78 • Terkejut

9 1 0
                                    

"Ya elaah, tenang. Gue ngga keberatan buat jawab kok. Tadikan gue bilang, gue juga bersyukur alasannya karena bisa bertahan selama tiga tahun di sekolah ini dengan cara meninggikan dan mengkonsistenkan nilai, salah satu alasannya supaya bisa mempertahankan beasiswa. Semoga kalau keterima di perguruan tinggi beserta beasiswa lagi, gue bisa ngelakuin hal yang sama. Prinsip gue, walaupun uang pribadi ngga bisa membantu proses pendidikan secara 100%, maka gue mau menggunakan akal atau kecerdasan yang ikut berperan aktif dalam keberlangsungan belajar, ngga lupa dibantu sama do'a dan dukungan dari orangtua"

"BENER-BENER HEBAT. Ini mah definisi berdamai dengan keadaan tanpa harus menyalahkan serta membenci takdir Tuhan"

"Pokoknya lo, Abaz Malik merupakan salah satu temen gue yang kuat. Ustazah Humairah selaku guru ngaji gue pernah bilang, kalau Allah ngga mungkin kasih ujian di luar batas kemampuan hambaNya. Lo hebat, lo dipilih sama Allah buat ngejalanin suatu ujian yang bahkan ngga semua teman sebaya bisa rasain"

"Makasih, Rose ... Tiara ..."

Tieeshara dan Rose ingin sekali mengetahui jawaban dari Baaqir, namun daripada hanya penyesalan yang kembali didapat, lebih baik diam mengurungkan niat untuk bertanya

Abaz yang melihat mimik wajah Tieeshara dan Rose, seketika langsung menyenggol pergelangan tangan Baaqir. "Lo jawab dong Baaqir, kali aja Tiara sama Rose mau tau, biar bisa berbagi cerita jugakan?"

"Lo lupa kalau gue lagi sariawan?" elak Baaqir

Abaz tertawa terbahak-bahak, "Oh, iyaaa. Maaap-maaappp gue lupa"

"Lo aja yang wakilin. Gue buat makan aja susah, apalagi diminta buat ngomong"

"Lah ini lo ngomong?" goda Abaz yang dibalas desisan kecil oleh Baaqir

"Jadi nih ya, Tiara, Rose ... Kalau Baaqir itu udah duluan berhasil lolos seleksi ujian di perguruan tinggi yang ada di luar negeri, itu loh salah satu negara yang kental dengan sejarah dan ajaran Islam, makanya kampus yang dipilih Baaqir juga kampus yang bernuansa islami"

"Wiihh, kereeen!" puji Tieeshara. "Selamat, Baaqir. Gue baru tau loh"

"Selamaattt. Oh ya, kenapa pilih kampus tersebut? Kenapa ngga pilih kampus yang biasa dipilih sama alumni? Yaa supaya bisa sharing pengalaman aja si. Setau gua dari guru-guru katanya banyak juga kok yang ngelanjutin perguruan tinggi ke luar negeri"

"Yaah elah, Rose. Pake nanya"

Rose tertawa kikuk. "Oh, iya-iya. Baru inget"

"Maksud kalian apa nih?"

"Eh, ngga. Maksudnya, lo itukan religius banget. Jadi ngga heran kalau pilih lembaga pendidikan atau dalam hal ini merupakan kampus yang beda dari yang lain. Ngga papa kok, setiap orangkan punya pilihan masing-masing apalagi buat nentuin masa depan. Termasuk pilihan Tiara untuk menghafal Al-Qur'an lebih dulu"

"Tadi lo bilang, alasan gue pilih lembaga pendidikan (kampus) tersebut karena gue religius? Eum ... Ngga juga. Kalau alasannya itu, kenapa gue ngga pilih sekolah bernuansa keagamaan juga?

Abaz menggaruknya kepala. "Yaa ... Ngga taulah. Terus apa alasannya?"

"Alasannya karena atas dasar permintaan Abang gue. Selagi ngga keberatan, yaa ngga papa gue coba daftar aja, eh Alhamdulillah keterima, tapi tetep dengan jurusan yang gue tekuni untuk meminimalisir adanya kesulitan. Aw—" rintih Baaqir merasakan sensasi sakitnya sariawan

"Oh, ya. Baaqir ... Makasih"

"Hah? Makasih? Makasih untuk apa?"

"Ini agak melenceng dari topik pembahasan kita si." Tieeshara mengeluarkan secarik kertas yang tersimpan di balik casing ponsel. "Gue masih simpen kertas ini. Sebentar lagi kita, eum ... Dalam hal ini gue udah mau lulus sekolah, selama temen deket pada ngejauh, isi kertas ini jadi pegangan buat diri sendiri udah tetep bertahan"

TIEESHARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang