Meski berat, mau tidak mau, aku harus beradaptasi dengan suasana akademis di Akademi Burlian. Ini sudah masuk ke pekan ketiga sejak awal semester dimulai. Selama seminggu ini, aku sibuk mengejar ketertinggalanku dari yang lain.
Beruntung Satria mau memberikan salinan materi yang dicatatnya selama pembelajaran. Bila dibandingkan dengan Bintang dan Hao, catatannya jelas paling lengkap. Bintang bilang, Satria bahkan menambahkan banyak catatan tambahan pada setiap materi. Dia bahkan bisa mencetak satu buku dari semua catatan yang dibuatnya selama tiga minggu ini.
Cerdas dan rajin, tak heran Satria terlihat lebih maju dari kami yang lain.
"Hai, ayo," ajak Bintang saat waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Udara pagi masih dingin, dan langit di luar jendela asrama tampak sedikit berkabut. "Kita bisa terlambat kalau tidak berangkat sekarang. Tempat pertemuannya cukup jauh dari akademi."
"Oke," jawabku, baru saja selesai bersiap. Bintang sudah memperingatkanku sejak semalam, saat kami mengurus izin keluar dari akademi ke Rektorat Bidang Kemahasiswaan, bahwa kami harus bergerak cepat pagi ini. Tempat pertemuan kami ada di luar Kota Hati, tepatnya di Kota Dirgantara—kota yang melayang di udara, mengorbit pada Planet Burlian.
"Ikuti aku," kata Bintang saat kami hendak menaiki kereta dari Stasiun Akademi. "Jangan sampai ketinggalan, ya."
Senyum cerianya tidak pernah hilang, tapi ada sesuatu yang membuatku tetap berhati-hati setiap kali dia berkata seperti itu. Bintang, dengan segala keramahan dan kelugasannya, selalu membawa aura misterius yang tak mudah kuabaikan.
Kereta gravitasi kami meluncur dari Stasiun Akademi menuju Stasiun Kota Hati. Pemandangan dari jendela memperlihatkan gedung-gedung futuristik Kota Hati yang menjulang, tenggelam dalam kesibukan pagi yang sudah dimulai sejak subuh. Aku memperhatikan bagaimana cahaya matahari perlahan memantul dari permukaan kaca-kaca gedung, menciptakan bayangan panjang di jalanan kota. Dari sini, perjalanan ke Kota Dirgantara akan berbeda. Kami akan keluar dari atmosfer kota besar dan menuju kota yang melayang di langit—sebuah konsep yang masih membuatku merasa asing, bahkan setelah beberapa minggu di sini.
Kami sampai di Stasiun Kota Hati, salah satu pusat transportasi terbesar di planet ini. Meskipun baru sepekan berada di sini, aku sudah terbiasa dengan teknologi canggih yang mengelilingi setiap sudut kota. Meski begitu, perjalanan kali ini berbeda dari biasanya. Bintang tampak lebih tenang dari biasanya, tidak banyak berbicara, hanya memfokuskan pandangannya ke jadwal keberangkatan di gawai kecilnya.
Kami menaiki kereta angkasa yang akan membawa kami ke Kota Dirgantara. Saat kereta mulai meluncur, aku merasa gravitasi buatan di dalam kabin menyesuaikan, menahan kami tetap di kursi. Di luar jendela, pemandangan Kota Hati perlahan menghilang di bawah awan tipis yang menggantung di langit.
"Kota Dirgantara adalah pusat pemerintahan seluruh Planet Burlian," jelas Bintang, nadanya tenang tapi penuh antusiasme, seolah dia bangga dengan fakta itu. "Di sinilah Keluarga Burlian kami mengatur segala urusan. Mulai dari ekonomi, pendidikan, sampai politik."
Kereta melayang melewati lapisan atmosfer, dan dari ketinggian ini, pemandangan Planet Burlian terlihat seperti hamparan besar daratan dan lautan yang membentang hingga ke ujung cakrawala. Kami melaju menuju Kota Dirgantara, sebuah kota yang melayang di udara, ditopang oleh medan gravitasi buatan. Dari kejauhan, kota itu terlihat seperti pulau-pulau logam besar yang terapung di atas permukaan planet, dihubungkan oleh jembatan-jembatan besar yang melintasi langit.
"Kota ini seperti dunia yang terpisah dari planet di bawahnya," gumamku, lebih kepada diriku sendiri. Ini adalah pertama kalinya aku melihat Kota Dirgantara dari dekat, dan pemandangannya jauh lebih mengesankan daripada yang bisa kubayangkan.
"Benar sekali," Bintang menimpali, mendengar gumamanku. "Kota ini tidak pernah benar-benar statis. Posisi orbitnya selalu berubah, tergantung kebutuhan, baik itu untuk akses mudah ke kota-kota lain di Planet Burlian, atau untuk alasan-alasan keamanan."
Aku mengangguk, meski pikiranku mulai bertanya-tanya. Keluarga Burlian—keluarga Bintang—memiliki kendali penuh atas kota ini. Pikiranku memutar kemungkinan-kemungkinan tentang kekuasaan dan rahasia yang mungkin mereka miliki.
Bintang selalu bersikap ramah dan bersosialisasi dengan mudah, tidak seperti bangsawan kebanyakan yang kutemui di Esperheim. Namun, di balik keceriaannya, aku tidak bisa menyingkirkan perasaan bahwa dia menyembunyikan sesuatu. Bagaimana bisa seorang pangeran adipati seberpengaruh ini begitu tidak terpengaruh oleh kekuasaan?
Kami mendekati Stasiun Kota Dirgantara. Saat kereta mulai memperlambat lajunya, aku bisa melihat struktur logam besar yang menjadi bagian dari kota ini. Kota ini benar-benar berbeda dari apa yang pernah kulihat sebelumnya—seperti potongan dunia futuristik yang terapung di angkasa. Aku mencoba membaca ekspresi Bintang, tapi dia masih tenang seperti sebelumnya, seolah-olah perjalanan ini hanya bagian dari rutinitas sehari-harinya.
"Kita sampai," kata Bintang, memecah keheningan di antara kami. Dia berdiri dengan gesit, mengambil tasnya. "Ayo, seseorang sudah menunggu kita."
Aku mengikutinya tanpa ragu, tapi sekali lagi, pertanyaan itu muncul di benakku. Siapa yang akan kami temui?
Langkah Bintang cepat dan penuh percaya diri, tapi ada sesuatu dalam senyumnya yang membuatku berpikir bahwa dia memiliki lebih banyak hal yang disembunyikan daripada yang dia ungkapkan. Entah bagaimana, aku merasa seperti sedang mengikuti sebuah tali yang tak terlihat, tali yang bisa menuntunku pada jawaban, atau mungkin pada sesuatu yang lebih rumit daripada sekadar pertemuan biasa.
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...