068: Yang Bisa Kulakukan

11 1 0
                                    

Darahku berdesir cepat melihat Yuni tergeletak tak berdaya di lantai beton yang retak dan kotor. Nafasku seolah terhenti, menyadari bahwa pria itu bukan sekadar ancaman—dia adalah bahaya nyata yang merasuk di tempat ini, mengisi setiap sudut gelap di stasiun terlantar ini dengan kehadirannya yang menakutkan. Keheningan yang tadinya hanya menyelimuti kini terasa penuh dengan bayang-bayang kelam yang datang darinya.

Tatapannya yang tajam dan menusuk beralih kepadaku, matanya mengandung keangkuhan seorang predator yang baru saja merobohkan mangsa-mangsanya. Dalam sekejap, tubuhnya lenyap dari pandangan. Aku merasa dadaku menegang, ketakutan dan adrenalin bercampur saat ia muncul tepat di depanku, lebih dekat dari yang bisa kuduga, seperti kabut pekat yang datang mendekat tanpa suara.

Aku terpaku pada wajahnya. Kulit wajahnya kasar, penuh bekas luka yang tampak usang dan dalam seolah setiap sayatan itu membawa sejarahnya sendiri—sejarah yang lebih suram dari bayang-bayang kegelapan. Wajah tirusnya menyeringai, menunjukkan gigi-gigi yang tajam berkilat. Seiring dengan itu, tangannya sudah siap mengayunkan tinju keras ke arahku.

Refleksku bergerak lebih cepat dari pikiranku. Tanganku naik, membelokkan serangan yang nyaris menghantam wajahku. Pukulan itu lewat begitu dekat hingga aku bisa merasakan desau angin yang dingin dari ayunannya.

Namun, rasa sakit langsung menjalar di seluruh lenganku saat aku menerima kekuatannya. Sakitnya luar biasa, membuatku hampir berteriak.

Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Jangan sampai terlihat lemah di hadapannya. Aku pun menggertakkan gigi, menahan rasa sakit yang menyengat.

Rasa nyeri ini... sedikit mengingatkanku pada sesi latihan keras yang pernah kulewati bersama kakekku, Reisius Ghenius. Ingatan akan keteguhan dan kekuatan beliau menyusup ke dalam pikiranku.

"Seorang esper sejati tidak boleh kalah dalam pertempuran jarak dekat," kata kakek suatu kali, terutama ketika menghadapi musuh yang punya kemampuan berpindah secepat bayangan seperti esper Eklipsian ini.

Pria itu terkejut sejenak. Itu terlihat jelas di matanya. Ekspresinya memperlihatkan bahwa ia tidak menyangka serangannya bisa kutahan. Matanya melebar sesaat, memberiku peluang yang tak akan kusia-siakan. Tanpa ragu, aku mengerahkan seluruh tenagaku, memutar tubuh dan melayangkan tendangan frontal ke perutnya.

"Urgh!" Pria itu terhempas ke belakang, tubuhnya terhuyung seperti boneka yang dihempaskan. Dari mulutnya, terdengar suara erangan tertahan. Ia pun mengeluarkan isi perutnya seketika.

Tatapan tajamnya berubah penuh kemarahan. Matanya bersinar tajam seperti binatang buas yang terluka. Tapi tiba-tiba, dia jatuh berlutut, seolah kakinya ditarik paksa oleh kekuatan yang tidak terlihat. Wajahnya memerah, menahan tekanan luar biasa yang menekan tubuhnya ke lantai beton yang keras.

Aku menoleh ke arah Ainun. Dia berdiri di ujung lorong yang remang-remang, kedua tangannya disatukan erat, bergetar, tapi dengan tekad yang tak tergoyahkan.

Wajahnya tegang. Tatapannya keras dan penuh kemarahan, berbeda dari Ainun yang terlihat lembut sebelumnya. Aura biru lembut tampak berpendar di sekelilingnya, mengalir dari tubuhnya seperti selubung cahaya yang menekan gravitasi di bawah kaki pria itu. Walau tubuhnya sedikit gemetar, Ainun tetap berdiri teguh.

"Hah! Hahahah...!" Pria gila itu tiba-tiba terkekeh kencang meski tubuhnya tertahan. Dia menatap Ainun dengan penuh hasrat yang mematikan. Matanya melotot, menunjukkan urat-urat merah di dalamnya. Seringainya melebar, mirip seperti senyum kejam seorang psikopat dalam film laga.

Keringat mulai mengalir di pelipisku, meskipun udara di sekitar begitu dingin dan penuh ketegangan. Pria gila itu tertawa seolah ini semua hanyalah permainan baginya. Aura kelam menyelimutinya, menekan udara di sekitar kami dan membuat setiap detik semakin mencekam.

"Hebat!" Pria itu berseru, suaranya menggetarkan setiap sarafku. "Hebat, Tuan Putri! Anda sudah berkembang sejauh ini! Hahahah...!"

Sekilas, aku menoleh ke arah Ainun yang berusaha keras menjaga tekanan gravitasi yang menahan pria itu. Wajahnya pucat dan berkeringat. Tubuhnya gemetar, tapi dia tetap bertahan, menggenggam kedua tangannya dengan erat seolah menyalurkan seluruh kekuatan pada dirinya.

Momen ini adalah kesempatan yang tak boleh kulewatkan. Aku merunduk, cepat meraih pistol plasma Bintang yang terjatuh di dekatku. Hanya ini yang bisa kuandalkan. Seandainya aku bisa memanipulasi api seperti kakek... andai saja aku adalah esper yang kuat, pasti akan lebih mudah mengalahkannya.

Sayangnya, tidak untukku. Aku adalah esper yang jatuh. Namun, ini bukan saatnya tenggelam dalam keraguan. Aku harus bertindak.

Tangan pria itu mulai bergerak, seolah ingin membebaskan diri dari tekanan gravitasi Ainun.

"Lebih kuat lagi, Tuan Putri!" serunya penuh kegilaan. "Kamu harus tumbuh lebih kuat!"

Suaranya, yang menyerupai raungan, tiba-tiba menerobos masuk ke dalam pikiranku, menekan mental kami semua. Dentuman suaranya menghantam Ainun, menyebabkan gravitasi yang dia kendalikan perlahan melemah. Dalam sekejap, tubuh pria itu mulai bergerak leluasa.

Aku menahan napas, memaksa tanganku untuk tetap tenang dan stabil saat kubidikkan pistol plasma tepat ke kepalanya. Detak jantungku menggelegar, begitu kuat hingga telingaku terasa penuh oleh suara itu.

"Satu peluru... satu kesempatan..." bisikku dalam hati, berusaha mengumpulkan keberanian.

Kujentikkan pelatuknya, peluru plasma panas meluncur dalam kilatan cahaya merah. Seakan bergerak lambat di udara, setiap putarannya terlihat jelas di pandanganku. Wajah si pria gila menoleh seketika ke arahku, matanya menyala liar penuh dengan seringai mengerikan.

"Ah..." Dia menyeringai lebih lebar. Tiba-tiba, tubuhnya lenyap menjadi serpihan debu tepat saat peluru hampir menyentuhnya. Dadaku sesak, suara peluru plasma yang menembus udara hanya meninggalkan kehampaan di hadapanku.

Aku terkesiap, tak sempat menoleh ke arah lain. Dalam sekejap, pria itu muncul kembali tepat di depanku. Jaraknya terlalu dekat, terlalu tak terduga.

Dia menyeringai lagi, kali ini dengan tatapan puas yang menusuk, sementara aku belum siap bereaksi. Kepalan tangannya mengayun ke arahku, menghantamku tanpa ampun.

Pandanganku langsung gelap. Semua suara dan rasa seolah lenyap, menyisakan keheningan yang menyesakkan di balik ketakutanku yang terakhir.

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang