan bagaimana Sekte Leberynthos mulai menembus lapisan pertahanan terakhir di lobi utama.

Beta-7, yang kehabisan amunisi, tidak punya pilihan lain selain bertarung dengan senjata seadanya. Sebagian dari mereka mulai menggunakan tangan kosong untuk melawan pasukan musuh yang berlapis baja. Mereka bertarung dengan gigih, tapi kekuatan kami perlahan terkikis habis. Kami terlalu kalah jumlah.

Aku merasakan darah berdesir di tubuhku, rasa frustrasi, rasa ketidakmampuan, menyatu menjadi amarah.

"Beta-1, UE-1, kalian harus tembus! Kami tidak bisa bertahan lebih lama!" teriakku melalui interkom, hampir putus asa. "Kami terpojok di sini!"

"Tidak mungkin, Komandan! Kami akan hancur sebelum sampai ke sana!" Kapten Beta-1 membalas, suaranya penuh ketegangan.

Aku mengepalkan tinju, berusaha mencari jalan keluar. Tapi realitanya terus menghantam kami. Sekte Leberynthos semakin mendekat, pasukan mereka menembus titik-titik pertahanan kami satu per satu. Mereka seperti arus deras yang tak bisa dihentikan. Makhluk-makhluk astral Souli yang tersisa mulai melemah, tak lagi setangguh di awal pertempuran. Souli sendiri kini berlutut di tanah, kehabisan energi.

Instruktur Isy berusaha menahan gelombang musuh terakhir di koridor utama dengan perisai logamnya, namun aku bisa melihat dari ekspresinya bahwa kekuatannya juga semakin menipis.

Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Kita tidak boleh menyerah... belum sekarang."

Tapi jauh di dalam hati, aku tahu kami sudah di ambang kehancuran.

"Weldy! Berikan aku laporan! Di mana posisi kalian?" teriakku melalui komunikasi.

"Kami masih di koridor. Musuh semakin banyak," Weldy terdengar kelelahan. "Kami mungkin tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi."

"Baiklah," aku menggigit bibir, berpikir cepat. "Lakukan teleportasi bayanganmu! Pindahkan sisa pasukan UE-2 yang bisa kau jangkau ke bagian dalam Markas Area-X! Berusahalah menyelamatkan teman-teman sebanyak mungkin!"

"Dimengerti!" Weldy merespons tanpa ragu. Namun, aku tahu bahwa bahkan dengan kemampuannya, teleportasi dalam jumlah besar akan sangat membebani dirinya.

Aku melihat ke arah Reina, yang masih terpaku pada layar strategisnya, mata tajamnya bergerak cepat memantau situasi.

"Reina," suaraku terdengar lebih lembut kali ini. "Kita kehabisan waktu."

Dia tak menjawab, tapi aku tahu dia merasakan hal yang sama. Satu-satunya harapan kami sekarang adalah mampu menahan sedikit lebih lama, berharap bahwa keajaiban akan terjadi—bahwa bala bantuan benar-benar datang tepat waktu.

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang