67

564 23 0
                                    

"Kau gila menerima tawarannya! Itu sangat berbahaya. Kenapa tidak dia saja yang mengambil barang itu daripada kau yang dikorban kan," gerutu Brian setelah Yudanta bertemu dengan Bos Mafia itu.

"Mungkin ucapanmu lebih enak di dengar saat kau bilang, apa kau ingin mati. Hal gila apa yang sedang aku lakukan ini demi sesuatu, jadi aku harap bisa berhasil dengan misi ini," jelas Yudanta. Dia menatap senjatanya, mengingat tentang apa yang Bos Mafia itu katakan, dia akan mati dengan senjatanya sendiri kalau di gagal.

"Lalu apa yang kau rencanakan?" tanya Kale.

"Aku pikirkan sambil pulang. Otakku tidak bisa bekerja sekarang. Aku khawatir pada Dara di rumah," jawab Yudanta.

"Entahlah, aku pikir pekerjaan ini semakin hari semakin berbahaya saja. Aku sangat ingin menghabisi pria bernama Galih itu." Brian menatap Galih yang ada di luar mobilnya. Dia sedang bicara dengan serius dengan seseorang yang juga anak buahnya.

"Kita buat dia pergi, jadi kita harus berhasil dengan rencana ini," sahut Yudanta.

"Ya, tapi kau belum memikirkan caranya. Bukankah lebih baik kita berikan nyawa kita langsung padanya," imbuh Brian. Dia menatap kesal ke arah Yudanta dari kaca spion di hadapannya.

Yudanta harus berhasil agar Bos Mafia itu bisa menyingkirkan Galih untuknya. Dia tak mungkin bisa berhasil jika hanya dengan tangan Yudanta sendiri, sebab orang yang dia percaya hanya Kale dan Brian. Dan Yudanta tidak mau membuat mereka menghabisi Galih untuk kepuasannya sendiri.

***

"Ada apa ini?" tanya Yudanta saat baru sampai rumah. Ada beberapa pengharum ruangan yang terpasang di sudut rumahnya. Bahkan saat dia baru masuk rumah, aroma semerbak di ruangan itu.

"Sejak tadi aku mencium bau bawang. Tidak enak sekali. Kalau ini wanginya segar," jawab Dara sambil tersenyum.

"Apa kau memasang pengharum ruangan satu konteiner? Wangi sekali di sini," gerutu seseorang yang sejak tadi merasa kesal, siapa lagi kalau bukan Brian.

"Tepat sekali, Kak. Di sana ada, di sini ada, di sana juga ada. Baunya segar, daripada bau Kakak," ejek Dara yang tak sungkan saat Brian akan marah.

"Memangnya apa bauku? Aku wangi juga. Kemarilah, cium aroma parfumku." Brian mendekati Dara yang memajukan bibir bawahnya dan ....

Hoek

Brian menatap tajam saat Dara melangkah mundur darinya. Dia merasa mual dengan bau tubuh Brian yang membuat mereka tertawa.

"Aku saja tak berani mendekatinya. Dia terus mual. Sejak tadi dia mencium bau bawang. Aku sampai harus mandi untuk membuatnya nyaman," jelas Anggun.

"Kalau begitu aku tak mau mendekatimu." Kale melangkah mundur. Dia tidak mau Dara merasa mual karena indra penciumannya sedang tidak beres karena masa kehamilan.

"Tapi kenapa pada suamimu tidak begitu," ujar Brian.

"Bagaimana  bisa anaknya jijik sama ayahnya. Aku tidak merasa mual dengan suamiku, malah aku memintanya untuk tidak perlu mandi juga tidak apa-apa," jelas Dara. Jawabannya membuat Brian terkaget.

"Itu artinya dia merasa jijik padaku? Apa begitu?" tanya Brian kesal.

"Aku ke kamar sebentar. Kalian mengobrolah di sini," tutur Yudanta. Dia hanya banyak diam, fokusnya pada Dara yang tampak baik-baik saja. Dia merasa lega saat Dara merasa nyaman dengan kehamilannya.

Yudanta melenggang pergi dan berjalan ke kamar. Menyusul suaminya ke kamar, Dara berjalan mencari Yudanta yang sedang berada di kamar mandi. Sepertinya kamar mandi tempat Yudanta menenangkan diri. Dan seperti biasa, melihat suaminya berdiri di hadapan cermin, Dara menyelinap kemudian memeluk tubuh suaminya erat.

"Apa ada yang mengganggu pikiran Mas?" tanya Dara sambil memeluk erat tubuh suaminya.

"Tidak ada, aku hanya lelah saja," elak Yudanta.

"Mas yakin?" Dara menatap Yudanta yang kemudian mengangkat tubuh istrinya duduk di hadapannya.

"Sangat yakin. Apa kau menginginkan sesuatu? Aku tiba-tiba ingin makanan pedas. Apa kau merasa pusing?" tanya Yudanta.

"Hanya sedikit pusing, tapi aku merasa baik-baik saja. Memangnya kenapa sayang?" Dara melingkarkan tangannya ke leher Yudanta.

"Kita pergi berdua mencari sesuatu. Aku ingin makan sesuatu yang pedas," sahut Yudanta. Dia hanya ingin mengalihkan pertanyaan Dara agar tidak membuatnya khawatir.

"Baiklah, aku bersiap." Dara mencium pipi suaminya dan segera turun dari wastafel kemudian berjalan keluar kamar mandi meninggalkan Yudanta yang kembali tertunduk memikirkan cara agar rencananya berhasil.

Setelah bersiap, Dara yang sudah di bawah menatap Yudanta yang baru turun tangga. Suaminya itu tampak kerena dengan style sederhana yang dia kenakan. Padahal hanya kaos hitam dan celana jeans yang ada sobeknya di lutut. Topi merah menambah ketampanan pria berlesung pipi itu.

"Kalian mau keluar?" tanya Kale. Dia tidak mau mendekati Dara yang ada di sampingnya.

"Ya, aku ingin keluar sebentar. Kau bisa istirahat," jelas Yudanta.

"Aku akan menemanimu," sahut Kale.

"Tenanglah, aku akan baik-baik saja. Tidak akan ada yang berani melukaiku. Siapa lagi yang akan mereka jadikan kambing hitam saat aku celaka lebih dulu. Tenanglah." Yudanta memegang bahu yang merasa khawatir.

Dara hanya menatap tak mengerti dengan apa yang Yudanta maksud. Semenjak kembali, mereka tidak membiarkan Yudanta pergi sendiri. Pasti ada yang menemani, tapi kali ini dia memaksa untuk keluar berdua saja.

"Tetap tidak bisa. Aku akan meminta 2 orang mengikutimu, mereka tidak akan mengganggu waktu kalian. Untuk itu nikmati saja waktu kalian." Kale meminta 2 anak buahnya melindungi Yudanta dan Dara dari jauh.

"Ada apa? Kenapa cemberut?" tanya Yudanta saat melihat istrinya itu hanya menatap mereka berdua bicara.

"Aku rindu masa-masa kita di Bali. Andai kita kembali ke sana lagi. Menikmati waktu lebih bebas dari sekarang. Aku merasa seperti putri pejabat yang harus di kawal. Tapi tidak apa-apa, saat moodku bagus seperti sekarang. Bisakah kita pergi, sayang?" Dara menyulurkan tangannya untuk menggapai Yudanta.

Ada perasaan bersalah dalam diri Yudanta saat sang istri bicara tentang kebebasan. Kehidupan Dara berbeda seperti sebelumnya yang bisa keluar semaunya. Sekarang dia harus diam di rumah, bagai burung dalam sangkar. Alasannya karena Dara tidak akan aman saat pergi apalagi tidak bersama Yudanta.

Saat baru masuk mobil, Dara dikejutkan dengan senjata yang tergeletak di belakang bangku kemudi. Segera Yudanta yang ingat tentang itu, menyimpannya pada laci dashboard.

"Sayang--" panggil Dara pada Yudanta yang akan bersiap untuk melajukan mobilnya.

"Hmmm ...." gumamnya.

"Bukankah kau mencintaiku?" tanya Dara.

"Iya, kenapa?" Yudanta balik bertanya tentang pertanyaan yang istrinya lontarkan.

"Berikan aku satu alasan kenapa Mas masih dengan pekerjaan ini. Maksudku--"

"Jujur aku ingin terbebas dari ini, tapi keselamatanmu lebih penting untukku. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Jadi biarkan aku melakukan pekerjaanku, tanpa kau tau sebabnya. Karena yang tertanam dalam benakku adalah dirimu. Kau segalanya untukku," jelas Yudanta.

"Kalau begitu aku tidak bisa memintamu untuk berhenti dari hal ini?" tanya Dara yang langsung membuat Yudanta terdiam. Pembahasan itu lagi yang Dara bahas.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang