Bab 106: Dalam Kegelapan

4 2 0
                                    

Suara samar menggema di balik tirai kegelapan yang pekat.

"Tuan Putri, kita tidak bisa membiarkan ini terus terjadi lagi. Lain kali, mohon jangan pergi tanpa pengawalan."

Nada suara itu dipenuhi rasa cemas dan penyesalan. Tapi bagi kesadaranku yang seperti terapung di lautan tanpa dasar, suara itu hanya menjadi gema jauh yang perlahan memudar. Aku tak dapat merespons, tak dapat bergerak, bahkan tak dapat membuka mataku. Hanya kesunyian dan gelap yang menjadi selimut abadi.

Kegelapan ini dingin dan mencekik. Seolah-olah kesadaranku ditarik semakin dalam ke jurang yang tak berujung. Namun, di tengah kehampaan itu, ada kilatan cahaya kecil, seperti serpihan kaca yang memantulkan sinar dari dunia nyata.

Bayangan samar muncul di hadapanku. Sosok seorang anak kecil berdiri di tengah lingkaran orang-orang yang lebih besar darinya. Tubuh mungil itu gemetar, kepalanya tertunduk dalam-dalam seolah mencoba bersembunyi dari dunia.

Aku mengenali anak itu.

Rambut hitam legamnya jatuh tak beraturan, hampir menutupi matanya yang heterokromia—mata kanan merah menyala seperti bara api, sementara mata kirinya biru gelap, sedalam lautan malam.

Suara ejekan dan tawa kasar menggema di sekitarnya.

"Esper yang jatuh! Tidak berguna! Kau adalah aib keluarga!"

Sakit itu datang lagi, menusuk lebih dalam dari luka di perutku. Aku melihat diriku sendiri, versi kecil dari Savil yang dulu, berdiri di tengah bayangan gelap masa lalu yang selalu menghantuiku.

Aku ingin mengulurkan tangan, ingin meraih sosok kecil itu dan membawanya pergi dari lingkaran kegelapan ini. Tapi kakiku terpaku, tubuhku terkunci di tempat. Kegelapan di sekitarku bergerak, melingkar seperti ular besar yang siap menelan segalanya.

Kenangan ini ... Esperheim ... pikirku.

Rasa benci itu kembali merayap dalam diriku. Planet itu, rumah yang seharusnya menjadi tempatku berlindung, malah menjadi panggung penghinaan yang tiada akhir. Di tempat itu, aku hanya dilihat sebagai kutukan, bukan anak dari keluarga bangsawan esper ternama. Tidak ada yang benar-benar melihatku sebagai pribadi.

Aku mulai tenggelam dalam pusaran amarah dan kebencian itu, tetapi sesuatu—atau seseorang—menghentikannya.

Suara lain memecah keheningan.

"Ini sudah hampir sebulan. Apa dia akan baik-baik saja?"

Suara itu lembut, tetapi penuh dengan kekhawatiran yang menusuk jauh ke dalam kesadaranku.

Reina ...

Bayangan lain muncul di depanku, menggantikan masa lalu kelam itu. Reina berdiri di tengah kegelapan, wajahnya samar, tetapi jelas di ingatanku. Reina yang memintaku untuk tidak menyerah pada Esperheim, Reina yang bersikeras mengingatkanku tentang kampung halaman yang terus kutolak.

Sosoknya seolah menyala dalam ingatan itu. Reina dengan kerudungnya yang berayun lembut. Aku ingat dia selalu memalingkan wajah setiap kali pandangan kami bertemu. Saat itu, kukira dia membenci karena rambut hitamku.

Rambut hitam.

Kenangan terakhir sebelum kesadaranku hilang kembali berputar. Reina yang berlari ke arahku dengan wajah panik, dengan rambut hitamnya yang tersibak sedikit dari balik kerudungnya. Sekilas, aku melihat helaian itu berkilauan di bawah cahaya redup, seakan mengungkap rahasia yang selama ini tersembunyi.

Kegelapan mulai merenggang, sedikit demi sedikit cahaya menerobos masuk, meski masih lemah dan bergetar.

Sebuah pertanyaan melayang dalam pikiranku, menggema di setiap sudut kesadaran yang mulai kembali.

Reina, kenapa kau masih mencintai Esperheim?

Dan di tengah kegelapan yang mulai pudar itu, aku terus bertanya-tanya, mencoba memahami jawaban yang mungkin belum pernah kucari sebelumnya.

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang