Octagon 3 - 270 : Peringatan Pt. 10

245 30 48
                                    

Sebenarnya agak malu untuk menemuinya, namun Seonghwa tak menyangka bahwa sejak menjemputnya, Suzy terus bertanya hal yang memperlihatkan bahwa ia menghawatirkannya. Padahal seharusnya, Seonghwa yang khawatir terhadap Suzy, lantaran, ini semua baru satu bulan lamanya, berselang dari kematian adiknya.

Pasti berat, Seonghwa memikirkannya.

Walau, ya, memang, Seonghwa tak tahu bagaimana cara menyampaikan bahwa ia juga turut berduka atas kematian dari Soobin.

Saat itu Seonghwa diperkenalkan terhadap beberapa orang yang memang berada di sana; menjadi bagian dari orang-orang yang juga membutuhkan ketenangan. Bagian dari sebuah perkumpulan, untuk sesi setiap hari Sabtu adanya, di mana tentunya mereka juga hidup dalam tekanan dari masalah dan beban masing-masing.

Seonghwa dijelaskan oleh Suzy, bahwa setiap sesi siang ini, mereka diminta untuk menyampaikan perasaan tanpa ada yang menghakimi. Jika membutuhkan pengakuan dosa lanjutan, bisa hubungi ke pihak gereja yang berada di sana. Jadi semula, Seonghwa mencoba untuk menenangkan dirinya, dengan menarik napas panjang. Mungkin, mungkin ini semua dapat membantunya.

Karena jika tidak, Seonghwa tak tahu harus selama apa ia tenggelam dalam perasaan menyiksa seperti ini.

.

.

.

"Apa San terlambat, Kak Om?"

Segera, San mendudukkan dirinya di hadapan Hajoon, yang menjawab pertanyaannya dalam gelengan. San pun tersenyum senang, dapat melihatnya kembali, lalu mengangguk. Terlebih ketika tak sengaja ia melihat kondisi tangan darinya, membuatnya bertanya sekalian.

"Gimana tangannya, Kak Om? Hehe, mantan penderita patah tulang, nih, San lebih senior."

"Kamu tampak bahagia sekali?" tanya Hajoon, sedikit mengernyit, sebelum melirik tangan kirinya. "Tapi, ya, tangan saya baik. Masih bisa mengemudi juga, selama tak terlihat polisi lalu lintas."

"Bahaya sih, Kak Om." kekeh San, lalu memperhatikan sekelilingnya. "San baru pertama kali ke sini. Ada makanan enak apa di sini, Kak Om? Kita makan siang dulu dan--"

Hajoon yang tersenyum itu tiba-tiba memotongnya. "Boleh, Desan. Tapi sebelumnya, saya punya satu hal untuk dibicarakan pada kamu. Penting. Dan saya pikir, jika saya menunda satu hari saja, saya akan terlambat adanya."

"Terlambat?" San mengernyit dalam kebingungan. "Maksudnya, Kak Om? Konteksnya tentang apa, ya?"

Terlihat bahwa Hajoon sendiri agak ragu, namun pada akhirnya, ia meraih sesuatu dari kursi sampingnya. Yang sejak kedatangan San pun, ia tak menyadarinya, karena hanya berupa sebuah map berwarna coklat.

Hajoon memberikan map tersebut pada San.

Di mana San menerimanya secara tak mengerti. San menatap ke arah Hajoon yang mengangguk, mempersilahkannya untuk mengecek isinya. Sehingga San pun melakukannya kemudian.

Tiga lembar kertas ditarik keluar, tampaknya sangat formal.

San tak perlu melihat dua di belakang, karena sepertinya yang paling depan sudah mampu menjawabnya.

"Surat... adopsi?"

Hajoon tampak menahan napasnya.

Sedangkan San mulai membaca lampirannya, membenarkan apa yang ia sudah baca, untuk melihat detailnya.

Surat permohonan menjadi orang tua... pengganti?

San tak bisa mengontrol ekspresinya, ketika membaca satu per satu kalimat yang berada di sana. San dalam kebingungan nyata, sedangkan Hajoon diam dengan ketegangannya. "Kak Om... ini... maksudnya apa? Ini untuk... Kak Om adopsi..."

✔️ OCTAGON 3: THE INNER CIRCLE PT. 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang