Bab 104: Pedang di Tangan Reina

5 1 0
                                    

"Maaf, anak-anak. Aku tidak ada dendam pada kalian," suara berat penuh ejekan bergema pada lorong sempit yang dipenuhi bayangan. Si penjahat bertopeng melangkah maju dengan gerakan santai, kedua tangannya memegang sepasang belati tipis yang berkilat tajam di bawah sorotan merah dari drone di atas. "Tapi kami tidak boleh menyisakan saksi."

Mataku langsung menyapu sekitar, mencari jalur keluar atau celah untuk menyerang. Pistol plasma di genggaman terasa dingin, ujung jariku berada tepat di pelatuknya. Namun, fokusku tertuju pada Reina yang berdiri diam di sampingku. Tubuhnya kaku, napasnya terdengar pendek dan tersengal.

"Reina! Gerak!" seruku panik.

Namun, gadis berkerudung itu tidak bergerak. Matanya terpaku pada si penjahat bertopeng yang kini mulai berlari kecil ke arah kami dengan gerakan lincah, belatinya siap menebas.

Aku mengangkat pistol plasma dan menembak ke arah penjahat itu. Dua tembakan melesat, tetapi dengan cekatan ia menghindar dengan gerakan berputar yang nyaris mustahil. Nafasku tercekat ketika jarak antara Reina dan pria itu semakin dekat.

Tetapi saat ujung belati hampir menyentuh kerudung Reina, sesuatu terjadi.

ZRAK!

Sebuah kilatan energi biru menyala terang, dan tiba-tiba, pedang energi muncul di tangan Reina. Cahaya dari bilah pedang itu menerangi wajahnya yang dipenuhi ketegangan.

"Apa ...?" gumamku, nyaris tak percaya dengan apa yang kulihat.

Si penjahat bertopeng pun berhenti, tertawa rendah seraya memutar belatinya di tangan. "Hah! Pedang energi? Dari seorang esper yang jatuh? Menarik. Kalian memang aib para esper, tapi tampaknya kalian punya sesuatu untuk dimainkan."

Reina tidak menjawab. Dia hanya menggenggam pedang energi itu dengan kedua tangan, matanya kini memancarkan keberanian yang berbeda dari sebelumnya.

"Awas!" seruku ketika si penjahat melompat ke arahnya.

Bentrokan keduanya terjadi dalam hitungan detik. Belati tajam beradu dengan pedang energi, memercikkan kilatan cahaya biru dan perak di udara. Reina bergerak cepat, tubuhnya berputar dengan lincah, langkahnya ringan meskipun dia tampak sedikit canggung memegang senjata itu. Tapi jelas, pedang itu seakan menjadi perpanjangan dari dirinya.

Sementara itu, drone-drone di udara mulai menembakkan laser ke arah kami. Aku berjongkok di balik reruntuhan dan mulai membalas dengan pistol plasmaku. Satu drone jatuh, kemudian satu lagi. Tembakanku tepat sasaran, tetapi jumlah mereka terlalu banyak.

"Reina! Kita harus bergerak!" seruku sambil menembak drone ketiga yang mendekat.

Namun, Reina tidak mendengar. Fokusnya terkunci pada si penjahat bertopeng yang terus menyerangnya dengan serangkaian tebasan cepat. Gerakan Reina terlihat seperti tarian, setiap langkahnya memandu pedangnya untuk menangkis dan menyerang.

Namun, aku bisa melihat celahnya. Setiap kali serangan datang dari sudut yang terlalu sempit, Reina akan kehilangan ritme. Dan si penjahat mulai menyadarinya.

Satu tebasan belati hampir mengenai wajah Reina, tetapi dia berhasil mundur tepat waktu. Napasnya memburu, pundaknya naik turun.

"Sudah cukup main-mainnya," ujar si penjahat bertopeng dengan nada puas. Dia memutar belati di tangannya dan menyerang dengan kecepatan yang lebih brutal.

Aku menembak satu drone terakhir di udara dan berlari ke arah Reina. Tapi aku terlambat.

Si penjahat bertopeng berhasil menerobos pertahanan Reina. Dengan satu gerakan cepat, dia menangkis pedang energi Reina ke samping dan mengayunkan belatinya ke arah leher gadis itu.

Waktu melambat.

Aku melihat mata Reina yang melebar, refleksnya yang terlambat untuk menangkis serangan itu. Aku mendengar suara desingan logam di udara. Aku merasakan jantungku seperti berhenti berdetak.

"REINA!" teriakku sekuat tenaga, suaraku pecah di tengah kekacauan.

Mata Reina tertutup sejenak, tubuhnya membeku dalam hitungan sepersekian detik. Belati yang berkilat itu meluncur dengan cepat menuju sasarannya.

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang