47

1.2K 39 4
                                    

Berita kematian Yudanta terdengar sampai kakeknya. Bukannya bersedih, dia seperti puas saat satu penghalang dalam bisnisnya pergi. Apalagi dia melakukan ini karena Yudanta sudah membuatnya malu.

"Apa Anda akan menemuinya sebelum proses pemakaman di mulai?" tanya anak angkat Kaito, dia juga senang akhirnya bisa menyingkirkan Yudanta, walau dia masih harus berurusan dengan Juan karena posisinya diambil oleh Juan.

"Tentu aku akan melihatnya. Aku juga kakeknya." Kaito segera bersiap untuk menghadiri proses pemakaman Yudanta. Sungguh tega hatinya, dia memilih menyingkirkan cucunya dengan sangat kejam.

Kaito segera menuju pemakaman di mana dia mendapatkan kabar dari orang suruhannya. Kaito kira Yudanta masih di rumah, tapi mereka dengan cepat menguburkannya.

"Lalu bagaimana anak itu? Apa Anda masih akan memanfaatkannya setelah dia berhasil membunuh Yudanta?" tanya anak angkat Kaito.

"Biarkan saja dulu, dia pasti bisa dimanfaatkan dengan hal lain. Aku ingin tau sekeras apa dia berusaha untuk menduduki posisinya, aku pikir dia hanya akan main-main saja." Kaito hanya memanfaatkan Juan untuk kepentingannya sendiri. Dia memang busuk, di usianya sekarang bukan memikirkan matai, dia malah asyik menikmati dunia. Apalagi anak angkatnya itu terus mempengaruhinya.

Dengan senyum puas, dia tampak begitu jahat. Padahal yang dia suruh bunuh cucunya sendiri. Sesampainya dia di pemakamanan. Kaito tidak langsung turun, dia menatap ke arah seseorang yang sedang menatap senduh gundukan tanah makam suaminya.

"Kita jadi untuk keluar? Gadis itu ada di sana," ucapnya.

"Biarkan saja. Yang mati juga suaminya. Sebaiknya kita turun dan jangan lupa tunjukkan wajah sedihmu."

Busuk memang hati Kaito. Dia tega untuk bersikap peduli saat dia sendiri yang ingin Yudanta mati.

***

Dara tak hentinya menangis. Dia menatap gundukan makam yang baru tertutup rapat. Bunga segar berada di atas gundukan itu. Beberapa waktu setelah Yudanta dinyatakan meninggal, Dara meluapkan kesedihannya dengan coba mengakhiri hidupnya. Dia tidak mau hidup tanpa Yudanta, dia ingin menyusulnya.

"Sebaiknya kita pulang." Anggun melingkarkan tangan ke bahu Dara untuk membantunya berdiri.

"Aku ingin di sini, Mbak. Aku ingin menemaninya di sini," tuturnya. Matanya masih menatap pada batu nisan bertuliskan Yudanta Wijaya.

"Sudah mau hujan. Kau akan sakit nanti," bujuk Anggun.

"Biarkan saja. Aku hanya ingin bersamanya di sini. Dia berjanji untuk tidak meninggalkanku, aku juga tidak akan meninggalkannya." Dara berbaring memeluk gundukan makam suaminya dengan tangis yang semakin membuatnya hancur.

"Cucuku ...," Suara Kaito membuat Dara bangkit dan menatap pria tua itu.

"Kenapa secepat ini kau pergi. Kakek bersalah padamu, Nak," tuturnya. Terlihat jelas jika dia hanya berpura-pura kehilangan.

"Kenapa Anda di sini? Apa ingin memastikan jika cucu Anda sudah tiada?" tanya Dara. Dia menatap tajam ke arah Kaito yang berjongkok di hadapannya.

"Kau itu bicara apa? Bagaimanapun juga, dia cucuku. Jaga ucapanmu itu!" Tegas Kaito sambil menunjuk ke arah Dara.

"Sebaiknya Anda pergi. Mas Yuda tidak butuh kesedihan Anda di sini. Pergi dari sini." Dara mengusir Kaito. Dia bahkan melemparkan tanah makan pada wajah Kakek Yudanta.

"Lancang sekali kau membuatku kotor!" Bentak Kaito.

"Ini tanah dari cucu yang kau bunuh. Setiap rasa sakit dan juga darah yang mengalir aku pastikan akan membuatmu hidup dalam penyesalan." Dara mengusapkan segenggam tanah makam pada wajah Kaito, membuatnya semakin kotor.

"Anda anggap ini berakhir setelah suamiku pergi? Tidak. Rasa penyesalan itu akan menghantuimu, sampai kau mati dalam kesepian, ketika semua yang dekat denganmu mengkhianati dirimu. Kau akan mati secara tragis, lebih tragis dari cucumu itu. Pergi dari sini sekarang. Pergi!!!" Bentak Dara.

"Dasar wanita gila. Kau harusnya beruntung orang yang bertanggung jawab akan kematian orang tuamu mati. Bukannya bersyukur kau malah berani mengancamku," tuturnya.

"Aku bilang pergi dari sini!!"

Kaito melenggang pergi bersama anak buahnya. Membiarkan Dara yang menangis meraung-raung di pusara makam suaminya.

"Kenapa kau pergi, Mas. Kenapa?" Teriak Dara.

"Sebaiknya kita pulang, Dar. Hujan turun. Dara!!" Anggun dibuat panik saat Dara pingsan dengan posisi tubuh memeluk makam Yudanta.

Kale menggangkat tubuh Dara dan membawanya ke mobil, pakaiannya kotor tapi Kale tidak memperdulikan itu. Mungkin saja jika Kale perempuan, sikapnya akan sama dengan Dara. Meluapkan kesedihannya, dengan perasaan hancur dia harus menerima suami yang baru dia nikahi meninggal karena keegoisan Kaito.

"Kita bawa ke rumah saja," ucap Anggun. Dipangkuannya ada Dara yang terpejam karena tak sadarkan diri.

Mereka kemudian meninggalkan makam. Membawa Dara yang pingsan pulang ke rumah Yudanta. Tak membutuhkan waktu yang lama, mereka sampai di rumah Yudanta dan segera membawa Dara ke kamarnya.

"Biar aku yang membantunya," ucap Anggun.

"Mas Yuda ...." panggil lirih Dara saat dia mencoba untuk membuka matanya.

"Dar, kau sudah sadar. Kita sudah di rumah. Biar aku yang membantumu untuk mengganti pakaianmu," ujar Anggun.

"Ke mana Mas Yuda, Mbak? Apa dia masih keluar dengan Kak Brian dan Kak Kale?" tanya Dara. Dia seperti tidak ingat jika Yudanta sudah tiada.

"Dara--"

"Hujannya lebat sekali. Aku coba hubungi Mas Yuda. Kita buatkan mereka makan malam ya Mbak."

"Dara." Kembali Anggun memegang bahu Dara yang terus bicara asal.

Dara perlahan bangun dan mencari ponsolnya, dan langsung menghubungi ponsel Yudanta yang terdengar berbunyi di kamar itu juga.

"Apa dia tidak membawa ponselnya. Mbak hubungi Kak Brian, mereka ingin makan malam apa?"

"Dara sadarlah. Yuda sudah tiada. Dia tidak akan pulang lagi," tutur Anggun dengan lembut.

"Mbak ini bicara apa. Tidak. Dia tidak akan meninggalkanku. Dia mencintaiku, Mbak. Dia tidak akan pergi," jawab Dara. Matanya sudah basah dan jatuh membasahi pipinya.

"Dara, Yuda sudah tiada, sadarlah." Anggun mengguncang tubuh Dara pelan agar dia ingat jika Yudanta memang sudah tiada.

"Tidak. Mbak sedang bercanda." Perlahan kakinya melamgkah keluar kamar dan berjalan turun ke ruang bawah.

Dara menatap kesekitar rumah seperti sedang mencari keberadaan Yudanta yang tidak ada di manapun. Dia juga mencari di teras belakang, karena biasanya Yudanta di sana.

"Kak Kale, bisa antar aku? Antar aku ke tempat Mas Yuda. Aku ingin bertemu dengannya. Apa yang Mbak Anggun katakan tidak benar, Mas Yuda akan pulang kan Kak?" Dara tampak hancur. Bagaimana tidak dalam waktu bersamaan Yudanta bahkan dia harus keguguran. Hal yang begitu menyakitkan.

Kale hanya diam. Dia bingung ada yang harus dia katakan pada Dara saat dia juga kehilangan.

"Tidak. Mas Yuda pasti pulang. Aku akan menjemputnya sendiri jika Kak Kale tidak mau mengantarkanku. Mungkin dia di basecamp ... ya, dia pasti di sana." Dara berjalan keluar rumah, kakinya berjalan tanpa alas.

"Dara, tenanglah. Yuda tidak akan pulang. Dia sudah tiada." Kale menghentikan Dara yang akan keluar.

"Kalian itu kenapa terus bicara seperti itu? Mas Yuda akan pulang. Dia akan pulang." Dara mendorong tubuh Kale. Dia menerjang hujan yang sedang lebat.

Plakk

"Sadarlah! Yuda tidak akan pulang, Dar. Kau harus merelakannya." Sambil memegangi pipi yang terasa sakit, Dara terdiam di hadapan Anggun. Tubuhnya merosot dan menjerit sekuat yang dia bisa.

"Akhh!!! Tidak!!!" Teriakan Dara begitu menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Di bawah guyuran air hujan dia kembali meluapkan kesedihan atas kepergian suaminya.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang