Aroma kopi yang pekat memenuhi udara. Cangkir porselen di depanku berisi cairan hitam yang memantulkan cahaya lampu kafe. Aku menatapnya lama, seolah menunggu jawabannya untuk segala pertanyaan yang menggantung di pikiranku.
"Pesanan tambahan, Tuan?" seorang pelayan bertanya, suaranya ramah.
Aku menggeleng tanpa menatapnya. "Tidak. Terima kasih."
Pelayan itu pergi dengan langkah ringan. Aku kembali pada cangkir kopi, menggenggamnya dengan kedua tangan. Kehangatan dari cangkir itu menjalar ke telapak tanganku, tetapi tidak mampu menembus dinginnya pikiranku.
Beasiswa Anda telah dicabut.
Frasa itu terus menggema dalam kepalaku seperti gema langkah di lorong panjang tanpa ujung. Aku menghirup kopi, mencoba membungkam pikiran itu. Pahitnya terasa pas, seolah mencocokkan suasana hatiku.
Cih! Aku tidak akan kembali ke konsulat. Tidak ada gunanya.
Pikiranku melawan fakta itu dengan gigih, tetapi hatiku tahu, mendatangi mereka hanya akan membuatku merasa lebih hina. Aku tidak ingin memohon pada mereka yang melihatku seperti aib.
Tangan kiriku tanpa sadar masuk ke saku jaket. Jemariku menyentuh sesuatu yang dingin, benda kecil berbentuk oval dengan permukaan halus dengan sedikit timbulan.
Aku mengeluarkannya perlahan. Emblem itu, kecil tapi sarat makna. Lambang Keluarga Toya dengan ukiran air yang berputar seperti pusaran angin.
Keluarga Toya. Mengingat nama itu membuat ingatan tentang Karna Toya melintas seketika di benakku, bersama dengan suaranya yang tajam.
"Kau tidak hanya mencoreng nama Keluarga Toya dengan keberadaanmu, tapi juga menghina para esper murni."
Otot rahangku menegang. Aku hampir melempar emblem itu ke meja, tetapi sesuatu menahanku. Ini adalah peninggalan ayahku. Satu-satunya.
Tanganku mengepal erat di sekitar emblem, seolah mencoba menyalurkan semua emosi ke benda kecil itu. Aku menarik napas panjang, menatap emblem itu sebelum memasukkannya kembali ke saku.
"Menyedihkan sekali, ya?"
Aku mendongak, terkejut mendapati Bintang berdiri di depanku dengan senyum khasnya.
"Bintang?" tanyaku, sedikit mengerutkan kening. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Dia menarik kursi di depanku, duduk dengan santai sambil mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Gawaiku.
"Kau meninggalkan ini di kamar," katanya, melambaikan gawai itu di depanku.
"Aku sengaja meninggalkannya," balasku datar.
"Dan, aku sengaja membawanya." Dia tertawa kecil, mendorong gawai itu ke meja di depanku.
"Bintang, kau tahu ini melanggar privasi." Aku menyipitkan mata, nada suaraku lebih tegas dari biasanya.
Dia mengangkat bahu, tidak terganggu. "Kau terlalu serius, Savil. Lagipula, aku tidak membuka apa-apa. Aku hanya memastikan kau tidak melewatkan hal penting."
"Jangan lakukan lagi," gumamku, menyembunyikan rasa kesal.
Bintang hanya tertawa kecil sebelum mengeluarkan kartu hitamnya, kartu anggota Asosiasi Kesatrian. Ia meletakkannya di meja, membuatnya berkilau terkena cahaya lampu.
"Kau tahu," katanya sambil menunjuk kartu itu, "Kau tak perlu ambil pusing soal semua ini. Dengan benda ini, hidupmu di akademi akan jauh lebih mudah."
Aku tidak menjawab, hanya menatap kartu itu dengan ekspresi datar. Tapi sesuatu dalam kata-katanya membuatku merasa tidak nyaman.
Dia tersenyum kecil, bangkit dari kursinya. "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Savil. Kita semua berada di tempat ini untuk alasan tertentu. Ingat itu."
Bintang pergi dengan langkah ringan, meninggalkan kartu yang ternyata milikku itu di meja. Aku mengambil gawai di depanku, membukanya dengan enggan.
Sebuah pesan muncul di layar kunci, judul pesannya membuat keningku berkerut.
"Jangan pedulikan Esperheim. Kami bisa memberimu yang lebih baik."
Aku menatap pesan itu, merasakan darahku berdesir. Saat itu, aku langsung mengingat kembali apa yang Adipati Muda Burlian tawarkan padaku.
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Fiksi IlmiahSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...