Tatapan itu membuatku tak nyaman.
Reina berdiri di dekat pintu dengan kedua tangannya mencengkeram erat di sisi tubuhnya. Matanya yang heterokromia, biru muda dan biru tua, menatapku dengan intensitas yang jarang kulihat sebelumnya. Ada kecemasan di sana, tetapi juga sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih dalam, lebih pribadi. Aku ingin bertanya, ingin memecahkan kebingungan ini, tapi tubuhku terlalu lemah untuk melakukan lebih dari sekadar menarik napas panjang.
"Kau ... akhirnya sadar ..." suaranya nyaris bergetar, namun ia buru-buru meredam emosi yang hampir meluap.
Aku hanya bisa mengangguk lemah sebagai jawaban. Kenapa dia terlihat begitu peduli? Sejauh yang kutahu, Reina selalu menjaga jarak denganku. Kami hanya bekerja sama saat diperlukan, seperti di SIV atau saat penelitian dengan Ainun. Tapi sekarang? Raut wajahnya seolah berkata lain.
Sebelum aku sempat membuka mulut, dokter yang tadi memeriksa keadaanku mendekat dengan langkah tenang sambil memeriksa alat monitor di samping ranjangku. Tangannya cekatan memeriksa infus dan tekanan darahku, memastikan semua dalam kondisi stabil.
"Staminamu sudah mulai pulih, Tuan Ghenius," ujar dokter itu dengan suara dalam dan tenang. "Tapi kondisimu belum sepenuhnya stabil. Tubuhmu masih sangat rapuh. Jangan memaksakan diri untuk bangun terlalu cepat atau bergerak berlebihan. Proses pemulihan ini tidak hanya tentang fisikmu, tapi juga mentalmu. Kau harus belajar menerima bahwa tubuhmu butuh waktu untuk pulih sepenuhnya."
Aku menelan ludah mendengar penjelasan itu, merasakan kembali nyeri samar di perutku meskipun rasa sakitnya sudah diredam oleh obat-obatan.
Dokter menatap Reina sejenak sebelum melanjutkan, "Nona Bajra, pastikan pasien tidak terlalu lelah. Jangan biarkan dia banyak bergerak untuk sementara waktu. Proses pemulihannya memerlukan waktu dan perhatian ekstra."
Reina mengangguk patuh. "Baik, Dokter. Saya akan memastikan itu."
Dokter tersenyum tipis dan menepuk bahu Reina pelan sebelum berbalik menuju pintu. Sebelum keluar, dia menambahkan, "Jika ada perubahan kondisi, segera hubungi tim medis. Kami akan berjaga di luar."
Pintu tertutup perlahan, meninggalkan aku dan Reina dalam kesunyian yang canggung. Suara detak monitor medis menjadi satu-satunya irama yang terdengar di ruangan ini. Reina masih berdiri di tempatnya, seperti tengah menimbang-nimbang sesuatu di dalam pikirannya. Aku memalingkan wajah, menatap langit-langit putih bersih yang terasa begitu asing.
Detik demi detik berlalu dalam keheningan. Aku bisa merasakan udara di antara kami begitu tebal dengan ketegangan yang tak terucap. Reina menggigit bibir bawahnya, sebelum akhirnya melangkah mendekat, menarik kursi dan duduk di samping ranjangku.
Tangannya meremas ujung kerudung dengan gelisah, seakan mencari keberanian untuk bicara. Aku tetap diam, membiarkannya mengumpulkan kata-kata yang ingin ia sampaikan.
"Selama kau koma, aku dan Ainun tetap melanjutkan penelitian kita." Reina memulai, suaranya lebih stabil sekarang. "Saat pemeriksaan di hari itu, kami menemukan beberapa hal yang ... cukup mengejutkan."
Aku menatapnya dengan pandangan bertanya. Reina menunduk sejenak, lalu menatapku dengan sorot mata yang sulit diartikan.
"Penelitian kami tentang DNA esper membawa kami pada temuan yang tidak biasa. Ainun dan aku mengambil sampel dari kita bertiga—aku, dia, dan kau. Kami ingin memahami lebih dalam tentang perbedaan antara esper biasa dan ... apa yang disebut sebagai esper yang jatuh."
Jantungku berdegup lebih kencang. Aku tahu ke mana arah ini akan menuju.
"Dan?" tanyaku pelan.
Reina membuka mulutnya, tapi sebelum kata-kata keluar, suara langkah kaki terdengar di luar ruangan. Pintu ruangan tiba-tiba terbuka dengan perlahan. Sosok Surya Alam Burlian berdiri di ambang pintu dengan aura tegasnya yang biasa. Mata tajamnya memindai ruangan sebelum akhirnya tertuju padaku.
"Selamat datang kembali di dunia, Savil Ghenius."
Suaranya tenang, tetapi setiap kata membawa bobot yang tak terbantahkan. Aku bertukar pandang dengan Reina, yang segera berdiri dari kursinya, memberi hormat pada Adipati Muda Burlian.
Surya Alam Burlian melangkah masuk dengan elegan, menutup pintu di belakangnya tanpa suara. Dia tidak membawa senyum, hanya sorot mata yang tajam dan penuh rahasia.
"Kita punya banyak hal yang harus dibicarakan."
Ruangan itu kembali sunyi. Hanya suara detak mesin medis yang terdengar, seolah menghitung mundur menuju kebenaran yang akan segera terungkap.
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...