13

4.1K 81 0
                                    

Plakkk

Tamparan keras mendarat pada pipi Yudanta saat kakeknya berdiri di hadapannya. Bukan hanya itu, dengan kasar Kakek Yudanta memukul perut cucunya sangat keras.

Yudanta tetap tidak ingin melepaskan genggamannya pada Dara. Dia hanya ingin membuktikan apa yang Dara mau.

"Kakek bisa menghajarku sepuas Kakek mau. Asal tidak di hadapannya. Tidak hanya sekali Kakek ingin menghabisiku, jadi percuma saja Kakek tetap akan gagal," ujar Yudanta.

"Jaga bicaramu itu. Kau itu sama seperti ayahmu. Pembangkang!" Tegas Kaito Ziman, pria keturunan Jepang itu adalah Kakek Yudanta.

"Benar juga. Ayah mati ditangamu. Apa aku juga akan seperti itu? Tidak! Aku akan melakukan apa yang ingin aku lakukan tanpa Kakek mengaturku. Ini hidupku, aku lakukan tugasku, Kakek berikan apa yang menjadi kemauanku. Akui dia bagian keluarga ini karena dia tunanganku. Mau ataupun tidak, aku tidak peduli. Dialah calon istriku, bukan wanita itu!"

"Kau hanya akan menghancurkan bisnisku saat kau menolaknya!" tegas Kaito. Dia tampak marah, tapi masih bisa dia tahan.

"Aku tidak peduli. Sebaiknya aku mengantarkannya pulang. Urusan Kakek denganku, saat anak buah Kakek menyentuhnya sedikitpun, aku pastikan apa yang sudah Kakek rencanakan gagal." Setelahnya Yudanta berjalan pergi meninggalkan Kaito yang tampak menahan marah.

"Kau tidak bisa pergi saat kau sudah datang." Orang kepercayaan Kaito menghentikan Yudanta yang akan pergi.

"Biarkan aku pergi bersamanya, nanti saja kau bisa menghajarku, sepuas yang kau mau," ujar Yudanta, dia tidak memperdulikan apa yang orang itu katakan.

"Tidak semudah itu." Orang itu mengambil kunci motor milik Yudanta dan melemparnya asal. Dia mengajak Yudanta berkelahi. Pria di hadapan Yudanta adalah anak angkat kakeknya, dan juga orang kepercayaan dari kakeknya.

"Bisa kau tutup matamu. Jangan buka sampai aku bilang buka, walau kau mendengar apapun, kau tidak boleh membuka matamu." Yudanta menutup mata Dara dengan tangannya, tidak ingin membuat Dara semakin takut dengan apa yang akan dia lihat.

"Ayolah, dia bukan anak kecil yang harus menutup mata untuk melihat aku menghajarmu." Hal yang selalu Yudanta dapatkan dari kakeknya menjadi target sasarannya. Seperti luka di bahunya waktu itu, itu Yudanta dapatkan dari kakeknya juga.

"Aku ...," ucap Dara dengan suara bergetar ketakutan.

"Percaya padaku untuk kali ini. Sebentar saja." Di rasa Dara sudah menutup matanya erat, Yudanta berjalan ke orang kepercayaan Kaito dan langsung mendapatkan tendangan darinya, membuat Yudanta tersungkur saat belum siap menerima perlawanan darinya.

"Pukuli aku sepuasmu. Aku tidak akan melawannya, tapi setelahnya biarkan aku pergi bersamanya," tutur Yudanta. Percuma saja dia melawan, karena dia hanya seorang diri di sana, dengan beberapa anak buah Kaito.

Orang itu langsung melakukan apa yang Yudanta mau. Dia memukuli Yudanta tanpa perlawanan sedikitpun. Dia bisa saja melawan, tapi itu akan percuma untuknya. Dari beberapa meter tempat Yudanta, dia melihat Dara yang masih memejamkan matanya. Gadis yang berdiri di sana, yang ingin dilindungi oleh Yudanta. Hanya Dara yang ada dalam hati dan pikirnya.

"Tidak asyik saat menghajarmu tanpa perlawanan, tapi seru juga saat kau tunduk karena seorang wanita. Kau membuang harga dirimu untuknya. Yudanta yang kukenal bukan pria yang seperti itu, tapi lihatlah sekarang. Kau menjadi budak wanita. Kita itu bekerja untuk membunuh orang bukan malah tunduk dengan perasaanmu," jelasnya pada Yudanta yang sudah tampak tidak sanggup lagi berdiri. Wajahnya sudah babak belur karena orang itu menghajarnya tanpa ampun.

"Kau hancur karena seorang wanita," imbuhnya.

Yudanta tertawa mendengarnya. Dia tidak menyesal dengan apa yang menjadi pilihannya. Dia melakukan ini karena cintanya pada Darapuspita.

Perlahan Yudanta berdiri tanpa ada yang membantu. Dia segera berjalan ke tempat Dara yang masih menutup mata. Dia segera mengenakan helmet agar Dara tidak khawatir dengan kondisinya. Dia menuntun Dara agar dekat dengan motornya.

"Buka matamu sekarang, kita pulang," ujar Yudanta. Dia sudah berada di atas motornya. Dan meminta Dara untuk segera naik juga.

"Apa kau terluka?" tanya Dara.

"Cepat naik, sebelum dia berubah pikiran." Dara menatap orang di belakang mereka. Dia tersenyum sinis menatapnya.

Dengan tubuh yang terasa begitu remuk, Yudanta tetap ingin keluar dari rumah kakeknya. Dia tidak ingin hal gila yang lain Dara lihat. Kaito bukan orang yang akan memberi ampun, walau itu cucunya.

Perjalanan pulang, Yudanta menghentikan motornya saat dia memuntahkan darah dari mulutnya. Di langsung membuka helmet sebelum darah itu dia mengotori helmetnya dan memuntahkan ke samping dengan posisi tetap di atas motor.

"Apa yang terjadi?" tanya Dara khawatir. Dia terkejut saat melihat Yudanta memuntahkan darah itu.

"Aku tidak apa-apa." Yudanta masih berusaha untuk tenang walau tubuhnya sedang tidak baik.

"Kau bilang itu tidak apa-apa. Ya Tuhan!" Dara terkejut saat turun dari motor dan melihat wajah Yudanta yang babak belur.

"Sekarang kau percaya dengan apa yang aku katakan? Apa kau masih butuh pembuktian kalau aku benar mencintaimu," ucap Yudanta.

"Aku tidak sedang membahas itu. Lihatlah, dirimu. Kau babak belur karena orang tadi?" tanya Dara.

"Ya, sebaiknya kita pulang. Aku jelaskan di rumah," jawab Yudanta.

"Dengan kondisi seperti ini? Tidak! Aku tidak mau kau--"

"Menurutiku kali ini sudah membantuku. Ini tidak akan membunuhku," sahut Yudanta. Dia tidak membiarkan Dara melanjutkan ucapannya.

Mau tidak mau, Dara menuruti kemauan Yudanta. Dia kembali naik ke motor dan segera melajukan motornya dengan kecepatan penuh. Dia hanya ingin segera membaringkan tubuhnya. Orang tadi tidak memberinya ampun, padahal Yudanta tidak melawannya.

***

"Kau hanya ingin membunuh dirimu dengan datang pada Kakekmu saat dia ingin kau menikahi wanita pilihannya," ucap Brian saat dia membantu Yudanta berjalan ke kamarnya.

Sesampainya di rumah, Brian dan Kale sudah menunggu Yudanta yang mereka tau apa yang akan terjadi pada teman dan juga bosnya itu.

"Sudahlah, apa kau akan terus memarahiku?" Yudanta tidak ingin Brian semakin menceritakan apa yang menjadi alasan Kaito bersikap seperti ini pada cucunya.

"Apa kau tidak percaya sekarang? Kau lihat, dia sungguh-sungguh padamu. Kau terus saja bersikap kau korbannya saat Yuda melindungimu. Dia membuang harga dirinya untukmu, harusnya kau itu sadar, bukan malah seenaknya sendiri," ujar Brian. Dia kesal pada Dara yang keras kepala. Bukannya dia berpikir sisi positifnya, Dara malah terus menyakiti Yudanta dengan sikapnya.

"Kau sudah seperti ibuku, marah-marah tanpa berhenti bicara," ucap Yudanta.

"Kalau saja kau ini bukan bosku, sudah aku pukul kepalamu itu," jawab Brian. Pria setenang Brian saja kesal dengan sikap Dara yang tidak sadar dengan kebenaran yang Yudanta berikan.

"Jika kau paham itu, bisakah kau diam saja. Kepalaku hampir pecah karena pria tolol itu," sahut Yudanta.

Dara hanya diam. Ada perasaan bersalah dalam hatinya. Kali ini dia benar-benar menyesal. Dia di bukakan mata agar melihat kebenaran yang Yudanta berikan.

"Maafkan aku," tutur Dara. Dia tertunduk menghentikan langkahnya.

Yudanta dan Brian yang berjalan di depannya, menghentikan langkahnya dan menatap Dara. "Aku bersalah padamu. Aku memberimu masalah, maafkan aku," ucap Dara lagi.

"Ini salahmu!" tegas Yudanta. Dia mendorong Brian yang menopang tubuhnya dan berjalan ke Dara yang hanya diam.

"Maafkan aku." Kembali Dara mengatakan kata maaf itu pada Yudanta yang ada di hadapannya.

Yudanta memeluk tubuh ringkih Dara langsung pecah tangisnya karena perasaan bersalahnya.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang