86

774 20 0
                                        

"Bagaimana rasanya?" tanya Dara yang segera mendekat saat suaminya sudah membuka mata. Suaranya bergetar menahan tangisnya yang tak henti menetes karena khawatir.

"Kau menangis." Yudanta menyeka air mata yang ada di pipi istrinya.

"Jahat sekali." Dara memukul dada bidang Yudanta. Pukulannya tak terasa karena Dara kembali menangis. Membaringkan tubuhnya di samping Yudanta yang langsung memeluknya.

Setelah kurang dari satu jam, Yudanta membuka mata. Daea bersyukur suaminya segera sadar karena hal yang dia takutkan tidak terjadi.

"Maafkan aku," tutur Yudanta.

"Aku tak mau mendengar kata maaf Mas. Itu akan menjadi biasa untuk Mas pulang dengan kondisi seperti ini. Kebodohanku hampir membuatmu celaka. Jika saja Kak Kale tak datang, entahlah. Aku akan membiarkan Mas tidur panjang. Aku--" Dara menangis dalam pelukan Yudanta yang tak sanggup melanjutkan ucapannya.

"Maaf aku sudah membuatmu khawatir," ucap Yudanta sambil mencium kening istrinya.

Kondisi yang sedang Yudanta rasakan sekarang, kepalanya terasa berputar. Tubuhnya juga terasa lemas. Namun, dia tak boleh bersikap lemah, itu hanya akan membuat Dara semakin bersalah.

"Kalian berhasil semalam?" tanya Yudanta.

"Maafkan aku, hasilnya nol," jawab Brian.

Yudanta hanya menghela nafas kasar, harusnya dia mendapatkan apa yang dia incar. Karena ulah Dilla, semua gagal.

"Dilla yang mendapatkan barang itu," timpa Kale.

"Siapa itu Dilla?" tanya Dara yang baru masuk sambil membawa nampan berisi makanan untuk suaminya.

"Kenapa kau tidak minta bantuan pelayan rumah. Perutmu sudah besar, jangan sering naik turun tangga," ujar Yudanta pada istrinya.

Kale langsung membantu Dara untuk membawakan nampan itu. "Bukankah lebih baik aku bergerak agar lebih lancar nanti. Mas mengalihkan pertanyaanku. Siapa Dilla? Apa dia kekasih Kak Kale. Ah ...," rintih Dara lirih saat dia coba untuk duduk bersandar, dengan punggung yang terasa sakit.

"Aku tidak apa-apa. Terima kasih, Kak." Brian segera membantu Dara yang kesulitan menempatkan posisi duduknya yang nyaman. Brian menambahkan bantal di punggung Dara pelan.

"Apa itu menyakitimu? Atau bagaimana?" tanya Brian.

"Dia tak menyakitiku. Hanya punggungku saja seperti tertekan, rasanya tidak nyaman. Nanti Mbak Anggun juga akan merasakan hal ini. Kak Brian harus siaga seperti Mas Yuda," tutur Dara. Dia memposisikan dirinya duduk di sofa dekat Yudanta bersandar di headboard.

"Oh ya, ke manaa Anggun?" tanya Yudanta.

"Mbak Anggun pergi pagi tadi setelah tau Kak Brian datang. Katanya ingin ke rumah keponakannya, entah di mana tadi dia bilang, aku lupa," jelas Dara. Tangannya bersiap menyuapkan bubur yang dia buatkan untuk suaminya.

"Aku sudah minta dia tetap tinggal. Kenapa kau membiarkan dia pergi," ucap Yudanta.

"Bisakah otakku berpikir saat apa yang Kak Kale katakan membuatku tak bisa bicara apapun. Itu salah Mas," sahut Dara dengan menatap kesal suaminya.

Yudanta tersenyum tipis, seakan lupa apa yang baru dia lakukan untuk Dara. "Maa--"

"Maafkan aku. Itu yang pasti Mas katakan." Belum juga melanjutkan ucapannya, Dara memotongnya.

"Kalau begitu aku akan mencarinya dan minta maaf. Sebelumnya maafkan aku sudah membuatmu seperti ini, dan kita harus gagal karena ulahku," tutur Brian.

"Sudahlah, lupakan saja. Aku juga masih hidup. Kau harusnya bisa teliti lagi. Pastikan dengan benar lawanmu. Jangan mudah percaya dengan siapapun. Anak buahmu bisa menjadi musuhmu karena mereka salah satu dari Galih," jelas Yudanta.

"Ya, aku akan coba lebih hati-hati. Walau kau tau bagaimana diriku," sahut Brian.

Dara hanya menatap Yudanta yang sedang bicara. Dia seperti gampangnya bicara tentang kematian saat Dara begitu mengkhawatirkan suaminya.

"Ada apa?" tanya Yudanta tanpa rasa bersalah.

"Tidak apa-apa. Buka mulut Mas saja, aku tak bisa berkata-kata kenapa begitu mudahnya Mas mengatakan kematian," jawab Dara yang menyuapkan makan pada mulut suaminya.

"Sebaiknya aku istirahat. Bangunkan aku jika ada perlu. Aku ada di kamar bawah," jelas Kale yang keluar mengikuti Brian. Membiarkan mereka berdua di kamar.

Sejenak tidak ada obrolan diantara mereka. Dara hanya fokus dengan menyuapi Yudanta saja. "Sayang, boleh sudah? Perutku terasa mual," ucap Yudanta.

"Baiklah, aku akan bawa piring ini turun." Yudanta memegangi nampan yang Dar bawa dan melarangnya untuk tidak pergi.

"Biarkan di sana. Tetaplah di sini saja. Kepalaku terasa berputar, makanya perutku terasa mual. Maafkan aku," ucap Yudanta, namun istrinya tetap diam.

Yudanta coba duduk dan menghadap Dara. "Aku memang asal bicara, tapi ini memang tanggung jawabku. Aku tak akan bisa membiarkan sahabatku termakan tuduhan yang tidak dia lakukan. Brian tidak menghamili wanita itu. Dan karena tugasnya dia harus dekat dengannya. Jadi maafkan aku," tutur Yudanta. Dia menahan kepalanya yang terus berputar untuk menatap Dara.

"Aku tak bisa melarangmu, Mas. Tapi tetap saja rasanya sakit saat melihatmu terluka seperti ini. Sekeras apa aku coba untuk membuat diriku yakin jika ini memang pekerjaan suamiku, tapi tetap saja rasanya sakit Mas. Maafkan aku. Apabila Mas bertanya padaku saat ini, mungkin saja jawabannya akan berbeda. Aku tak ingin Mas terluka." Dara menundukkan wajahnya dan kembali menangis.

Yudanta memeluk tubuh istrinya, mencium ujung kepalanya lama. Seperti membisikkan, jika ini juga berat untuknya. Namun, pekerjaan ini membuat Yudanta menikmatinya walau awalnya tak mau. Bagaimana jika yang dia suntikkan itu racun, apa itu tidak akan membuat Dara gila atas kepergian Yudanta.

"Bagaimana dengan pemeriksaan bulanan yang harus kau lakukan hari ini. Bukankah harusnya kita periksakan anak kita ini," ucap Yudanta dengan tangan mengusap perut istrinya.

"Aku bisa pergi besok pagi. Mas istirahatlah. Aku akan minta temani--" Dara menghentikan ucapannya, dia ingat jika Anggun sendiri sedang hamil. Kale pasti juga sedang lelah, kalau dengan Brian dia tak berani.

"Aku akan antarkan. Tidak ada bantahan. Bukankah aku ini ayahnya, jadi aku yang harus tanggung jawab. Maafkan Ayah tidak bisa menenggokmu hari ini, Nak." Yudanta mengajak bayi di perut Dara bicara dan seperti biasa, dia akan menendang saat Yudanta mengajaknya bicara.

Dara sampai memejamkan mata saat merasakan sakit karena tendangan anaknya yang kuat. Tapi itu benar-benar kenikmatan tiada tara, bisa merasakan makhluk kecil di dalam perutnya seperti berputar-putar di sana.

"Selalu seperti itu." Tangis Dara teredam dengan tawa bahagia saat merasakan tendangan di perutnya.

Yudanta kembali mengusap perut Dara di bagian kirinya dan beberapa saat di balas dengan tendangan. Tawa mereka terdengar mengisi kamar. Kebahagian yang sederhana tapi berhasil membuat mereka tertawa.

"Tumbuh dengan sehat sayangnya Ayah."

"Ayah juga jaga diri agar Ibu tidak merasa khawatir terus, karena aku juga ingin tumbuh besar bersama Ayah," jawab Dara seakan anaknya yang sedang meminta pada sang ayah.

"Iya, sayang. Oh ya jadi mau pakai nama yang mana?" tanya Yudanta.

"Memangnya Mas sudah tau jenis kelaminnya, kan masih rahasia." Mereka sengaja merahasiakan jenis kelamin anaknya agar menjadi kejutan. Mau itu cewek ataupun cowok, sama saja. Hanya mereka ingin kehadiran anak mereka menjadi kejutan.

"Boleh aku menebaknya?" tanya Yudanta.

"Kenapa aku merinding dengan pertanyaan itu," jawab Dara dengan tatapan yang serius. Yudanta hanya tersenyum membalas tatapan istrinya.

"Dia perempuan. Aku yakin itu," tutur Yudanta dengan yakin. Akankan tebakan Yudanta kembali cocok? Seperti saat dia menebak Dara yang sedang hamil?

***

Mohon maaf lahir batin 🥰

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang