032: Keputusasaan

2 1 0
                                    

Aku merasakan sakit yang tajam menghantam perutku saat menyaksikan layar monitor di ruang komando. Instruktur Isy—meskipun kami tak pernah dekat—adalah seorang pembina yang selalu menjaga ketenangannya, bahkan dalam situasi paling genting.

Sekarang, layar yang menayangkan sosoknya—kamera yang terpasang pada Souli—telah beralih ke sisi lain. Tidak ada lagi komunikasi lebih lanjut dengannya. Terakhir kali kulihat, ia tertimbun reruntuhan logam yang ia kendalikan sendiri.

Pikiranku berkabut.

Apa itu benar-benar akhir darinya? Apa dia benar-benar telah gugur? Kuharap tidak, tapi ... ah, apa harapanku ini mungkin terjadi?

Seharusnya aku merasa lega karena dia sudah tak perlu lagi menderita dalam pertempuran ini. Hatiku bergetar dengan perasaan yang tak bisa kugambarkan. Aku tidak dekat dengannya, tak pernah berbicara lebih dari sekadar instruksi formal, tapi membayangkan saat-saat terakhirnya membuat dadaku terasa berat.

Souli juga bukan seseorang yang benar-benar dekat denganku. Dia selalu ceria, terlalu sok akrab, terlalu banyak bicara. Aku bahkan risih dengan caranya menyusup ke dalam kehidupanku, seperti dia tak pernah tahu kapan harus berhenti. Tapi sekarang, melihat dia terkapar tak berdaya, dibopong oleh salah satu dari tiga prajurit Beta-7 yang tersisa, ada sesuatu dalam diriku yang seolah hancur.

Mungkin, di tengah segala keanehannya, Souli adalah salah satu dari sedikit orang yang peduli padaku dengan caranya sendiri. Dan saat ini, dia nyaris kehilangan hidupnya demi mencoba menyelamatkan anak-anak yang tak punya hubungan apa pun dengannya.

Aku mengepalkan tanganku. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana kami sampai pada titik ini?

Kuperintahkan tiga personel Beta-7 untuk mundur dari koridor selama musuh mencoba untuk menembus reruntuhan Instruktur Isy. Salah satu dari mereka menggendong Souli yang kini tak berdaya, sementara dua lainnya saling memapah untuk tetap bisa berjalan. Mereka masuk ke dalam ruang ilusi yang dibuat oleh Isla. Aku hanya bisa berharap dia cukup kuat untuk memandu mereka melewati labirin ilusi itu hingga selamat. Tidak ada jalan lain. Semua ini hanya taktik bertahan, hanya menunda waktu.

Weldy, yang bisa menggunakan teleportasi bayangannya untuk mengevakuasi orang, kini tak lebih dari tubuh yang terkapar lelah di pojokan ruangan. Dia telah memaksakan dirinya terlalu keras, sudah tiga kali bolak-balik membawa personel dari lobi. Sekarang, kami hanya bisa mengandalkan ilusi untuk memperlambat musuh.

Waktu yang kuperoleh dengan trik ini hanyalah penangguhan hukuman. Tak ada celah untuk kabur. Markas Area-X sudah dikepung. Baik esper maupun manusia, mereka semua kelelahan. Pertempuran yang begitu lama telah menguras kami hingga ke titik kehancuran. Bahkan aku sendiri mulai merasa pusing dengan segala tuntutan yang ada.

Padahal selama dua hari ini, semua berjalan lancar. Cih! Tampaknya, musuh sengaja memancing kami untuk masuk ke Area-X.

"Kami tidak punya banyak waktu," gumamku pada diri sendiri, suara itu tenggelam dalam kekacauan di sekitar.

Di markas pusat, para komandan saling berteriak, melaporkan masalah-masalah yang terus bertambah dari lapangan. Kolonel Amad tampak semakin kewalahan, ekspresinya yang keras sekarang terlihat hampir putus asa. Instruksi yang dia berikan mulai berantakan, tak jelas kepada siapa ditujukan.

Kepalaku berdenyut. Terlalu banyak yang harus dipikirkan. Terlalu banyak variabel yang harus kuperhitungkan dalam waktu singkat. Mereka tidak memberiku ruang untuk membuat kesalahan. Satu langkah salah, semuanya berakhir.

Sakit itu semakin menumpuk di kepalaku. Terlalu banyak tekanan. Terlalu banyak yang dipertaruhkan. Di sisi lain, aku melihat Beta-7 yang tersisa di monitor. Mereka yang berhasil keluar dari garis depan, bergabung dengan personel lain di kedalaman Markas Area-X. Syukurlah, setidaknya mereka selamat untuk saat ini.

Di tengah pikiranku yang kacau, sebuah suara lembut tiba-tiba terdengar di dalam kepalaku. "Savil..."

Suara itu ... Aku tahu siapa dia tanpa perlu bertanya. Yuni. Gadis esper penenun yang entah kenapa selalu usil padaku. Dia selalu berusaha menyusup ke dalam pikiranku, memaksa masuk dengan kemampuannya yang membuatku geram. Biasanya, aku bisa menahan dia agar tidak menembus mentalku, tapi sekarang—sekarang aku tak punya energi untuk menolaknya.

"Savil, tenanglah. Bertahanlah sedikit lagi!" suaranya menembus pikiranku, berusaha memberiku semangat, tapi kata-katanya sama sekali tidak berguna.

Aku menggertakkan gigi. Bertahan? Apa maksudnya bertahan? Kami sudah terpojok. Souli sudah terluka parah. Instruktur Isy—aku bahkan tak tahu apakah dia masih hidup atau tidak. Weldy tumbang. UE-2 yang tersisa hanya dapat menunggu waktu. Markas Area-X sudah hampir jatuh. Apa yang bisa kulakukan untuk mengubah nasib ini?

"Yuni, jangan ganggu aku." Aku membalas dalam pikiranku. Rasa putus asa yang tak tertahankan bernaung di sana.

Namun, Yuni tak menyerah. "Aku bisa merasakan keteganganmu, Savil. Tapi aku juga merasakan sesuatu yang lain... harapan. Di luar sana, di dalam dirimu. Aku tahu kamu tak akan menyerah begitu saja."

Aku diam, tapi kata-katanya bergaung di dalam kepalaku. Harapan? Apa yang dia bicarakan? Harapan itu sudah hampir tidak ada. Kami terlalu terdesak. Bahkan aku mulai merasa seperti semua yang kulakukan adalah usaha sia-sia.

Tapi... di saat yang sama, aku tidak bisa berhenti. Aku tak bisa berhenti berjuang. UE-2 dan Beta-7 bergantung padaku—pada setiap keputusan yang kuambil. Mereka mengandalkanku untuk bertahan hidup, bahkan jika aku sendiri meragukan kemungkinan itu.

"Savil..." suara Yuni terdengar sekali lagi, lebih lembut kali ini, seolah merasakan apa yang ada di pikiranku. "Kita akan bertahan. Kita akan keluar dari sini. Kau hanya perlu bertahan sedikit lagi. Jangan menyerah sekarang."

Mataku menatap layar monitor yang gelap. Tidak ada yang tersisa di sana. Hanya kehancuran, kegagalan, dan kesunyian. Namun di dalam diriku, sesuatu menggeliat. Amarah? Semangat? Entahlah ...

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang