059: Permainan Simulasi (3)

4 2 0
                                    

Aku menatap sinyal merah yang terus berkedip di hologram, tanda bahwa armada keempat yang berada di Logos sedang menghadapi situasi darurat. Sementara tanganku sudah siap menggerakkan unit lain, pikiranku terus berpacu. Logos, Tura, Niron, Viron—semuanya berisiko. Setiap keputusan harus diambil cepat, tapi tidak gegabah.

"Situasi semakin rumit, bukan?" Suara Surya tiba-tiba kembali terdengar di depanku, tajam dan penuh makna, membuatku tersadar bahwa aku tak sendirian. Dia melangkah mendekat, menatap peta holografik dengan minat yang mendalam, seolah dia sedang menunggu untuk melihat bagaimana aku akan bereaksi di tengah tekanan ini.

Aku menahan napas sejenak, berusaha menenangkan detak jantung yang mulai berdebar kencang.

"Mereka tidak menyerang secara acak," gumamku, mengalihkan pandangan dari Surya, kembali ke layar. "Perompak ini lebih terorganisir daripada yang kuduga. Mereka memancing kita untuk menyebarkan kekuatan."

Surya tertawa kecil, nada suaranya terdengar dingin. "Benar, dan sekarang armada di Ikara dikepung. Kamu akan membiarkan mereka begitu saja, Letda Ghenius?"

Tangan kananku bergerak cepat, menyesuaikan posisi beberapa unit di peta. Cahaya holografik bergetar saat aku menggeser armada yang sebelumnya berada di posisi aman menuju titik konfrontasi di Ikara.

"Tidak, mereka akan bertahan. Tapi... aku butuh lebih dari sekadar serangan langsung."

Mataku menelusuri peta dengan cermat. Aku menggeser tampilan ke daerah sekitar, mencari unit yang bisa memberikan dukungan tanpa mengorbankan wilayah lain. Setiap keputusan terasa seperti menumpuk beban tambahan di pundakku. Satu langkah salah, dan keseimbangan seluruh sistem bisa runtuh.

Surya berjalan mengelilingi meja, matanya tak pernah lepas dari peta holografik. "Aku harus akui, kau cepat tanggap. Tapi, apa kau yakin langkahmu ini akan berhasil? Ikara sudah dikepung dari dua sisi. Mereka tidak bisa bertahan lama."

Aku menggeleng pelan, menahan rasa frustrasi yang mulai merayap. "Mereka tidak perlu bertahan lama. Aku sudah menyiapkan armada bantuan dari sektor terdekat. Mereka akan datang untuk menyelamatkan situasi sebelum pertempuran di Ikara memanas."

Sambil berbicara, aku menarik salah satu unit di peta, mengirimkannya dengan cepat menuju posisi strategis di dekat Ikara. Cahaya biru dari unit tersebut bergerak cepat di layar, tapi aku tetap memantau sektor lain, memastikan tidak ada celah yang ditinggalkan.

"Tapi kamu masih punya masalah lain, Letda," Surya menambahkan, suaranya mulai terdengar lebih serius. "Viron sedang dalam kekacauan. Pemberontakan di sana semakin tak terkendali, dan armada kita kehilangan 20% kekuatannya. Kalau dibiarkan, mereka akan menyebarkan pengaruhnya ke planet-planet tambang lain."

Aku tahu dia benar. Suasana di Viron semakin panas, dan para perompak tampaknya tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang mereka inginkan. Aku tidak bisa membiarkan pemberontakan ini membesar. Namun, jika aku fokus terlalu banyak di satu tempat, armada lainnya akan berada dalam bahaya.

Surya tersenyum tipis, matanya bersinar penuh teka-teki. "Keputusanmu, Letda Ghenius. Apakah kamu akan mempertaruhkan Viron atau mencoba menyelamatkan semuanya sekaligus? Pilihan ini lebih sulit dari sekadar menata kapal di peta."

Kata-katanya menggantung di udara, menambah beban pada pikiranku yang sudah penuh oleh berbagai pertimbangan. Sementara aku terus menyesuaikan strategi, sinyal dari para agen intelijen di Viron kembali masuk.

"Negosiasi gagal total. Mereka tidak hanya menolak tawaran, tapi mengancam akan membunuh para diplomat jika kita tidak segera menarik diri."

Aku mengatupkan rahangku rapat. Situasi ini lebih buruk dari yang kupikirkan.

"Oke," kataku dengan tegas. "Tarik semua diplomat keluar dari zona bahaya. Nyawa mereka terlalu berharga untuk dipertaruhkan sekarang. Tapi agen kita tetap tinggal. Kita perlu tahu lebih banyak tentang pemberontak ini."

Suaraku terdengar lebih yakin dari sebelumnya, meskipun di dalam diriku, konflik batin masih berkecamuk. Aku menggerakkan beberapa unit untuk menutup celah di sekitar Viron, memastikan bahwa setidaknya wilayah tambang tetap aman meski situasinya semakin tak terkendali.

"Luar biasa," kata Surya tiba-tiba. Aku menoleh, menemukan tatapannya yang menilai, seolah mencoba menembus pikiranku. "Kamu tidak hanya membuat keputusan cepat, tapi juga tetap memikirkan keseluruhan gambar besar. Tapi ingat, tak ada rencana yang sempurna."

Aku diam, tidak membalas komentarnya. Fokusku tetap pada peta holografik, pada semua keputusan yang telah kubuat. Namun, saat aku menatap layar, ada sesuatu yang membuat bulu kudukku merinding.

Sinyal dari Ikara—armada bantuan yang kukirim tiba-tiba hilang.

"Tidak mungkin..." Aku menahan napas, jantungku berdegup kencang. "Sinyal mereka... menghilang."

Surya menatapku tajam, senyum tipis di bibirnya menghilang. "Sepertinya, lawanmu tahu lebih banyak dari yang kamu pikirkan, Letda Ghenius. Apa yang akan kamu lakukan sekarang?"

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang