Dentuman ledakan di belakang kami masih terasa di dada, sementara suara dengung tajam dari baling-baling drone memenuhi udara. Percikan listrik dari sisa-sisa ledakan masih melayang, berkilauan di antara kepulan asap hitam.
Aku berlari cepat di antara reruntuhan jalanan yang retak akibat ledakan, Reina berlari di sebelahku. Napas kami memburu, kaki melangkah cepat menghindari sinar merah yang berkelebat dari drone-drone di udara.
"Ke kiri!" seruku.
Reina melompat bersama denganku, dan tepat di belakang kami, sebuah proyektil kecil menghantam trotoar, meninggalkan kawah kecil berasap.
"Berapa banyak mereka punya drone seperti ini?!" seru Reina dengan wajah frustrasi.
"Cukup untuk memastikan kita jadi abu kalau lengah," jawabku singkat.
Di kejauhan, Bintang dan Ainun berlindung di balik sebuah tabir transparan yang terlihat seperti lapisan energi berbentuk kubah. Alat itu pasti ciptaan Bintang—perangkat pertahanan taktis yang hanya dapat dia operasikan. Ainun berdiri di sisi Bintang, tangannya terangkat ke udara. Udara di sekitar tubuhnya bergetar, seolah gravitasi itu sendiri tunduk padanya.
Dengan satu gerakan tegas, Ainun menarik gravitasi di bawah salah satu drone. Suara besi berderit memenuhi udara sebelum drone itu jatuh bebas seperti batu besar yang kehilangan daya apung. Drone tersebut menghantam aspal dengan keras, hancur berantakan menjadi potongan logam yang memercikkan percikan listrik.
"Bagus, Ainun!" seru Bintang di balik tabir pelindung.
Namun, di atas balkon salah satu bangunan roboh, dua sosok berdiri dengan santai. Siluet mereka terlihat jelas meski tertutup bayangan malam yang mulai turun. Kedua pria bertopeng itu tampak tidak terganggu sama sekali oleh kerusakan yang kami timbulkan pada drone mereka.
"Hahaha! Lihat itu! Menarik sekali," kata salah satu dari mereka dengan suara berat, nyaris serak. "Kau lihat, kan? Laporan dari Alfons si Gila itu tidak salah. Rupanya, tuan putri kita sudah cukup berkembang."
Sosok di sebelahnya menepuk-nepuk pundak kawannya sambil tertawa kecil. "Ya, ya. Dia memang sangat potensial. Kita harus segera membawanya pergi sebelum pasukan keamanan Kota Dirgantara tiba di sini."
Tubuhku menegang. Mereka datang bukan hanya untuk menyerang kami, tetapi untuk menculik Ainun. Itu pengetahuan yang sama sekali tidak kusukai.
"Bagaimana dengan kedua esper yang bersama mereka? Bukannya esper itu bisa jadi objek penelitian yang bagus?" tanya salah satu dari mereka sambil menunjuk ke arahku dan Reina.
Kawannya tertawa kecil, nada suaranya mengejek. "Mereka berdua? Mereka hanyalah sepasang esper yang jatuh. Tidak ada gunanya. Esper yang jatuh itu tidak ada bedanya dengan manusia biasa. Eksperimen pada mereka hanya akan membuang-buang sumber daya."
Aku menegang. Sepasang esper yang jatuh?
Kata itu menusuk lebih dalam dibanding ejekan tentang statusku sebagai esper yang jatuh. Aku selalu mengira Reina adalah esper Elementalis, mungkin pengendali angin atau air, sesuai warna matanya. Rambutnya yang tertutup kerudung membuatku tak pernah mempertanyakan lebih jauh.
Apakah mereka hanya asal bicara? Atau ... apakah benar Reina sama sepertiku?
"Reina, tenang," kataku, mencoba meredam emosinya meskipun pikiranku sendiri berputar dengan tanda tanya.
"TIDAK! Aku tidak akan tenang setelah mendengar itu!" bentaknya.
Dari balik tabir energi, Ainun melirik kami dengan pandangan khawatir. Bahkan Bintang yang biasanya santai pun terlihat serius.
"Apa kau pikir kami tidak berguna?!" lanjut Reina, matanya menatap tajam ke arah dua pria bertopeng itu.
Pria bertopeng yang pertama tertawa kecil, nada suaranya penuh penghinaan. "Lihat, kawanku, dia marah. Padahal kenyataannya tidak akan berubah. Kalian berdua hanyalah sisa dari kegagalan ras esper."
Aku menahan lengan Reina sebelum ia benar-benar melangkah maju. Bukan karena aku takut padanya, tetapi karena aku tahu ini bukan waktunya.
"Ini bukan waktunya untuk terpancing emosi," bisikku tajam.
Reina memelototiku, tetapi ia tetap diam di tempatnya. Sementara itu, di balik tabir energi, Ainun mengangkat satu tangan lagi, bersiap untuk bertindak. Wajahnya penuh konsentrasi, sementara Bintang menatap layar kontrol di tangannya.
Ketegangan di udara semakin menebal. Drone baru mulai bermunculan di atas kami, cahaya merah mereka berkedip seperti bintang yang mematikan.
Aku mencoba memproses informasi itu di tengah situasi genting ini. Esper yang jatuh? Reina?
Salah satu pria bertopeng itu mengangkat tangannya ke udara, seolah memberi aba-aba.
"Cukup bermain-main. Bawa tuan putri sekarang."
Aku dan Reina sama-sama menegang. Waktu seakan berhenti sejenak.
Lalu, mereka bergerak.
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...