Ketika mataku perlahan terbuka, cahaya putih yang silau menyapu wajahku, membuat pandanganku kabur sesaat. Begitu mataku mulai terbiasa dengan cahaya, aku melihat langit-langit putih yang tampak dingin dan steril di atas kepalaku.
Aroma antiseptik tajam menusuk hidung, memberiku perasaan aneh dan asing. Sebuah suara pelan dari monitor jantung berbunyi teratur, seolah-olah menegaskan bahwa aku masih hidup. Tubuhku terasa berat, terutama di bagian perut yang berdenyut-denyut. Rasanya seperti ada bara yang terbakar di dalamnya. Rasa sakit menyiksa yang menyusup setiap kali aku berusaha menggerakkan tubuh, membuatku meringis.
Satu memori terbayang jelas dalam pikiranku—serangan brutal dari pria gila di stasiun. Mengingatnya saja membuat tenggorokanku tercekat.
"Apa kamu baik-baik saja?" Suara lembut memecah kesunyian, menarikku dari kegelapan yang terasa mencekam. Aku mencoba menoleh, mengabaikan rasa sakit. Kulihat Reina duduk di samping ranjangku. Wajahnya tampak lelah, tapi ada kilatan harapan di matanya yang berbeda warna—biru tua dan biru muda, menunjukkan identitasnya sebagai esper hibrida.
"Reina?" suaraku serak, nyaris tak bisa kudengar sendiri. Sekuat tenaga, aku mencoba bicara lebih jelas. "Di mana... di mana aku?"
"Di Rumah Sakit Akademi Burlian," jawabnya pelan, suaranya nyaris berbisik. Pandangannya menatapku intens, seolah memastikan aku benar-benar sadar. "Kamu tidak ingat apa yang terjadi?"
Aku mengerjap, berusaha mengingat kembali insiden itu. Kepalaku terasa berat. Ada nyeri tajam di belakang pelipisku. Tetapi tiba-tiba, satu nama keluar dari mulutku tanpa bisa kucegah, "Yuni... bagaimana dengan Yuni?"
Wajah Reina berubah, seolah pertanyaanku akan dijawab dengan kabar buruk. Ekspresinya yang semula penuh harapan menjadi tegang, bahkan sedikit getir. Dia menunduk sesaat, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Yuni belum sadarkan diri, tapi dokter bilang dia baik-baik saja. Dia hanya perlu waktu untuk pulih."
Kata-kata itu sedikit menenangkanku, tetapi kecemasan tetap menguasai pikiranku. Yuni yang ceria, yang selalu penuh energi... Aku ingat jeritan itu, jeritan terakhir sebelum dia pingsan di hadapan pria gila itu. Aku menutup mata sebentar, mencoba meredam emosi yang membuncah—rasa bersalah yang dalam, karena aku tak mampu berbuat apa-apa ketika itu.
Mau bagaimana lagi? Aku adalah seorang esper yang jatuh.
"Savil..." suara lemah di sebelahku memecah keheningan yang tegang. Aku menoleh dengan susah payah dan mendapati Bintang di ranjang yang tak jauh dariku. Mata Bintang sayu. Garis wajahnya tegang, tapi ada sorot kekuatan yang tak mudah pudar di mata cokelat gelapnya.
"Syukurlah kamu sudah siuman," katanya, seolah meyakinkan dirinya bahwa aku baik-baik saja.
"Bintang..." Dengan susah payah, aku mencoba tersenyum meskipun tubuhku berteriak dalam rasa sakit. "Kau baik-baik saja?"
"Lebih baik darimu, sepertinya," jawabnya, berusaha melontarkan lelucon. Namun, suaranya terdengar getir. Matanya melirik ke arah langit-langit, seakan tak ingin bertatapan langsung denganku. "Aku bisa keluar dari rumah sakit sebentar lagi. Beruntungnya Alfons si gila itu hanya memukul perutku. Tapi tetap saja, memalukan karena aku tumbang dalam sekejap."
Dia tertawa kecil, tapi suara tawanya terdengar kosong. Matanya tak bisa menyembunyikan kekecewaan. Tangannya mengepal erat di sisi ranjang, menunjukkan betapa kesalnya ia pada dirinya sendiri.
"Alfons si gila?" Aku mengerutkan kening, masih mencoba mengurai informasi yang tak asing tapi samar di kepala.
"Pria gila itu," jelasnya dengan nada sedikit kesal, "Orang yang tiba-tiba menyerang kita di Stasiun Penyambung."
"Ah!" Aku mengangguk, mengingat kembali luka-luka di wajah pria itu dengan jelas. Tetapi di dalam dadaku, perasaan lain kembali muncul, membakar lebih dalam. Pria itu... apa tujuannya? Seketika ingatan lain datang. Mataku menatap Bintang dengan sorot cemas. "Tunggu... Bagaimana dengan Ainun?"
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...