"Mau kapan mulai pindahnya?"
"Kak Dio setujuuu?"
"Iya-iya"
"Kak Hiro, Kak Dio, sama Kak Radit anterin sampe ke tangan yang bersangkutan untuk memastikan kalau Tiara tetep aman," pinta Lazhirovan yang disetujui oleh Dion dan Raditya
"Tanpa dianterin juga ngga papa si, waktu itu Mama, Papah, sama kalian udah dateng ke rumah pribadi Ustadz Hadi dan Ustadzah Humairah untuk nitipin Tiara"
"Beda. Waktu itu cuma nitipin untuk menghafal Al-Qur'an, sekarang ditambah nitipin untuk tinggal di sana dalam sementara waktu"
***
"Ustadz, ustadzah, beserta para pengurus yayasan pondok pesantren, kami selaku pihak dari keluarga sudah memberikan kepercayaan secara penuh untuk menitipkan atau mengamanahkan Tiara kepada kalian agar dapat menyetorkan hingga menghatamkan Al-Qur'an, kali ini bukan hanya sekedar pulang pergi, melainkan juga tinggal hingga tujuan tercapai"
"Dengan begitu, kami juga meminta tolong yang sebesar-besarnya kepada kalian untuk memberikan penjagaan yang ketat agar Adik kami dapat aman. Jika hal tersebut sampai dilanggar, kami ngga akan segan-segan untuk meminta pertanggung jawaban bahkan hingga melaporkan kepada pihak yang berwenang. Saya sangat mengetahui dan meyakini bahwa Allah adalah sebaik-baik penjagaan, namun bukankah kita sebagai manusia juga harus mengikhtiarkan?" ucap Dion menyambung perkataan Lazhirovan yang membuat mata Tieeshara terbelalak
"Satu lagi, saya boleh meminta tolong mengenai hal lain kepada kalian?" tanya Dion kepada Hadi dan Humairah selaku pemimpin dan para pengurus yayasan yang berada di hadapan Lazhirovan, Dion, Raditya, dan Tieeshara
"Mengenai apa?"
"Saya meminta tolong untuk mengumpulkan seluruh santri di lapangan, sekarang"
"Maaf, Nak Dio. Jika boleh tau, tujuan dari permintaan anta untuk apa, ya?"
"Ada yang ingin saya sampaikan kepada mereka"
Hadi mengumumkan kepada seluruh santri untuk segera berkumpul di lapangan, tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mendapat pemandangan santri yang telah berbaris
"Assalamu'alaikum.Wr.Wb. Mungkin sebelumnya saya pernah berdiri di hadapan kalian untuk memberi sambutan, jadi apakah masih ada yang mengingat nama saya?"
"Akhi Dio ganteeenggg," teriak salah seorang santriwati
Dion terkekeh. "Betul. Barangkali ada yang lupa, maka izinkan saya untuk kembali memperkenalkan diri. Saya Dion Zylanza Al Musawa atau biasa dipanggil dengan sebutan Dio. Saya merupakan Kakak keduanya Tieeshara Kianna Tusalwa (Tiara). Saya sangat memohon maaf jikalau kehadiran saya di atas podium dapat membuat kalian menjadi menyita waktu berharga. Tanpa berlama-lama, saya hanya ingin mengumumkan bahwa Adik saya, Tiara, akan bergabung bersama dengan kalian untuk tinggal beberapa saat di pondok pesantren ini hingga menghatamkan Al-Qur'an. Di hidup saya, beliau merupakan salah satu perempuan yang sangat berharga bak mutiara, maka dari itu saya sangat tidak ingin jika sesuatu buruk menimpanya. Tolong temani dia, jangan pernah ada yang berniat untuk menyakiti, terutama kepada pihak laki-laki, kalian para laki-laki, jangan pernah ada yang berani untuk menyentuh walau hanya dari seujung kuku. Jika ada salah satu di antara kalian yang berani berbuat semena-mena, maka saya bersumpah akan memberikan sanksi. Namun jika justru malah sebaliknya, yakni beliau yang menyakiti, kalian bisa segera memberitahukan kepada para pemimpin beserta pengurus, insyaallah saya beserta saudara yang lain juga akan membantu untuk mengurus"
Hati Tieeshara terenyuh dan matanya mulai mengeluarkan benih-benih butiran kristal. Rela mengumpulkan para santri di lapangan cuma untuk Tiara, sebegitu takutnya kalau sampe kenapa-kenapa, batinnya
Bagi Tieeshara, di hari pertama untuk menginap di asrama, rasanya cukup bercampur aduk. Senang, terharu, sedih juga jika harus meninggalkan rumah, lebih tepatnya isi beserta anggota keluarga
Di setiap satu ruang kamar terdapat empat buah ranjang, Tieeshara mendapatkan bagian ranjang di pojok sisi kanan bertepatan dengan di sebelah jendela
Tieeshara menutup kitab suci Al-Qur'an, menaruh di laci, kemudian naik ke atas kasur. Ia menyenderkan kepala ke dinding sebelah jendela
"Tiara," panggil salah satu teman sekamar yang posisi ranjangnya tepat di samping Tieeshara
"Ya?"
"Kangen orang rumah, ya?"
"Ehem"
"Ngga papa, wajar kok. Awal-awal pas aku dateng ke sini juga ngerasain hal yang sama kayak kamu"
Tieeshara menarik tubuh ke depan karena mulai tertarik dengan obrolan. "Kalau lo sejak kapan dateng ke sini?"
"Eum ..." terlihat orang tersebut sedang menatap ke arah dinding-dinding langit. "Satu tahun yang lalu. Di pondok pesantren inikan terdapat beberapa jenjang yang tersedia. Mulai dari jenjang pra-tahsin, dimana jenjang tersebut adalah jenjang yang diperuntukkan bagi para santri yang belum mampu membaca Al-Qur'an dengan pembelajaran tajwid yang paling dasar; kemudian jenjang tahsin, kalau jenjang ini adalah jenjang yang diperuntukkan bagi para santri yang sudah mampu, tapi masih terdapat kesalahan, entah itu kesalahan besar, kecil, dan pembelajaran tajwid untuk ke tahap selanjutnya; dan yang terakhir merupakan jenjang tahfidz, nah jenjang yang terakhir ini adalah janjang yang diperuntukkan bagi para santri yang udah lulus ke kedua jenjang yang udah aku sebutkan sebelumnya, tinggal menghafal dan menghatamkan aja deh. Qadarallah aku masuk ke pondok ini dimulai dari jenjang paling dasar, yakni jenjang pra-tahsin. Kalau kamu?"
"Gue masuk ke pondok ini karena ketidaksengajaan, yaa intinya ngga seniat lo. Mulai dari ketidaksengajaan itulah pada akhirnya gue mau kembali belajar Al-Qur'an, gue ngga awam-awam banget soal pembelajaran tajwid dasar soalnya dulu pas SMP pernah belajar agama di sekolah yang membahas mengenai ini, jadi pas ngaji di sini tinggal mengulang lagi. Ustadzah Humairah bilang, gue tinggal kembali mengingat dan mengupgrade ke level tajwid lainnya dengan cara ngaji sore, jadi pulang pergi, terus memantapkan untuk tinggal di asrama baru sekarang-sekarang ini"
"Masyaallah"
"Gimana testimoni lo selama satu tahun mondok di sini?"
"Alhamdulillah betaahhh. Berhubung yang santriwati cuma diajar sama ustadzah-ustadzah, jadi ustadzah di sini baik-baik banget, tentunya dengan karakter yang beda-beda. Ngga ada Kakak tinggat yang sok senioritas, justru mereka mengayomi banget apalagi untuk aku yang pada saat itu masih kegolong baru, yaa sekarang juga belum lama-lama banget si, masih satu tahun. Dan ..." orang tersebut menggantungkan ucapan seraya menunduk dan tersenyum
Tieeshara menaikkan salah satu alis. "Dan ... apa?" tanya Tieeshara penasaran
"Kak Haqqon"
"Kenapa sama dia?"
"Ah ngga kok"
"Lo suka?" terka Tieeshara
KAMU SEDANG MEMBACA
TIEESHARA
Teen FictionAku telah kehilangan cahaya bintang dari seorang laki-laki bernama Starlight. Ah tidak, bagaimana bisa aku merasa kehilangan? Memilikinya saja tidak pernah, namun apakah kehilangan hanya mengenai pasangan? Lantas bagaimana walau hanya sekedar bertem...