49

1.2K 45 2
                                    

Dara menatap suaminya yang sedang berbaring di sampingnya. Dia memainkan jemari Yudanta yang terlelap. Dia masih tidak percaya jika suaminya masih hidup. Sosok yang melindunginya kembali. Seperti mimpi, tapi ini bukan mimpi.

"Dar, ada yang mencarimu." Perlahan Anggun bicara saat Dara membuka sebagian pintu kamarnya setelah ketukan lirih dia dengar.

"Siapa?" Dara menutup pintu sebelum dia menjawab Anggun.

"Kakakmu datang. Apa dia tidur?" Dara mengangguk dan berjalan turun sebelum Juan membuat onar. Dia tidak mau mengganggu tidur Yudanta.

Di temani Anggun, Dara berjalan ke depan gerbang besar rumah Yudanta. Di saja sudah ada Kale yang menghalangi Juan untuk masuk.

"Dar, aku ingin bicara padamu, tapi mereka menghalangiku untuk datang. Aku mohon, biarkan aku masuk dan bicara," ucap Juan. Dia seperti sedang terdesak, entah apa yang terjadi tapi dia sangat panik.

"Apa yang ingin Kakak katakan? Kakak ingin mengejekku atas kematian suamiku, sebaiknya Kakak pergi."

"Tidak. Aku ingin bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan, tapi aku tidak mau jika harus menjadi kambing hitam bisnis Kakek suamimu itu. Dia menjebakku dan sekarang dia mau aku mengakui jika bisnis yang dia miliki adalah milikku. Tidak. Aku tidak mau itu, tolong aku Dar, biarkan aku selamat darinya," jelas Juan. Dia bahkan bersimpun di kaki Dara. Dia tidak ingin dipenjara karena menjadi kambing hitam.

"Apa peduliku. Ini yang Kakak buat, jadi nikmati hasil dari apa yang kau lakukan. Sebaiknya Kakak pergi dari sini, aku tidak bisa membantu," ucap Dara.

"Aku mohon, Dar. Aku mau mengakui kesalahan yang ku buat pada suamimu, tapi untuk membelaku agar aku tidak menjadi kambing hitam."

"Apa kau tidak dengar. Dia ingin kau pergi. Kau pikir mudah bermain dengan Kaito? Ini yang harus kau nikmati. Kehancuran dirimu atas apa yang tidak kau lakukan sendiri," tutur Brian.

"Dar, aku mohon. Aku hanya penasaran dengan kebenaran yang ingin aku cari. Saat aku masuk ke dalamnya, aku malah terjerumus itu. Ini bukti jika Bos Kaito mengakui jika orang tua kita ulah dia. Suamimu benar, bukan dia yang bersalah, tapi kakeknya." Juan menunjukan sebuah rekaman saat dia sedang bicara dengan Kaito membahas kematian orang tuanya.

"Jika kau memiliki bukti, laporkan saja langsung. Kenapa kau malah memintanya untuk melakukan hal yang jelas tidak akan dilakukan," sahut Kale.

"Ya kalau aku bisa hidup setelah ini, kalau tidak bagaimana? Apa salahnya aku bertemu dengan adikku dan memberikan bukti ini, jika dia bisa menyelamatkanku pun aku bersyukur," imbuh Juan.

"Pergilah Kak, aku tidak mau mencampuri urusan Kakak. Aku hanya ingin hidup aman sekarang. Biarkan kematian orang tua kita sebagai misteri, aku tidak mau keras kepala dan mencelakai orang lain," ujar Dara.

"Tapi kenapa kau tega padaku? Aku ini kakakmu. Aku berusaha mendapatkan bukti agar bisa tau alasan orang tua kita mati, kau malah seperti sekarang. Bersikap tidak peduli."

"Saat Kakak sudah terdesak seperti sekarang, Kakak baru sadar, aku yakin saat Kakak berhasil menyingkirkan Yuda, kau orang yang paling senang. Biarkan saja aku dianggap anak tidak diuntung, karena aku tidak mau lagi berurusan dan membuat orang yang aku sayangi pergi. Aku ingin egois dengan hidupku." Setelah mengatakan ini, Dara berjalan meninggalkan Juan yang masih berteriak memanggil adiknya.

Juan hanya ingin berlindung di balik Dara yang tak mau lagi berurusan dengan Kaito. Apalagi sampai melukai Yudanta lagi. Sudah cukup dia kehilangan kedua orang tuanya, tapi jangan lagi dengan Yudanta. Karena dia tak sanggup untuk itu.

"Ada apa?" Suara Yudanta membuyarkan lamunan Dara yang sedang berdiri di tangga akan naik ke kamar. Dia tidak naik, hanya diam saja dengan pikirannya.

Dara menatap ke arah atas dan tersenyum. Yudanta berjalan menghampirinya kemudian mencium bibir istrinya singkat.

"Ada siapa di luar? Kenapa dia berteriak-teriak?" tanya Yudanta.

"Bukan siapa-siapa. Mas mau makan? Biar Dara menyiapkannya." Dara menarik lengan suaminya agar ikut ke dapur dan membiarkan Yudanta duduk di meja makan.

"Aku belum lapar. Nanti saja. Kemarilah," ucap Yudanta. Dia membiarkan Dara duduk di pangkuannya.

"Kita pergi ke Bali untuk beberapa waktu, tidak apa-apa kan? Aku ingin menikmati waktu berdua kita. Anggap ini bulan madu kita yang tertunda. Apa kau mau?" tanya Yudanta.

"Dara mau asal ke mana saja bersama Mas. Mau tinggal di sana juga tidak apa-apa," jawab Dara.

"Kalau untuk tinggal. Mungkin kita bisa tinggal di sana, tapi apa kau bisa. Kita jalani hidup bahagia di sana, tanpa terus memikirkan masalah di sini. Biarkan kita hidup seperti kemauan kita." Dara diam. Jika di sana lama, bagaimana dengan Juan? Meskipun Dara kesal padanya, tapi saat terpuruk seperti ini, siapa lagi yang bisa Juan mintai tolong.

Mulutnya memang tega membiarkan Juan, tapi tidak dengan hatinya. Dia masih memikirkan bagaimana Juan nanti.

"Kenapa malah melamun, apa kau ragu? Di sana aku bisa bekerja pada temanku, jadi kita akan mulai hidup kita di saja berdua," jelas Yudanta.

"Tidak. Aku akan ikut ke mana Mas pergi." Dara memilih Yudanta karena dia merasa hanya suaminya yang bisa membuat dirinya bertahan sampai detik ini selama dia berusaha mengakhiri hidupnya.

Tapi hati kecilnya masih memikirkan bagaimana dengan Juan. Mulutnya mungkin bisa menolak apa yang Juan mau, tapi dia juga Kakak untuknya.

"Oh kalian di sini? Apa ingin makan sesuatu? Aku ingin pesan makanan," ucap Anggun saat melihat sepasang suami istri sedang di meja dapur.

"Mau dong Mbak. Aku pengen yang seger-seger," sahut Dara yang masih di pangkuan suaminya.

"Apakah secepat itu?" tanya Anggun.

"Apa memangnya?" Brian menggampiri mereka dan duduk di meja makan juga.

"Seperti orang ngidam saja," imbuh Anggun.

"Ngawur saja. Baru juga bertemu tadi udah jadi aja." Brian membuat Anggun menatap tajam. Dia begitu blak-blakan saat bicara.

"Apa sayang. Kita nanti bikin. Mau yang kembar?" Bukannya menjawab, Anggun memukul kepala Brian saat ngomong yang tidak-tidak.

"Apa kau ingin aku memukulnya juga, Nggun?" Kale menimpa obrolan mereka.

"Oh ya, aku ada rencana untuk pindah ke Bali bersama Dara." Brian yang akan membalas Kale terdiam mendengar ucapan Yudanta. Dia tiba-tiba sekali membicarakan itu.

"Lalu bagaimana dengan di sini?" tanya Anggun.

"Entahlah, aku hanya ingin lari dari sini saja. Akan sangat sakit saat mengingat keluargaku sendiri berharap aku mati. Untuk kalian maafkan aku sudah banyak menyusahkan kalian selama ini. Aku tidak ingin persahabatan kita terputus, aku harap walau aku tidak di sini, kalian sudi mengganggapku sahabat kalian," tutur Yudanta. Apa yang sedang direncanakan Yudanta kali ini, kenapa dia ingin pergi. Apa dia terlalu lelah dengan ini semua atau ada hal lain.

"Aku ikut bersamamu," sahut Kale yang memang begitu setia pada Yudanta.

"Kau tau aku bukan lagi Yudanta Wijaya yang kalian kenal sekarang. Aku ingin melepaskan ini semua dan memulai dari awal. Walau itu akan sangat berat untukku, tapi aku yakin bisa melalui semua. Urus mereka di sini, tidak perlu kau terus bersamaku. Cari jodoh biar kau tidak terus jomblo," ujar Yudanta.

"Tapi kenapa begitu tiba-tiba?" tanya Brian.

"Seseorang tidak akan tinggal diam saat dia tau aku masih hidup. Jadi, aku ingin pergi dan melindungi Dara dari orang yang ingin memisahkan kita," jelas Yudanta.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang